Bab 6 Hari Bahagia?
Bab 6 Hari Bahagia?
Tanggal pernikahan Akira dan Giovanno sudah ditentukan. Lebih cepat daripada yang mereka bayangkan. Dan tentu saja segala sesuatunya sudah dipersiapkan oleh keluarga Lyxn.
Giovanno tak bisa mengelak lagi saat ayahnya memutuskan tanggal pernikahan dirinya dengan gadis tuli itu yang akan digelar pada hari ini. Berulang kali Gio merutuki rencana pernikahannya itu. Ini benar-benar di luar nalar. Bagaimana mungkin dirinya menikah dengan seorang gadis tuli? Ayahnya benar-benar sudah keterlaluan!
Ia duduk bersandar di sofa sambil memijat pelipisnya. Kemeja wing collar putihnya sudah dikenakan lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sementara tuksedonya masih tergantung di dekat almari. Ia belum berniat mengenakannya secepat itu.
Berkali-kali sudah ia menelepon kekasihnya, tapi tidak terjawab. Perempuan itu pasti masih tertidur. Gio hapal betul ini masih jam tidurnya. Perempuan itu selalu bangun agak terlambat darinya.
Gio mengesah dalam-dalam. Ini sungguh buruk. Ia akan menikah dan itu bukan dengan perempuan yang ia cintai. Fellycia pasti akan sangat kecewa dengannya. Ia harus memberitahu semua ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk untuknya.
Ia kembali menelepon perempuan itu. Selang beberapa saat, panggilan itu akhirnya terjawab.
“Eum .... Halo, Sayang!” Suara perempuan itu terdengar menggerunyam. Benar, ia baru bangun tidur.
“Dengarkan aku baik-baik, Fellycia.” Gio menghela napas pendek. Ia tidak mau buang-buang waktu.
“Aku akan menikah hari ini,” ungkapnya.
Hening agak lama sampai akhirnya terdengar suara perempuan itu terkekeh-kekeh. “Sayang ... masih terlalu pagi untuk membuatku benar-benar terbangun.”
Gio bangkit dan bertolak pinggang dengan satu tangan mendengar kekasihnya yang belum sepenuhnya sadar.
“Kalau kau butuh aku untuk menemanimu, minta sopirmu menjemputku dua jam lagi, ya. Aku benar-benar masih mengantuk, Sayang,” ujar Fellycia dengan suara imut.
“Fellycia, aku sedang tidak bercanda,” tegas Gio.
Kekehan kembali terdengar.
“Sayang, kau pasti mau membuatku terkejut dengan candaanmu agar bangun lebih pagi, 'kan? Tapi, sungguh, bercandamu ini tidak lucu.”
Gio tak menjawabnya hingga pada akhirnya kekasihnya itu kembali bicara.
“Sayang ...?”
“Hei, kenapa kau diam saja?” Nada bicara perempuan itu mulai khawatir. Namun, lagi-lagi Gio tak menjawabnya. Jika sudah begitu, kekasihnya tahu bahwa Gio sedang tidak main-main dengan kata-katanya.
“Sayang, kau tidak serius dengan kata-katamu tadi, ‘kan??”Suara kekasihnya mulai naik.
“Sayang, jawab aku! Kau bercanda, 'kan? Kau tidak mungkin akan menikah, 'kan? Sayang?”
“Sudah kukatakan tadi, aku tidak sedang bercanda, Fellycia,” ulang Gio.
“Apa maksudmu?? Kau sudah tidak mencintai aku lagi??” seru kekasihnya dengan suara terisak.“Sayang ...?”
“Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Fellycia. Tentu saja aku masih mencintaimu,” sahut Gio.
“Lalu ... kenapa kau akan menikah dengan orang lain??” rintih kekasihnya.“Setelah ini ... kau akan meninggalkan aku? Setelah semuanya? Kau akan melupakan aku begitu saja?? Kau tega, Gio ...!” Suara perempuan itu membuatnya sakit kepala. Ia sudah cukup muak dengan rencana ayahnya, kini kekasihnya merajuk padanya. Ia harus menjelaskan ini.
“Fellycia,” seru Gio.
“Kau jahat, Gio!”
“Fellycia, dengarkan aku!” pekik Gio. “Aku hanya mencintaimu,bukan perempuan itu.”
Suara isak di seberang panggilan makin terdengar mengkhawatirkan. “Lalu ... kenapa kau lakukan ini padaku?”
“Ini bukan kemauanku, Fellycia. Ini permintaan ayah dan aku tidak bisa menolaknya.”
“Bagaimana denganku setelah ini?? Kau benar-benar akan meninggalkan aku??” rajuk Fellycia.
Gio menggeleng. “Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau akan tetap bersamaku setelah ini.”
***
Akira menatap dirinya pada pantulan cermin. Seseorang yang membantunya mengatur gaun dan merias wajahnya tersenyum lebar padanya.
“Nona, cantik sekali,” katanya.
Akira hanya tersenyum tipis. Ia amat mengerti kalimat yang terbaca dari bibir merah tua itu. Ia juga takjub sendiri dengan penampilan dirinya. Terasa lain. Seperti bukan dirinya yang biasa ia lihat sehari-hari, tetapi mata yang sendu itu masih mengenali dirinya di sana. Manik cokelat yang terang seperti namanya, rambut panjangnya yang hitam legam tertata cantik dan bibirnya yang menyunggingkan seulas senyum. Bukankah perempuan yang akan menikah harus tersenyum? Ia mengingat ucapan ibu angkatnya.
Namun, apakah semua ini akan baik-baik saja?
“Tuan muda pasti akan sangat tercengang menatap Nona.”
Akira menundukkan pandangannya dari pantulan cermin. Ia menyadari gerak bibir wanita itu tengah membicarakan siapa barusan. Calon suaminya, anak Tuan Reynold yang baru ia temui beberapa malam lalu. Seseorang yang menolongnya saat hampir terjatuh di malam pertama kali mereka bertemu.
Malam itu, pria itu jelas-jelas membuat satu peringatan keras dalam tatapannya. Apakah ia akan baik-baik saja? Putra Tuan Reynold tentu tidak mungkin serta-merta menerima pernikahan ini begitu saja. Apalagi saat tahu dirinya tuli. Akira mengingat jelas bagaimana pria itu menyebutkan kata itu sembari memandang hina dirinya.
“Nona, saya tinggal dulu. Saya mau cek apakah mobil yang menjemput Nona sudah datang atau belum.”
Akira hanya terdiam. Wanita itu lantas berlalu begitu saja menutup pintu.
Sepeninggalan wanita itu, Akira kembali memandangi dirinya di depan cermin. Menilik setiap lekuk gaun putih dengan brokat bunga aster yang membalut tubuh mungilnya dengan sempurna. Bagian ekornya begitu panjang dan anggun. Jika Akira tidak menikah dengan anak Tuan Reynold, ia tidak mungkin akan memakai gaun pengantin seperti ini.
“Nona, mobilnya sudah datang!”
Akira tidak mendengarnya. Wanita itu masuk dan menyentuh bahunya yang telanjang. Akira menoleh. Senyum dan anggukan wanita itu membuat jantungnya berdebar. Inikah saatnya ia pergi?
Wanita itu lantas menurunkan penutup wajah Akira. Sudah waktunya ....
Akira masuk ke sebuah limosin mewah yang dikirim khusus oleh keluarga Lyxn. Ia melirik dengan hati-hati ke arah ibu dan ayah angkatnya yang menaiki mobil lain. Mereka benar-benar terlihat sangat antusias sekali, berbeda dengan dirinya.
Limosin mewah itu melaju perlahan meninggalkan jalanan rumah orang tua angkatnya. Beberapa tetangga bergumul memandangnya dan berbisik-bisik. Mereka sepertinya heran kenapa tiba-tiba saja ia menikah dan mendapatkan perlakuan macam orang kaya raya.
Akira kembali menunduk, kembali memikirkan nasib dirinya setelah ini. Ia dalam perjalanan menuju hidupnya yang baru. Entah akan seperti apa nanti. Akira meremas keliman gaunnya di pangkuan. Bak sebuah mantra menenangkan hatinya, berkali-kali ia mengucapkan 'aku akan baik-baik saja' sepanjang perjalanan itu.
Setibanya di sebuah katedral tua yang megah, Akira dibantu turun dari limosin. Ia menengadah menatap bangunan sakral itu dari balik jaring-jaring penutup wajahnya.
Ayah angkatnya lantas menghampirinya, menggamit lengannya begitu saja. Akira tidak mengerti. Namun, ia tetap melangkah hati-hati di samping pria itu. Pandangannya lantas menatap ke depan hingga akhirnya pintu katedral terbuka lebar.
Di sana, tepat di depan altar, seseorang sudah menunggunya. Akira mengesampingkan tatapan orang-orang dari barisan bangku depan. Tatapannya terpaku pada pria yang berdiri tegap terbalut tuksedo hitam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Wajahnya yang tampan menghadap dirinya. Sorot matanya begitu tajam hingga terasa menusuk-nusuk tatapan Akira. Sungguh, itu mengingatkan Akira tentang bagaimana nasibnya setelah ini.
Akira mengerjapkan matanya. Senyumnya terulas tipis-tipis. Ia pun kembali mengucapkan mantra dalam hati hingga tiba di hadapan pria itu. Aku akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja.
Pria itu menyambut dirinya dengan uluran tangan. Akira menyentuhnya hati-hati. Tangannya tergenggam perlahan. Ia lantas dibimbing untuk menghadap pada apa yang akan dijalaninya setelah ini.
Akira menarik napasnya dalam-dalam. Hatinya kembali berucap, aku akan baik-baik saja.
***