Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
Akira Shimazaki Haruno tidak seharusnya hidup di keluarga kecil yang selalu meneriakkan namanya kencang-kencang.
“Akira! Akira!”
Gadis cantik dan manis itu hidup dalam kesunyian. Ia tidak bisa mendengar namanya yang cantik terpekik begitu keras berkali-kali. Akira terlahir cacat dengan telinga yang mengalami gagal fungsi hingga membuat gadis cantik itu tuli untuk selamanya. Meskipun hidupnya terkadang tidak pernah jauh dari penderitaan, Akira selalu mudah untuk tersenyum. Termasuk saat melihat Shella Arfandi, ibu angkatnya yang tengah berjalan ke arahnya. Ia akan selalu murah senyum.
“Akira! Aku memanggilmu berkali-kali. Susah, ya, punya anak tuli! Harus didatangi dulu baru tanggap.”
Akira langsung menggerakkan sebelah tangannya menyentuh kening dan menengadahkannya pada ibu angkatnya. “Ada apa?”
“Itu—“ Akira menatap ibu angkatnya menunjuk ke arah pintu depan lalu membuka mulutnya lebar-lebar. “A-yah-mu. Pu-lang. Kau buatkan teh, sana!”
Akira memerhatikan gerakan bibir wanita yang sudah merawatnya sedari kecil itu dengan seksama. “Bu-at-kan mi-num!” Ibunya menggerakkan tangan seperti tengah mengaduk-aduk sesuatu. Sekejap, Akira mengerti. Gadis manis itu kembali tersenyum lebar lalu mengangguk.
Ia bergegas ke dapur dan membuatkan teh untuk ayah angkatnya. Namun, saat membuka stoples gula, isinya sudah sangat sedikit. Beruntung masih bisa dibuatkan satu cangkir, tapi setelahnya ....
“Akira! Kau tahu, 'kan, takaran gulanya?!” Ayah angkatnya, Ferdian Arfandi membeliakkan mata lebar-lebar.
Akira menggerakkan tangannya ke arah dapur dan berusaha mengatakan bahwa gulanya habis.
Ferdian menghela napas lalu geleng-geleng kepala.
“Shella! Shella!”
“Ada apa teriak-teriak?!” sahut istrinya tak kalah tinggi.
“Uang belanja yang kuberikan sudah habis? Tehku sampai tidak berselera begini.” Ferdian menunjuk cangkir teh pahitnya. Shella tentu saja tidak mau disalahkan.
“Kau pikir gajimu besar?! Utang kita menumpuk. Aku harus putar otak untuk cicilan dan sebagainya. Tidak hanya untuk tehmu saja.”
Akira memperhatikan keduanya sambil terdiam. Seakan-akan mereka sedang memarahi dirinya.
“Kalau Akira bisa dijual tentu akan menguntungkan keluarga ini. Kita bisa lunasi utang-utang yang menumpuk termasuk utang pada Tuan Reynold,” sambung Shella.
“Siapa yang mau beli anak tuli begitu?” sahut Ferdian. “Kau pikir dulu kalau bicara.”
“Lalu bagaimana caranya untuk melunasi utang-utang kita?! Kau pikir aku diam-diam saja?! Dapur kita harus selalu mengebul. Tehmu perlu gula!” Shella menyentak cangkir teh suaminya di meja.
“Lagi pula ia anak yang cantik, pasti kita bisa dapat uang banyak dari menjualnya.”
Shella menatap anak angkatnya sambil berkacak pinggang. Seketika itu, ia menarik rambut Akira dengan paksa. Membuat gadis itu memejam kesakitan.
“Hei, kapan kau berguna sedikit bagi kami?! Kau hanya jadi aib dan hama saja selama ini.”
Akira berusaha menahan pergelangan tangan ibu angkatnya. Ia sudah tidak kaget dengan perlakuan itu. Sehari-harinya, Akira selalu diperlakukan kasar oleh kedua orang tua angkatnya.
“Jawab aku?! Kapan kau jadi berguna untuk keluarga kecil kita ini, hah?!”
Akira terdiam. Ia akan selalu begitu. Shella kesal sekali. Seketika wanita itu hendak kembali memekik, terdengar pintu rumah mereka terketuk. Wanita itu lantas bertukar tatapan dengan suaminya. Siapa yang bertamu malam-malam?
“Hei, Ferdian! Buka pintunya!”
Shella sontak memelotot pada suaminya lalu mendorong kepala Akira usai mendengar suara tak asing itu.
“Tuan Reynold datang! Bagaimana ini?” bisik Shella.
“Aduh, uangnya belum ada.” Ferdian garuk-garuk kepala, frustasi menghadapi kenyataan utang-piutang keluarganya makin menumpuk dan belum bisa terbayarkan.
“Kau buka pintu sana!” Ferdian berdiri lalu mendorong pundak istrinya.
“Akira! Akira!” Shella kembali beralih pada gadis itu. “Rapikan rambutmu!”
Akira menahan tangisnya sambil menatap ibu angkatnya.
“Dasar anak tuli! Percuma aku teriak-teriak sampai serak, kau itu tidak bisa dengar! Itu—“ Shella memelotot sambil menunjuk ke arah pintu depan. “A-data-mu. Cepat buka pintu sana!”
Akira langsung mengerti kode dari ibu angkatnya. Ia mengangguk dan beranjak menuju pintu sambil merapikan rambutnya. Perempuan itu lantas membuka pintu. Seseorang pria seusia ayahnya berpakaian necis berdiri di hadapannya. Dia adalah Reynold Lyxn, atasan ayahnya.
“Di mana Ferdian Arfian?!” seru pria itu lantang.
Akira tersenyum lebar saat mengetahui nama ayahnya dari gerakan bibir. Ia mempersilakan masuk tamu ayahnya.
“Tuan Reynold, apa kabar?” sapa Ferdian. Ia muncul dari belakang disertai istrinya. Seketika itu, Akira menyisih ke belakang.
Pria itu masuk tanpa berkata-kata dan langsung duduk menyilangkan kaki di sofa butut yang ada di ruangan itu. Ferdian dan Shella dengan tangan gemetar duduk berdampingan di seberangnya.
“Kau tahu ini tanggal berapa?” tanya Tuan Reynold dengan tatapannya yang dingin.
Ferdian tersenyum kikuk. “Oh, soal itu ....”
“Mohon berikan kami waktu lagi, Tuan,” sergah Shella. “Kami sedang sangat butuh waktu. Banyak sekali keperluan.”
“Sampai kapan?” sahut Tuan Reynold. “Kalian selalu saja meminta waktu dan waktu, tapi tak pernah menepati janji yang kalian minta sendiri.”
“Maaf, Tuan ...,” lirih Ferdian. “Sungguh, saat ini ... kami belum bisa membayarnya.” Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Tak lama Akira lantas muncul dari arah dapur. Pandangan Tuan Reynold mengarah pada gadis itu.
“Dia anakmu?” tunjuk Tuan Reynold dengan dagunya pada Akira yang menyajikan segelas air putih di atas meja.
Ferdian mengangkat wajahnya—menoleh pada Akira. “Benar, Tuan. Dia anak kami.” Ia mengangguk takzim lalu meminta Akira untuk menyalaminya dengan isyarat tertentu. Akira langsung paham dan menyalami Tuan Reynold.
Tuan Reynold lantas memperhatikan paras Akira yang cantik dan manis. Tak lama, Tuan Reynold berdiri dan mendekat padanya. “Siapa namamu?”
Akira mengangkat wajahnya.
“Akira,” seru Shella dengan semangat. “Akira Shimazaki Haruno.”
Tuan Reynold menoleh. “Akira?”
Akira lantas tersenyum seketika mengetahui namanya terbaca dari bibir Tuan Reynold. Pria itu lantas kembali memandang dirinya lekat-lekat.
“Nama yang cantik.”
Akira tersenyum lebih lebar sesaat mengetahui apa yang pria itu katakan. Sepertinya kata-kata yang indah.
“Kau pun akan jadi pengantin perempuan yang cantik,” cetus pria itu. Akira mengernyit. Ia tidak paham apa yang dikatakan Tuan Reynold. Terlalu cepat. Akira tidak bisa membaca gerakan bibirnya dengan baik.
“Bukankah istri Tuan Reynold juga masih begitu cantik?” bisik Shella pada suaminya. Ferdian sontak memintanya diam.
“Ah, tentu. Tentu saja, Tuan. Akira akan jadi pengantin yang cantik, tapi ... apa itu artinya ...?” Ferdian memelankan suaranya. Ia sendiri heran ke mana arah pembicaraan ini.
“Artinya ... akan ada pernikahan di keluarga kita, Ferdian,” cetus Tuan Reynold.
Ferdian terkejut, begitu pun istrinya.
“Pastikan dia menurut. Kalau tidak, utang kalian tetap harus dibayar,” sambung Tuan Reynold.
Ferdian dan istrinya makin terkejut. Keduanya bertukar tatapan sejenak lalu mengangguk bersamaan.
“Pasti! Pasti, Tuan!” seru Ferdian.
Sementara itu, Akira mengernyit heran. Ia tidak mengerti apa yang dibicarakan orang tua angkatnya dengan Tuan Reynold hingga begitu semringah menatapnya.
“Akira! Tuan Reynold ingin kau menikah,” seru ibu angkatnya.
Akira terdiam. Matanya kemudian melirik ayahnya yang tersenyum lebar sekali. Akira tak pernah melihat ayah angkatnya tersenyum begitu.
“Kau—akan ...,” ayahnya menekan kata per kata, “me-ni-kah.”
Akira sontak terkejut. Kedua matanya membeliak lebar-lebar usai mencerna kata per kata dari gerak bibir sang ayah angkat. Ia lalu menoleh pada Tuan Reynold yang berdiri di dekatnya.
Apa kata ayah angkatnya tadi? Ia tidak salah membaca gerak bibir itu, 'kan? Ia akan menikah? Dengan pria tua yang terkenal kejam ini?? Oh, Tuhan!
***