Bab 7 Kehidupan Baru
Bab 7 Kehidupan Baru
Upacara pernikahan itu digelar dengan baik. Janji suci sudah terucap. Ia mengingat baik-baik janji itu disisipi nama Giovanno Valery Lyxn. Jadi, itu namanya? Akira baru mengetahui nama pria itu. Beruntung, Akira dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat untuk melakukan prosesinya. Keluarga Lyxn benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang termasuk cincin pernikahan yang cantik. Akira tak pernah menyangka akan ada seseorang yang menyematkan cincin pernikahan ke jari manisnya.
Namun, batin Akira tidak bisa berhenti teriris. Tidak hanya tatapan dan wajah pria itu yang sangat dingin pada Akira, tapi jemari pria itu pun dingin sekali. Proses menautkan cincin padanya begitu singkat. Pria itu seakan jijik dan tidak mau menyentuh jemarinya lama-lama. Pun saat Akira balas menyematkan cincin ke jari manis suaminya. Iya, suami. Pria dengan rahang tegas yang tengah menatapnya dengan sorot mata tajam itu adalah suaminya sekarang.
Pria itu dengan gerakan cepat menjauhkan jemarinya yang baru tersemat cincin di pertengahan lekuk jari. Akira lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis. Sementara pria di hadapannya itu meneruskan sendiri tautan cincinnya. Tak lama sang pastor mengatakan sesuatu.
“Mempelai pria saat ini sudah bisa mencium mempelai wanitanya.” Akira menahan napas sesaat mengetahui kalimat itu lewat seseorang yang menerjemahkannya ke bahasa isyarat.
Pria di hadapan Akira kini balik menatap pastor tak kalah tajamnya. Akira sangat mengerti pria itu tidak bisa menerima proses akhir yang satu itu. Tanpa memperhatikan gerak bibirnya, raut wajah keengganan pria itu begitu jelas terbaca di mata Akira.
“Bisa kita lewati proses yang satu itu?”
“Oh, tapi—“ Sang pastor lantas melirik Tuan Lyxn yang ada di bangku baris depan bersama istrinya.
Pria itu, Giovanno Valery Lyxn menatap ayahnya, Tuan Reynold Lyxn yang kini seakan tengah mendikte dirinya. Ia benar-benar muak sekali. Pernikahan yang hanya dihadiri kedua keluarga inti ini harus ditutup dengan sebaik mungkin sesuai rencana ayahnya.
Sampai pada akhirnya, Gio maju selangkah lebih dekat pada Akira. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuka penutup wajah gadis yang kini resmi menjadi istrinya. Akira balik menatap wajah pria itu. Sorot mata pria itu tidak berubah, masih saja begitu tajam padanya. Akira menahan napas sesaat jemari tangan pria itu menyentuh kedua bahunya. Dingin.
Kini keduanya balas bertatapan. Akira tidak tahu lagi harus bagaimana. Pria ini akan menciumnya. Wajahnya menegang seketika wajah pria itu mendekat. Jantung Akira berdebar tidak keruan. Matanya terpejam rapat-rapat. Akira yakin sekali wajahnya sudah kian merapat dengan pria itu. Bahkan Akira menghitungnya dalam hati. Namun, tidak terjadi apa-apa. Pria itu memanipulasi suasana sampai akhirnya melepaskan dirinya. Saat Akira membuka mata, seulas senyum sinis terpampang di wajah pria itu. Lagi dan lagi, batin Akira teriris.
Gadis itu menoleh pada keluarganya dan keluarga Lyxn. Mereka tersenyum semringah dengan akhir proses yang sebenarnya tidak dilakukan dirinya dan suaminya itu. Akira kembali tersenyum tipis, menyadari bahwa hidup barunya baru saja dimulai bersama dengan seseorang yang sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.
***
Setelah acara pernikahan itu, Akira berdiri di dekat Gio yang tengah bicara dengan Tuan Reynold. Dalam keheningan, ia menatap Tuan Reynold yang seperti tengah bersitegang dengan suaminya.
“Kau harus menuruti kata-kataku, Gio!”
“Tidak, Ayah. Aku tidak mau.”
“Gio! Kau harus melakukannya.”
“Aku sudah turuti kemauan Ayah untuk menikahi gadis tuli ini!” tunjuk Gio pada Akira. Gadis itu tersentak sesaat menyadari kata apa yang baru saja terlontar.
“Hanya—menikahinya, Ayah.” Gio menekan baik-baik kalimatnya. “Tidak lebih.”
“Kau pikir kenapa aku melakukan ini padamu? Semua ini demi kebaikan dirimu, Gio.”
“Tapi aku tidak mencintainya—“
“—Kau mencintai jalang itu?!” pekik Tuan Reynold.
“Ia punya nama, Ayah!” seru Gio. “Fellycia.”
“Dia itu jalang, Gio!”
“Sayang ...,” Lucia kembali melerai ayah dan anak itu. Sementara Akira meremas kedua tangannya berkali-kali memandang amarah yang kembali meluap-luap di wajah Tuan Reynold dan pria yang kini menjadi suaminya.
“Kalau kau tidak mau pergi bersama Akira, jangan harap kau masih melihat wanita jalang itu baik-baik saja, Gio!”
Gio mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ia benar-benar muak. Bisa-bisanya ayahnya menyebut kekasihnya seperti itu dan mengancamnya.
“Ayah lebih membela gadis tuli ini?!” geram Gio. Lagi-lagi ia menunjuk Akira dengan tatapannya yang jijik. “Dia sungguh memalukan, Ayah. Ayah tak seharusnya memilih dia menjadi menantu—“
“—Kau yang seharusnya lebih membuka matamu, Gio!” sergah Tuan Reynold. “Buka matamu! Akira lebih baik daripada wanita jalang itu!”
“Ayah—“
“Pergi dan bawa istrimu, Gio!” Tuan Reynold kembali memekik. “Akan kupastikan benar-benar, hidup wanita jalang itu tidak akan kubiarkan tenang!”
Sial! Ayahnya tidak mungkin bercanda dengan kalimatnya. Fellycia akan dalam bahaya jika ia tidak menuruti ayahnya. Ia berdecak dan menarik kasar lengan Akira.
“Kita pergi dari sini,” serunya.
Akira yang terlalu terkejut hanya bisa pasrah dengan perlakuan pria itu.
“Perlakukan istrimu dengan baik, Gio!” Seruan ayahnya tak digubris Gio sepanjang langkahnya menuju mobil.
Akira berusaha untuk mengimbangi langkah Gio hingga akhirnya kakinya terseok dan ia terjatuh. Gio yang tengah kesal mengempaskan tangannya begitu saja. Akira merintih kesakitan.
“Kau ini bisa tidak, sih, tidak merepotkan orang?” seru Gio.
Akira berusaha bangkit, tapi tidak kuat karena pergelangan kakinya terasa begitu sakit. Gio yang tidak sabar akhirnya membantu Akira berdiri hingga kembali menarik gadis itu untuk segera meninggalkan tempat ini. Pandangan ayahnya di belakang sana sungguh-sungguh mengawasi dirinya. Namun, gadis itu tidak bisa berdiri dengan baik. Sepatunya membuatnya kesulitan apalagi rasa sakit mulai terasa di kakinya. Akhirnya, Gio membopong gadis itu dengan terpaksa.
Shella, ibu angkat Akira yang melihat momen itu hampir berteriak pada suaminya, Ferdian.
“Ya, Tuhan! Kau lihat itu, Sayang? Akira benar-benar seperti tuan putri.” Ferdian hanya tersenyum tipis.
Di sisi lain, Lucia hanya tersenyum miring lalu berdecih tanpa suara di samping suaminya. Tuan Reynold pun masih terus-menerus mengawasi Gio yang baru saja masuk ke limosin yang persiapkan khusus untuk mengantarkannya bersama sang istri ke suatu tempat usai pernikahan ini. Ia berharap Gio tidak lagi memikirkan kekasihnya itu.
***
Akira dan Gio tiba di sebuah hotel mewah dengan disambut beberapa pelayan yang menunduk takzim pada keduanya. Mereka diantar khusus melalui lift yang berbeda. Akira yang berjalan dengan kesulitan hanya bisa menahan rasa sakit kakinya sambil terus berjalan. Sementara itu Gio tampak berjalan sudah jauh darinya. Sesaat menyadari itu, Gio berdecak dan kembali padanya lalu menarik lengannya dengan kasar.
“Jangan biarkan mereka memandangku begitu buruk,” tekan Gio di depan wajah Akira.
Akira hanya terdiam. Lengannya lantas dilingkarkan di antara lengan Gio. Pria itu berjalan mengimbangi langkahnya pelan-pelan hingga tiba di hadapan petugas hotel.
Petugas itu menatap Akira khawatir. “Apakah Nona sedang sakit, Tuan Muda?”
“Dia tidak apa-apa,” sahut Gio lekas-lekas menjawab petugas hotel itu.
“Buka pintunya.”
“Silakan, Tuan.” Petugas hotel itu membuka pintu dan mempersilakan Gio dan Akira masuk.
“Kau bisa keluar sekarang, kami akan memanggilmu jika diperlukan,” ujar Gio.
Petugas hotel itu mengangguk. “Baik, Tuan. Saya permisi.”
Sepeninggalan petugas hotel, Gio menghempaskan tangan Akira dari lengannya lalu mendorong gadis itu menjauh darinya. Akira limbung sesaat hingga akhirnya terjatuh ke lantai.
“Kau—tidur di lantai!” seru Gio dengan penuh penekanan menunjuk ke arah di mana Akira berada. Gadis itu mengerti. Ia melirik tempat tidur yang luasnya bahkan bisa menampung lebih dari dua orang. Namun, Akira tidak membantah. Ia mengangguk pada Gio. Pria itu memandangnya dengan tajam sembari melepaskan tuksedo dan kancing-kancing di dekat pergelangan tangannya.
Kita lihat, apakah kau bisa bertahan dengan pernikahan ini? Gio berdecih sesaat mempertanyakan hal itu dalam batinnya.