Ternyata Ipar
Setelah Ayu terbangun, ia merasa sesuatu yang tidak beres di tubuhnya. Ia melihat bekas ceceran cairan yang mengagetkan dan segera beranjak, meski tubuhnya masih terasa lemas. Dengan napas tersengal-sengal, Ayu berlari menuju pintu keluar, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memandang sejauh mata, namun tidak ada satu pun orang yang tampak di sana.
"Astaga, siapa yang tega melakukan ini? Aku tahu ini cairan milik seorang pria!"
gumamnya terguncang, perasaan pasrah menyelimuti hatinya, namun di satu sisi ia masih penasaran dan marah pada siapa yang berani melakukannya.
Tak lama, Ayu kembali memeriksa keadaan dalam rumahnya, sempat ia curiga pada mertuanya, namun setelah memastikan semuanya aman, ia pun menarik tuduhan itu. Ayu merasa cemas saat menyingkap daster yang dikenakannya.
"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur, karena yakin orang yang melakukannya belum terlalu jauh.
Ting tong, Ting tong!
Ayu langsung menyadari bahwa bel rumah telah berbunyi. Dengan yakin, dia membayangkan bahwa itu pasti mertuanya. Ayu melangkah menuju pintu yang tak tertutup rapat dan segera melihat bahwa bukan mertuanya yang datang, melainkan seorang pria. Dia menatap pria itu curiga, bertanya-tanya apakah dialah yang menyemprotkan cairan aneh di wajahnya.
"Hei, kamu cari siapa?" Ayu menegur dengan nada dingin. Pria tinggi tegap itu menatap Ayu heran, perhatiannya tertuju pada bercak putih di wajah dan jilbab Ayu.
"Kamu siapa? Kamu pembantu baru di sini ya?" "Heh! Saya yang harusnya nanya, kamu siapa? Sejak kapan kamu di sini? Pernah gak masuk ke rumah ini sebelumnya dan lihat aku tidur?" Ayu balik bertanya.
"What?" Pria itu terkejut dan tampak bingung dengan pertanyaan Ayu yang tak terduga.
Sorot mata mereka begitu tajam, seolah-olah sinar api saling memercik di antara pandangan mereka. Rasa tegang mulai terasa di udara, namun mereka berdua sama-sama mencoba menahan amarah yang hampir meluap. Kedua bibir mereka saling bergetar, hendak mengeluarkan kata-kata penuh rasa tidak enak, tetapi mereka menahan diri, menunggu detik yang tepat untuk memulai pertengkaran yang tak terelakkan.
Tangan mereka berdua mengepal erat, persiapan untuk melontarkan kata-kata pedas yang sudah terpendam. Dada mereka berdua naik turun, pernapasan mulai terengah-engah karena emosi yang begitu kuat, tetapi mereka tetap diam, saling menatap tajam, seperti predator yang mengintai mangsanya.
Ayu berdiri tegap, wajahnya memerah karena malu dan kekesalan. Bercak putih di wajahnya seolah menjadi simbol penghinaan yang tak termaafkan.
"Aku tahu ini semua ulahmu, kan !" teriak Ayu dengan suara yang lantang.
"Kamu jangan sok bisa berbahasa Inggris deh, aku tahu kamu lah dalang di balik bercak putih di wajahku ini."
Adit terkejut mendengar tuduhan tersebut dan segera membela diri,
"Kamu salah paham. Aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu."
Ayu melanjutkan,
"Di tempatku sebelumnya, sudah banyak kejadian serupa yang melibatkan pria-pria tidak bertanggung jawab, yang rela melakukan apa saja demi kepuasan mereka. Kamu juga pasti salah satu dari mereka!"
Adit mencoba menjelaskan,
"Woeee, aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Aku tidak pernah melakukan hal yang kamu tuduhkan padaku."
Namun, Ayu tidak mau mendengarkan penjelasan Adit. Emosinya terus memuncak,
"Kau jangan asal menuduh seperti itu! Apa kau kira aku ini siapa? Aku anak pertama pemilik rumah ini, lho! Kenapa kau seenaknya menuduhku sebagai pria yang kau sebut tadi? Dengar baik-baik, meskipun aku belum menikah, tapi aku belum pernah melakukan itu, karena aku sedang menunggu waktu yang tepat, bersama wanita yang tepat." balas Adit dengan keras, membela diri dari tuduhan yang menurutnya sangat menghina itu.
"Jangan pernah berpikir bahwa aku bisa semurah itu, amit-amit deh aku melakukan hal seperti itu padamu, dasar omes!" ucap Adit.
Keduanya terus berargumen, tak peduli pada lingkungan sekitar, saling menuduh dan membela diri. Hati mereka masing-masing pasti sedang terbakar oleh emosi dan kebencian yang tak terelakkan. Namun, di balik pertengkaran itu, tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka, perasaan yang terpendam, dan hal yang memicu pertengkaran ini.
"Jadi, itu artinya kamu iparku. Eh, tunggu. Apa itu 'omes'?" tanya Ayu bingung dengan nada datar.
"Kamu istrinya siapa? Istri barunya ayahku? Atau siapa sih?" Adit balik bertanya.
"Oh, iya. 'Omes' itu otak mesum." lanjut Adit.
Ayu menghela napas,
"Kamu pernah menempuh pendidikan nggak sih? Namanya juga ipar, itu artinya aku menikah dengan salah satu saudaramu. Kalau nikah dengan ayahmu, berarti kamu anak tiri, dan aku jadi ibu tirimu."
Di satu sisi, Adit sedikit heran dengan Ayu. Selama ini, tak ada satu pun wanita yang berani menantang atau berdebat dengannya. Adit selama ini dipandang sempurna oleh kalangan wanita, dari segi fisik atletis dan wajah tampan.
"Kayaknya, nih cewek lebih pede dariku. Makanya, dia sama sekali nggak sadar kalau aku ini tampan dan menawan!" gumam batin Adit begitu percaya diri.
Di tengah perdebatan yang memanas, tiba-tiba muncul sosok pria yang tak lain adalah Abdul.
"Ayah!" seru Ayu dan Adit bersamaan, terkejut dengan kehadiran pria itu.
"Cieeee, barengan!" sahut Abdul sambil tersenyum nakal, seolah berlindung dari situasi yang sebenarnya.
"Yah, apakah benar dia anak Ayah juga?" tanya Ayu dengan wajah masih tegang. Abdul menghela napas panjang,
"Hmm... iya, Yu. Adit memang anak Ayah juga." Ia kemudian berusaha mengalihkan perhatian mereka dari konflik tersebut.
"Eh, kok di jilbab Ayu ada noda aneh gitu, ya? Kalian habis ngapain ?" Ayu sontak tersentak, merasa tersinggung dengan pertanyaan tersebut.
Hatinya terasa terluka, seakan-akan dituduh berbuat hal yang tidak senonoh bersama Adit. Adit, yang melihat keadaan Ayu, segera membela.
"Husst, Ayah!" tegurnya sambil memberikan isyarat kepada Ayu untuk pergi.
Ayu mengangguk, berusaha menutupi rasa malunya.
"Saya pamit ke dalam, Yah. Mas, saya minta maaf atas sikap saya tadi, dan terima kasih!" ucapnya lembut, sembari berbalik dan melangkah menuju kamar.
Di sepanjang langkah demi langkahnya menuju kamar, Ayu terus terbayang sikap kedewasaan yang dimiliki Adit. Wajahnya berangsur memerah, dan senyuman simpul malu tak bisa ia sembunyikan di balik jilbabnya.
Setelah Ayu pergi, Abdul tak lupa untuk menyambut anak sulungnya dengan pelukan hangatnya, seolah menggandakan dirinya sebagai ibu dan seorang Ayah.
"Yah, tadi itu istrinya Adam, kan?" tanya Adit penasaran.
"Iya Dit, seharusnya Adam tahu diri. Dia kan lebih muda darimu. Masa kakaknya dilangkahi gitu?"
"Hehe, santai aja Yah, aku sih masih suka masa lajang ini," sahut Adit sambil tertawa.
"Yah, boleh kan Adit tinggal sementara di sini? Mungkin tiga bulan? Soalnya Adit dipindah tugaskan ke kota ini." Ucap Adit dengan nada minta izin.
"Adit, Adit, kamu ini selalu bikin Ayah ga enakan. Kamu meraih cita-citamu sendiri dengan jerih payah, tapi pas ke sini, malah minta izin buat tinggal. Hahaha, kalau kamu minta izin, itu artinya kamu bukan anak Ayah lagi lho. Ingat ya, Dit."