Bab 8 Gio yang Dingin
Bab 8 Gio yang Dingin
Akira duduk di lantai sembari menekuri pergelangan kaki kanannya yang membengkak. Gio memelototi dirinya begitu tahu kakinya seperti itu.
“Siapa suruh kau menerima pernikahan ini? Berjalan dengan sepatu berhak pun kau kesulitan.”
Akira diam saja. Gio berdecak sesaat menyadari bahwa gadis itu tuli, buat apa dia repot-repot memarahinya?
Usai memarahinya, Gio pergi dari hadapan Akira dan meraih gagang telepon di atas meja nakas. Akira memegangi pergelangan kakinya yang membiru. Ia memijatnya berkali-kali. Sepatu berhak tinggi tergeletak tak keruan di samping kakinya. Pria itu mungkin mempersalahkannya yang memaksakan diri mengenakan benda itu.
Tak beberapa lama, pria itu berdiri dan berjalan keluar. Akira hanya menatapnya dan memandangi yang membuka pintu. Seorang petugas hotel datang. Ada apa?
Gio menghela napas dalam-dalam usai menutup pintu. Ia menghampiri Akira dan melempar sesuatu yang ia dapatkan dari petugas hotel. Akira refleks menggerakkan tangannya dan sesaat benda itu mendarat tepat kedua tangannya.
“Olesi kakimu dengan itu,” seru Gio.
Belum sempat Akira menerjemahkan kata-kata itu, ia tersenyum pada pemberian Gio. Lelaki itu memberikannya sesuatu untuk membuat kakinya lebih baik. Ia mengangkat wajahnya pada Gio yang masih berdiri di depannya. Pria itu balik menatap dirinya sambil berkacak pinggang.
“Kenapa?”
Senyum Akira makin lebar. Ia menggerakkan tangan kanannya di depan dada, mengisyaratkan bentuk terima kasih. Ini adalah ucapan terima kasih Akira yang kedua pada Gio. Namun, pria itu lagi-lagi mengernyit dan melengos—meninggalkan dirinya begitu saja.
Senyum Akira memudar perlahan. Pandangannya mengikuti arah Gio yang berjalan ke balkon. Pria itu mengeluarkan ponselnya dari saku pantalon, memperhatikan benda itu beberapa saat lalu menempelkannya pada telinga.
Akira melongok ingin tahu. Telepon dari siapa? Kenapa harus di luar? Lagi pula Akira tak akan bisa mendengarnya jika pria itu menjawab teleponnya di dalam.
Gio terus berada di balkon bermenit-menit sambil menerima telepon dari seseorang yang tidak Akira ketahui siapa. Akira hanya menatapnya dari jauh hingga akhirnya tersadar bahwa pria itu ... menganggap dirinya bukan siapa-siapa. Ia bahkan harus tidur di lantai. Begitu, 'kan, kata pria itu? Akira menatap tempat tidur yang besar dan mewah yang jauh dari tempatnya duduk. Ia merapatkan botol yang diberikan Gio padanya di depan dada. Sejijik itukah Gio padanya? Akira kembali menunduk. Dadanya sesak. Dapatkah ia melalui hidupnya seperti saat di rumah orang tua angkatnya setelah ini? Setidaknya ia harus mengurus dirinya dengan baik. Ia harus baik-baik saja. Ia akan baik-baik saja setelah ini. Alih-alih bertanya akan seperti apa hidupnya setelah ini, ia kembali mengucapkan mantra itu dalam hati.
***
Malam pertama usai pernikahannya dengan Gio, Akira benar-benar tidur di lantai. Tanpa alas apa pun. Ia bahkan masih mengenakan gaun pernikahannya yang terbuka. Sementara pria itu sudah terlelap dengan nyenyak di atas ranjang mewah. Akira meringkuk menekuk lututnya dan merapatkan kedua lengan untuk menyangga kepalanya. Nyeri di pergelangan kakinya sudah agak berkurang. Namun, ia tidak bisa tidur. Lantai ini begitu dingin. Akira lantas terduduk. Pandangannya kembali mengarah pada tempat tidur yang besar itu.
Jika bersandar saja tidak masalah, 'kan? Akira lantas berdiri dengan hati-hati. Ia berjalan ke arah di mana Gio tertidur. Dalam keheningan dan keremangan cahaya lampu tidur, Akira bisa melihat wajah Gio yang mengernyit dalam-dalam.
Apakah pria itu sedang bermimpi buruk? Kenapa raut wajahnya seperti itu? Batin Akira. Ia menunduk dan memperhatikan raut wajah pria itu yang tetap tampan saat tertidur. Saat tidur pun wajahnya begitu dingin. Lagi-lagi Akira mengomentari pria itu dalam hati. Ia akhirnya memutuskan untuk duduk di lantai dan menyampirkan kedua tangannya di atas tempat tidur lalu menidurkan kepalanya tepat di dekat pria itu. Dari jarak sedekat ini, Akira bisa menatap wajah Gio lebih jelas.
Aku hanya bersandar saja di sini. Tidak apa-apa, ‘kan? Akira mengerjapkan matanya berulang kali menatap wajah Gio yang tadinya mengernyit hingga lamat-lamat berkurang. Tanpa sadar, Akira terlelap dengan mudahnya.
Keesokan paginya, saat Akira masih terlelap, Gio membuka matanya tepat di depan wajah gadis itu. Ia terkejut bukan main dan lekas-lekas bangkit dan menjauh.
“Kenapa gadis tuli ini ada di sini?” Gio mengesah dalam-dalam. Ia mengamati gadis itu yang tertidur pulas dan masih mengenakan gaun pernikahan. Ia lantas menarik selimutnya yang tertindih di tangan gadis itu dengan kasar. Seketika itu, Akira terbangun. Ia mengerjapkan matanya perlahan.
“Hei, kenapa kau tidur di sini?!” seru Gio.
Akira menguap lebar-lebar lalu tersenyum dan meminta maaf karena menguap. Ia menggerakkan tangan kanannya ke depan, kembali meminta maaf.
“Hah, percuma aku bicara denganmu!” ujar Gio. Pria itu menyibak selimutnya dan beranjak dari tempat tidur.
“Lebih baik kau ganti pakaianmu. Apakah kau akan memakai gaun itu sepanjang waktu?”
Akira hanya menatapnya dengan bingung. Gio lagi-lagi mengesah. Bisa-bisanya ia menerima pernikahan bodoh ini? Lihat, mengurusi diri sendiri saja gadis itu tidak bisa, apalagi mengurusi suaminya? Gio berdecak sesaat mempertanyakan hal itu dengan bodohnya. Pikirannya kacau setelah berjam-jam menerima telepon dari Fellycia dan membicarakan tentang pernikahan ini. Beruntung kekasihnya mau mengerti setelah ia membujuknya.
Gio lantas mengambil pakaian dan melemparkannya pada Akira.
“Pakai itu! Ayahku sungguh terlalu baik padamu,” seru Gio.
Akira menatap pakaian yang dilemparkan Gio padanya. Kenapa pria itu selalu saja memberikan sesuatu padanya seperti ini? Akira lantas bangkit dan menuju kamar mandi. Di dalam, ia cukup kesulitan untuk melepaskan gaunnya hingga akhirnya mencari-cari Gio. Pria itu lagi-lagi berada di balkon. Masih mengenakan kimono tidurnya sambil menelepon seseorang.
Akira mendekat dengan langkah kakinya yang hati-hati sambil merembet ke tembok. Saat tiba di sana, Gio mengernyitkan dahinya sambil meliriknya tajam. Bibirnya tak lagi bergerak. Mungkin ia menghentikan pembicaraannya sesaat atau tengah mendengar lawan bicaranya. Akira menunggu. Agaknya tidak sopan jika ia harus meminta bantuan sekarang. Namun, Gio tak kunjung mengakhiri teleponnya. Akira sudah terlalu lama berdiri. Kakinya kembali terasa nyeri. Ia lantas kembali ke dalam dan terkulai di lantai saking tidak kuatnya. Ia kembali menyentuh nyeri di kakinya dan meraih botol pemberian Gio semalam. Sembari menunggu Gio selesai menelepon, Akira kembali mengurus kakinya.
Sudah begitu lama, hampir satu jam berlalu, Gio masih bersandar di balkon dengan ponsel di telinga. Akira menunduk sampai akhirnya beberapa saat pria itu melewati dirinya dan masuk ke kamar mandi. Saat itu, Akira merasa dirinya benar-benar tidak dianggap ada.
Akira lantas mendekat ke pintu kamar mandi dan memutuskan menunggu Gio di sana. Saat pria itu keluar, sesuatu kembali terlempar pada wajahnya. Akira terkejut dan memungut pakaian yang sama dilemparkan padanya beberapa waktu lalu. Ia mendongak dan menatap amarah yang kembali terbaca di wajah Gio. Gerak bibir itu terlalu cepat untuk Akira. Dalam keheningan itu, Akira memberanikan diri untuk meminta bantuan Gio. Pria itu mengernyit tidak mengerti. Akira lantas berusaha untuk menjelaskan sambil menyentuh bagian punggung gaunnya.
Tak beberapa lama, Gio menangkap lengannya dan menyeret gadis itu masuk ke kamar mandi. Dengan rahangnya yang mengeras, pria itu membantu Akira membuka kait gaunnya yang rumit di bagian punggung. Akira menatap dirinya dan pria itu pada pantulan cermin. Senyum Akira terulas tipis-tipis sesaat gaunnya mulai longgar. Ia lekas-lekas menyangga bagian depan gaunnya dengan kedua lengan. Sebuah dorongan kasar lantas menyentuh punggungnya.
“Sisanya kau bisa lakukan sendiri,” seru pria itu meninggalkan Akira sendirian.
Di luar, Gio memesan sarapan untuk diantar ke kamarnya. Petugas hotel kembali mengulang pesanan Gio lantas bertanya, “Ada tambahan lagi, Tuan?”
Gio mengesah saat mendengar pertanyaan itu. Pandangannya terarah pada pintu kamar mandi yang tertutup. Akira masih belum selesai dari sana.
“Saya pesan satu lagi. Menu yang sama.”
Ia tidak mungkin membiarkan gadis itu kelaparan, akan repot nantinya. Ayahnya mungkin akan mencincangnya jika gadis itu dalam bahaya. Fellycia juga. Ia benar-benar hidup dengan dua perempuan yang harus dipikirkan.
Benar-benar merepotkan!
***
Selama dua hari di hotel itu, tidak banyak yang dilakukan Akira. Ia hanya termenung dan lebih banyak diam di dalam kamar. Sementara itu, Gio berulang kali pergi keluar tanpa dirinya. Akira pernah bertanya akan kemana dirinya, tapi pria itu melengos pergi tanpa menjawabnya. Gadis itu tertunduk lemah di depan pintu kamar yang tertutup.
Saat kembali, Gio juga tidak menyapa Akira. Pria itu membawa sebuah camilan dan memakannya sendirian di balkon. Lagi-lagi sambil menelepon seseorang. Akira penasaran, siapa yang ditelepon oleh pria itu hingga berlarut-larut sampai malam. Akira hanya memandang Gio sambil termenung hingga akhirnya matanya memberat. Ia tertidur dengan sendirinya di lantai dengan kedua tangan terlipat menjadi alas kepala.
Gio yang menyudahi teleponnya dengan kekasihnya masuk dan mendapati Akira terlelap di lantai yang menghadap balkon. Ia melewati gadis itu begitu saja lalu merebahkan diri di tempat tidur.
***