Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Teman Mama

"Sore, Tante," sapaku sedikit kikuk, berusaha menjaga tatapanku tetap pada wajahnya, meskipun pikiranku berkelana ke tempat lain.

"Sore, Dion. Kamu sudah makan?" tanyanya dengan senyum yang membuat dadaku berdebar sedikit lebih cepat.

"Baru makan siang tadi, Tante. Masuk dulu aja," undangku, mencoba terdengar santai meski suaraku terasa sedikit canggung.

Tante Tania melangkah masuk dengan anggun, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik sekilas lekukan tubuhnya ketika dia melewati pintu. Wangi parfumnya yang manis langsung memenuhi udara di sekitarku.

"Ini, Tante bawa pisang goreng buat kamu. Siapa tahu kamu mau ngemil. Tadi Tante beli pisangnya gede-gede, manis… kayak kamu," ucapnya dengan senyum menggoda, matanya seolah menyelidik reaksiku.

Dadaku terasa hangat seketika. "Ah, Tante bisa aja," jawabku, merasa kikuk dan berusaha menutupi wajahku yang memerah. Kenapa dia selalu bisa membuatku salah tingkah seperti ini?

Kami duduk di ruang keluarga. Aku menyiapkan piring tambahan, sementara Tante Tania duduk dengan posisi santai di sofa, menyilangkan kakinya, membuat roknya semakin naik dan memperlihatkan pahanya yang mulus. Aku berusaha fokus pada pisang goreng yang dia bawa, tetapi pikiranku terus-menerus terganggu oleh kehadirannya yang begitu... intens.

"Jadi, gimana nih? Mama kamu sudah berangkat, kan?" tanyanya sambil mengunyah pisang goreng dengan perlahan, matanya tetap menatapku penuh perhatian.

Aku mengangguk. "Iya, baru aja tadi siang."

"Hm, jadi kamu sendirian di rumah sebulan? Jangan sampai kesepian, nanti Tante sering-sering ke sini ya," katanya, lagi-lagi dengan nada yang sulit kugambarkan—campuran antara perhatian dan sesuatu yang lebih... mendalam.

Aku hanya bisa mengangguk lagi, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba terasa terlalu dekat.

“Paket!” Terdengar suara abang pengantar paket yang memanggil seperti biasa dari depan rumah Tante Tania.

Aku baru saja selesai meletakkan piring di meja ruang keluarga ketika suara itu terdengar. Dengan refleks, aku menawarkan bantuan, "Mau aku ambilin, Tante?"

Tante Tania, yang masih duduk di sofa dengan posisi santai, tersenyum lembut. “Ya udah, Tante yang pindahin pisang gorengnya, makasih ya, Dion,” jawabnya sambil mengusap lembut pipiku dengan ujung jarinya. Sentuhan halusnya membuat dadaku berdebar lebih kencang, tapi aku berusaha menyembunyikannya di balik senyum kecil.

“Oh iya, Tante,” jawabku, berusaha tidak terlihat gugup. Namun, tak sengaja aku melihat sesuatu yang membuatku semakin salah tingkah. Saat dia membungkuk untuk memindahkan pisang goreng, belahan dadanya yang terbuka sedikit terlihat dari tank top yang dia kenakan. Seketika, wajahku memanas dan aku menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri.

Aku segera bergegas keluar menuju pintu depan.

"Bang, Tante Tania lagi di sini, paketnya saya ambil aja," ucapku ke abang pengantar paket yang sudah terbiasa melihatku di rumah ini.

Abang itu menyerahkan paketnya, dan aku kembali masuk ke rumah sambil membawa paket tersebut.

“Tante, ini paketnya,” kataku sambil menyerahkannya kepada Tante Tania, yang tampak sedikit antusias. Paket itu tampaknya berisi sesuatu yang ringan, mungkin pakaian, mengingat bentuk dan ukurannya.

“Duh, ini udah lama Tante pesen, baru datang sekarang,” keluhnya sedikit sambil melihat bungkusan itu dengan penasaran. “Dion, ada gunting gak? Tante mau liat isinya.”

Aku mengangguk dan langsung menuju kamar, mengambil gunting dari meja belajarku, lalu kembali ke ruang keluarga. Setelah aku memberikannya, Tante Tania menerima gunting itu sambil tersenyum manis, lalu mulai memotong lakban yang menutupi paket tersebut.

Bungkusannya terbuka, memperlihatkan dus berwarna coklat polos. Di dalam dus, terlihat beberapa bungkusan plastik bening yang tampak mengandung pakaian baru.

Dia mengambil bungkusan plastik paling atas dan mulai membukanya dengan hati-hati. Ternyata, isinya adalah gaun berwarna hitam, dengan bahan yang terlihat mengkilap dan halus di bawah cahaya. Gaun itu tampak pendek, dengan desain yang sangat pas di tubuh, jelas dibuat untuk memperlihatkan lekuk-lekuk wanita dengan sempurna.

“Nanti kamu bantu menaikkan resleting ya?” kata Tante Tania tiba-tiba, sambil menatapku dengan mata yang sedikit menggoda.

Aku terdiam sebentar, tapi kemudian mengangguk perlahan. “Iya, Tante.”

Tante Tania berdiri di depanku, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit kugambarkan, seolah ada sesuatu yang dia nikmati dari situasi ini. Dalam suasana yang semakin memanas, dia mulai mengangkat kedua tangannya, jemarinya menyentuh bagian bawah tank top putih yang dikenakannya. Gerakannya lambat, nyaris seperti diatur dengan sengaja untuk membuat setiap detik terasa begitu nyata, begitu menggoda. Saat tangannya menarik kain itu ke atas, perut mulusnya mulai tampak, otot-otot halus di perutnya bergerak seiring napasnya yang tetap tenang.

Aku hanya berdiri di sana, tak bisa memalingkan pandangan meskipun tahu bahwa seharusnya aku tidak menatap. Tapi, daya tariknya terlalu kuat. Bagian bawah dadanya mulai terlihat saat tank top itu terus naik, sedikit demi sedikit memperlihatkan kulitnya yang halus. Bra hitamnya, yang begitu pas menutupi dadanya, muncul ke permukaan, memperlihatkan lekukan payudara yang begitu jelas dan menonjol.

Ketika tank top itu sepenuhnya terlepas dari tubuhnya, dia melipatnya dengan santai dan meletakkannya di sofa, seolah apa yang baru saja terjadi adalah hal biasa. Namun, bagiku, pemandangan itu terlalu memukau untuk dianggap sepele. Tante Tania kini hanya memakai bra hitam, tubuhnya yang sempurna seolah bercahaya di bawah cahaya sore yang masuk melalui jendela. Dada kencangnya terlihat begitu menonjol, membentuk bayangan halus di sepanjang belahan dadanya. Napasku terasa tersendat, udara seolah menjadi lebih berat di sekelilingku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel