Bab 2 Sebuah Permintaan
Bab 2 Sebuah Permintaan
“Akhirnya ... kau akan pergi dari rumah ini!” seru Shella. Ibu angkatnya itu memang tidak suka Akira berada di rumah. Baginya Akira hanya hama dan aib keluarga. Namun, baru kali ini ia merasa Akira bisa menguntungkan keluarga mereka.
“Doaku langsung terkabul,” kekeh Shella sambil menatap suaminya yang turut terkekeh penuh kelegaaan. Akhirnya ... mereka akan terbebas dari utang – piutang yang membebat hidup mereka selama ini.
Sementara itu, Akira terlihat tidak mengerti. Kenapa ia harus menikah dengan Tuan Reynold? Apa ayah angkatnya berbuat kesalahan di tempat kerja hingga membuat dirinya jadi tumbal? Akira menatap ibu angkatnya tak berkedip, seakan sedang mempertanyakan hal yang dipikirkannya.
“Kenapa?” Shella meniru gaya Akira yang terkadang bicara dengan sengau. “Bicaramu saja kadang tak bisa kumengerti! Aku lelah mengurusmu. Kau sudah dewasa. Kalau kau hidup di sini terus, kau hanya akan jadi aib bagi keluarga ini.”
Akira hanya terdiam. Meskipun ia tidak mengerti apa yang diucapkan ibu angkatnya karena bicaranya terlalu cepat, ia tahu ibu angkatnya itu sedang mengejek dan memarahi dirinya seperti biasa. Mulutnya selalu terbuka lebar-lebar dan bergerak cepat. Pandangannya selalu menatap Akita tidak suka. Gadis itu selalu maklum, mengingat dirinya hanyalah seorang gadis tuli. Ia masih beruntung masih bisa hidup dan tinggal di keluarga ini. Namun, apakah ia harus selalu seperti ini?
Ferdian lantas mendekat dan menyentuh bahu Akira. Sontak, Akira terkejut. Ia menatap takut-takut pada ayah angkatnya itu.
“Kau harus menolong kami, Akira ...,” lirih ayah angkatnya.
Akira hanya menatap ayah angkatnya itu tanpa merespons apa pun.
Shella lantas memekik dengan semangat, “Itu benar!”
“Hanya kau,” tekan Shella turut menatapnya, “yang bisa—membantuku dan suamiku.”
Ayah angkatnya kembali mengangguk. “Kau—“ Kedua bahunya diguncangkan dengan kasar, “—mau membantu kami, ‘kan?!”
Kini tatapan Akira memandang ayah angkatnya lekat-lekat.
“Akira! Kau harus menuruti permintaan keluarga kita!” Shella menimpali. Akira tentu saja tidak bisa mendengarnya. Ayahnya lantas mengangguk berkali-kali pada Akira.
“Ban-tuka-mi,” seru ayahnya sekali lagi, memperjelas kata-kata itu agar terbaca oleh Akira.
Akira menggeleng. Ia berhak untuk menolak. Ia tidak mau menikah dengan pria tua. Meskipun dia terlahir cacat, ia punya hak untuk memperjuangkan hidupnya.
“Hei, kau pikir siapa dirimu?! Menolak permintaan Tuan Reynold?!” pekik ayahnya.
Rambutnya terjenggut paksa. Akira kesakitan. Ia memegangi pergelangan tangan ayahnya. Selalu saja begini. Ia tidak pernah hidup tanpa rasa sakit.
“Akira! Kau akan menyelamatkan hidup keluarga kita dengan menikah. Hanya dengan menikah, Akira!”
Akira kembali menggeleng.
Seketika itu, Ferdian menempeleng kepala Akira. Ia kembali menjenggut rambutnya lalu menampar wajah gadis itu. Ferdian mendorong kepala dan tubuhnya dengan kasar hingga Akira jatuh tersungkur ke lantai. Akira mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan tangisnya. Belum cukup, Ferdian lekas-lekas menarik gespernya dan membebatnya di satu tangan. Tatapan Akira membeliak lebar-lebar. Senyum Shella terbit di samping ayah angkatnya. Akira tidak mau merasakan itu lagi. Ia menggeleng perlahan hingga semakin kuat. Ia sudah terlalu lelah dengan semua ini. Ia sudah cukup sering merasakan perih di tubuhnya.
Gesper hitam tercengkeram di tangan kiri ayah angkatnya. Tanpa bisa dibendung, keringat dingin mengalir dari pelipis Akira. Sekonyong-konyong, gesper itu menerjang punggungnya yang mungil berkali-kali.
“Dasar anak tuli!” damprat Ferdian.
Akira tidak menjerit atau menangis. Ia tak menjawab semua pekikan kasar itu. Ia bahkan tidak menutup telinganya. Agaknya hidupnya selalu salah di mata orang lain. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk kedua lengannya sendiri.Menerima segala rasa sakit di hati dan tubuhnya.
“Kau mengerti aku tidak?! Sudah kubilang aku minta tolong padamu!!”
Gesper itu kembali menerjang tubuhnya. Akira sungguh kesakitan dan tidak kuat lagi. Ia berusaha bangkit sambil berusaha berkata-kata, tapi sungguh tidak terdengar jelas oleh mereka.
“Hah? Kau bicara apa?!” sergah ibu angkatnya.
Kepalanya lantas mengangguk.
“Ya.” Akhirnya, ia mencetuskan kata pendek itu. Terdengar sengau dan rendah. Namun, Shella dan Ferdian sangat senang mendengarnya. Ferdian bahkan tertawa lepas, tetapi penderitaan Akira belum berakhir. Setelahnya gesper itu kembali menerjangkan ke punggung gadis itu.
“Kenapa kau selalu membuatku lelah dulu baru menurut, hah?!” pekik Ferdian. “Dasar tuli!”
Kata-kata ayah angkatnya selalu terbaca sebagai bentuk amarah dan amarah di mata Akira. Bahu Akira berjengit sesaat gesper itu hendak kembali mendampratnya. Perih mulai terasa di punggung. Akira menahan tangisnya hingga tenggorokannya tercekat. Ayahnya lantas berjongkok di depannya. Pandangan Akira membias dengan air mata yang tertahan di pelupuk mata.
“Tersenyumlah, Akira.” Kalimat itu terbaca dari bibir ayahnya samar-samar.
“Orang yang akan menikah harus tersenyum,” bisik ibu angkatnya sambil menggerakkan tangannya ke mulut dengan kedua ujung bibirnya yang tersungging lebar. Akira amat mengerti kalimat itu. Apalagi melihat raut wajah ibu angkatnya yang semringah menatapnya.
Lamat-lamat, gadis itu turut menarik seulas senyum di bibirnya. Namun, batinnya menangis.
Entah sampai kapan semua ini akan berakhir.
***
Di kamar, Akira menatap langit-langit dan mendekap tubuhnya sendiri. Gadis itu menggigit bibirnya perlahan. Matanya terasa pedih sekali. Urat-urat matanya memerah. Ia menahan air matanya sejak gesper mendamprat tubuhnya. Lukanya mungkin melepuh. Ia harus cepat-cepat mengobatinya. Namun, ia sudah lelah.
Ia sungguh tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sejak kecil, ia hanya bisa menuruti semua perkataan orang tua angkatnya. Termasuk tentang rencana pernikahan itu. Ia tidak pernah menyangka akan diminta untuk menikah dengan Tuan Reynold. Ia membantah ataupun menolak permintaan itu tetap saja akan percuma. Keluarga angkatnya ini selalu memperlakukan dirinya seenaknya.
Akira berpikir dengan menerima permintaan pernikahan ini, setidaknya ia tidak akan hidup di rumah ini lagi. Namun, apakah itu artinya kehidupannya akan lebih baik? Tuan Reynold Tyxn terkenal begitu kejam. Ia tidak yakin akan sanggup hidup lebih dari apa yang sudah berjalan selama ini. Lagi pula, kenapa Tuan Reynold mau menikah dengan dirinya yang cacat ini?Bukankah istri Tuan Reynold begitu cantik dan anggun? Atau ... Tuan Reynold hendak menjadikannya istri simpanan?
Akira benar-benar tidak mengerti.
***
“Anak tuli itu ... kini sungguh berguna,” kekeh Shella, di ruang tengah—tepat di depan kamar Akira.
Suaminya, Ferdian terduduk sambil menghela napas berat. Ia melepaskan gesper hitam dari genggamannya ke sofa.
“Tapi ... aku tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Tuan Reynold datang dan meminta Akira menikah dengannya? Istri Tuan Reynold itu cantik sekali. Tak menyangka Tuan Reynold memilih Akira yang tuli itu.”
Shella menoleh cepat pada suaminya. “Kau ini bodoh, ya? Bukankah itu bagus? Peduli amat Akira tuli atau apa. Mungkin Tuan Reynold mau menjadikan Akira istri simpanannya. Putri tuli kita tak kalah cantik dengan gadis-gadis di luar sana.”
Ferdian mengangguk.
“Sudahlah, Sayangku. Yang jelas kita bisa bebas dari utang. Dan kau tahu apa artinya itu? Akira bisa kita manfaatkan. Tuan Reynold pasti tidak sembarangan memilih Akira untuk jadi istri simpanannya,” ujar Shella, meluap-luap. Ditatapnya suaminya itu tampak berpikir.
Ferdian lantas kembali mengangguk. “Kau benar juga, Sayang. Tuan Reynold mungkin saja butuh gadis perawan yang cantik seperti Akira. Peduli amat dia cacat begitu!”
Sementara itu, di dalam kamar Akira tak bisa mendengar orang tua angkatnya yang terus membicarakan dirinya dan Tuan Reynold. Gadis itu masih belum bisa tidur sepanjang malam itu. Alih-alih memikirkan nasibnya yang selalu menderita, ia berusaha untuk menelan semua itu sampai akhirnya kantung matanya memberat.
***