Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ternyata Tidak Sebaik Kupikirkan

Hari-hari berlalu, dan kehadiran Adit membuat keluarganya semakin lengkap. Sejak tinggal di rumahnya, Adit telah membantu mempermudah pekerjaan rumah dengan menyediakan beberapa fasilitas. Bahkan, Adit memutuskan untuk kembali merekrut asisten rumah tangga agar Ayu merasa lebih nyaman di rumah tersebut. Di akhir pekan, Adit lebih sering menghabiskan waktunya bersama Adam, berbagi pengalaman dan memotivasi anak muda itu. Semangat Adam terlihat kembali menyala, berkat dukungan Adit.

"Dam, sekarang fokuslah mengumpulkan gaji. Jangan boros dulu. Kamu udah punya istri, harus bisa ngatur keuangan. Kalau uangmu udah banyak, bisa aja pensiun dari pekerjaan lalu buka bisnis. Awalnya pasti susah dan menguji kesabaran, tapi ingat, resikonya bisa jadi kaya, " nasihat Adit sambil menepuk bahu Adam. Adam menatap Adit, kemudian bertanya,

"Kamu, kenapa memilih jadi abdi negara?"

Adit tersenyum dan mulai menjelaskan alasan di balik pilihan hidupnya. Semakin sore hari, obrolan mereka semakin menarik, seiring Adit membagikan kisah hidup dan pengalamannya sebagai abdi negara kepada Adam.

"Ini permintaan Ibu kita Dam, " jawab Adit seraya menundukkan kepalanya.

"Ibu, gimana yah sekarang?" tanya Adam yang semakin membuat mereka berdua hanyut dalam kesedihan.

"Mas!" seru Ayu, membuat mereka kompak menoleh ke arahnya.

"Akhirnya kopi datang nih," ujar Adam sambil menerima kopi panas yang disodorkan oleh Ayu.

"Eh, Mas, kenapa sih kalian?" tanya Ayu penasaran.

"Yaaa, namanya juga pria sejati. Kan, menangis itu pas mengingat sosok ibu kita," jawab Adit sambil mengelap air matanya.

"Lah, trus aku gimana dong, Mas? Selama ini aku udah pasrah dan ikhlas menerima kenyataan kalau aku sebatang kara," ujar Ayu lirih.

"Tapi sekarang kan, Dek Ayu udah punya suami, ipar, dan mertua. Jadi, lebih tepatnya kamu seorang yatim piatu, deh," terang Adit bijak.

"Eh, tapi, Mas, kan aku belum bisa memastikan kalau kedua orang tua aku udah nggak ada. Jadi, gimana dong?" tanya Ayu bingung.

"Ruwet, banget hidupmu, Neng!" timpal Adam sambil tertawa.

"Ihhh, kok ngomong gitu sih Mas? Bukannya kasih solusi, malah ngajak sedih!" Ayu mencibir dengan nada manja. Adit yang mendengarnya hanya bisa geli.

"Isyh, kalian bucin banget sih! Aku mau keluar ah, siapa tau dapet cewek bucin, jilbaber juga kek Neng Ayu, hihihi!" Ucap Adit, lantas beranjak dan tak lama setelahnya, Adit keluar dari kamarnya.

"Sstt! Damm, gasskaaann!" Adit memberikan kode pada Adam.

"Jogging atau futsal?" tanya Adam penasaran.

"Fitnes, yuk!" ajak Adit.

"Tunggu bentar, aku siap-siap dulu."

"Mas!" Ayu menahan Adam yang hendak beranjak.

"Bentar aja deh, sejam mungkin, " jawab Adam.

"Oke, deh !" Ayu pun akhirnya pasrah untuk setuju, Ayu sebenarnya merasa kecewa karena ada satu hal yang sangat ia inginkan, yaitu nafkah batin dari Adam.

Setelah kepergian Adam dan Adit, iapun memutuskan untuk mandi, dengan tujuan untuk membuang pikirannya yang berkaitan keinginannya untuk mendapatkan kepuasan dari Adam.

Setelah itu, Ayu memutuskan untuk istirahat. Namun, belum sempat ia menutup mata, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Ayu terkejut, menyadari bahwa yang membuka pintu itu tak lain adalah mertuanya. Dengan hati berdebar-debar, Ayu segera turun dari tempat tidurnya.

"Ayam, eh, maksudnya Ayah, ada apa, Yah? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ayu dengan suara gemetar.

"Tentu Nak, apakah saya bisa mendapatkan kesempatan untuk... melampiaskan hasrat Ayah?" ujar Abdul dengan nada yang menakutkan dan menggetarkan jiwa.

Ayu merasa seperti jantungnya berada di ujung jalan, ia memicingkan matanya, berusaha keras meyakinkan diri bahwa itu bukanlah Abdul yang tega mengucapkan kata-kata menjijikkan itu. Ketika kebenaran mulai terbuka, Ayu merasa tak berdaya, kakinya gemetar, melangkah mundur tanpa daya, namun pandangannya tetap terpaku pada mertuanya dengan rasa ketakutan yang kian memuncak.

"Nafsu? Maksudnya apa?!" Teriak Ayu, panik dan ketakutan menderanya.

Abdul kemudian merogoh saku celananya dengan tangan gemetar, lalu dengan langkah gontai namun penuh percaya diri, ia mendekati Ayu. Di saat yang bersamaan, Ayu merasa terjepit, ia tak bisa pergi kemana pun, terhenti di tepi ranjang.

"Bagaimana jika kita melakukan kesepakatan, Nak? Kita akan saling bertukar foto ini sebagai jaminan. Kamu harus melayaniku saat ini, dan setelah itu, Ayah akan menghapus foto ini. Kita tak akan membahas ini lagi!" ujar Abdul dengan senyum sinis, sambil menunjukkan foto Ayu berdua dengan dirinya yang begitu mengejutkan hati Ayu.

"Aa-ayah... kenapa? Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku?" isak Ayu, suaranya gemetar dan napasnya tersengal-sengal. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dengan cepat, berusaha merebut ponsel milik Abdul. Namun Abdul sudah siap, ia segera mengangkat ponsel itu lebih tinggi. Saat Ayu melompat dengan tubuh terbentur-bentur demi mendapatkan ponsel itu, tangan Abdul tiba-tiba menyambar leher Ayu, membuatnya merasa tidak berdaya, terjebak dalam keputusasaan yang mendalam.

"Nak Ayu, Ayah sudah cukup lama tidak merasakan ini!" ujar Abdul dengan nada merayu, lalu perlahan menurunkan tubuh Ayu yang tadinya terangkat olehnya. Dalam kepanikan, Ayu berjuang untuk melepaskan diri dari cengkraman Abdul.

"Uhukkkkk, lepaskan!" jerit Ayu ketika tangan Abdul masih mencekik lehernya.

"Sayang, mengapa kamu menolak Ayah?" ucap Abdul dengan suara lembut yang justru membuat Ayu merasa risih, sehingga dia menoleh ke kanan.

"Ayo, lihat Ayah sini!" ucap Abdul sambil mencengkram rahang Ayu, memaksa wajahnya menatap Abdul, dengan mata berbinar Ayu menatap Abdul, dan Abdul sejenak tersenyum penuh kemenangan.

Seketika itu juga, Abdul menyambar bibir Ayu , membuat Ayu meronta semakin kuat, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Abdul. Tubuh Ayu gemetar, seraya tangannya mencoba untuk melepaskan cekalan tangan Abdul yang terasa semakin menghimpit lehernya. Saat Ayu merasakan dunianya semakin gelap, tekadnya untuk melawan terus membara.

Dengan sekuat mungkin, tangan Abdul melayang ke arah perut Ayu, menumbukkan pukulan yang membuat perempuan itu terhuyung jatuh ke belakang. Kini, Ayu terkulai tak berdaya di atas kasur, tubuhnya terbujur dalam kesakitan. Ayu memeluk perutnya, seraya menahan sakit yang melanda.

"Akkk, sakit!" pekik Ayu.

"Saya akan lebih keras, kalau kamu tidak mau mengikuti keinginanku. Ingat, saya hanya mau sekali ini saja. Kalaupun kamu tidak mau, kemungkinan kamu akan menyesal. Karena foto ini akan sampai kepada suamimu, bahkan kamu akan rugi, karena mau kamu setuju atau tidak, saya akan tetap melakukannya!" Ujar  Abdul dengan nada mengancam, namun cukup membuat Ayu semakin ketakutan.

Matanya yang seketika sembab menyembulkan ketakutan mendalam. Sudut hatinya menangis dan ia merasa tertindas, seakan dunia runtuh di hadapannya. Ayu berada dalam situasi yang penuh ketakberdayaan, terjebak dalam ancaman dan pilihan sulit yang terasa bagai memilah racun mematikan.

.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel