Bab 13 Sarapan Di Kamar
Bab 13 Sarapan Di Kamar
Fellycia yang sedang terlelap harus terbangun karena suara Gio di luar tampak kesal sekali. Ia beranjak bangun dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah pintu. Di sana ia mendapati Gio yang tengah berdiri sambil marah-marah pada Akira—gadis tuli yang menjadi istri kekasihnya itu dan seorang maid yang kini tertunduk dalam-dalam di hadapan Gio. Ia berdecak menyadari bahwa Akira sepagi ini sudah mengambil penuh perhatian kekasihnya.
“Ada apa, Sayang?” Fellycia mendekap bahu pria itu—seakan menenangkannya.
Gio menghela napas dalam-dalam. Fellycia menatap gadis itu dan pecahan cangkir yang dikelilingi cairan mirip air seni di sana. Apa baru saja terjadi lempar-melempar di sini? Sepertinya Gio begitu marah pada gadis itu.
“Apa dia yang melakukan ini, Sayang?”
Gio menoleh dan memintanya masuk. “Kembalilah ke dalam, Fell.”
“Eum ... aku sudah tidak berniat untuk tidur lagi. Lebih baik kita mandi dan sarapan setelah ini, Sayang,” sahut Fellycia.
“Baiklah. Ayo, masuk.” Gio merengkuh pinggang kekasihnya lantas teringat sesuatu. “Ah, Ami!”
“Iya, Tuan.” Ami menunduk dalam-dalam.
“Bereskan ini dan camkan kata-kataku tadi!” seru Gio.
“Baik, Tuan.”
Gio lantas berbalik dan mendorong tubuh Fellycia untuk masuk. Namun, Fellycia menahannya. “Tunggu, sebentar—“
Ami dan Akira menengadah seketika itu. Senyum wanita itu membuat keduanya terheran.
“Sayang, aku mau sarapan di kamar, bisakah?”
“Terserah kau saja.”
“Dan aku ingin Akira yang membuatkan sarapannya untuk kita,” kata Fellycia lagi.
Gio sontak kembali berbalik pada Akira. Telunjuknya pun kembali mengarah pada wajah gadis itu dengan geram.
“Gadis ini tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu, Fellycia. Ami akan menyiapkannya untukmu,” sahut Gio.
“Tidak, sebaiknya kita beri kesempatan untuk Akira yang membuatkannya. Bukankah ia seorang istri? Ia sudah menyiapkan teh untukmu, tapi ....” Fellycia menilik dengan jijik pada cairan teh di dekat kakinya yang belum terseka.
“Kau harus memberikan Akira kesempatan untuk melayanimu dengan baik, Sayang. Kau tentu ingin dia bersikap seperti gadis yang baik pada suaminya, 'kan?”
Akira yang melihat wanita itu kembali bergelanyut manja hanya terdiam. Gio yang kesal lantas menyetujui permintaan kekasihnya itu.
“Kalau kau mau, kau saja. Aku tidak ingin sarapan sekarang,” ujar Gio pasrah pada apa yang diinginkan oleh kekasihnya itu. Lelaki itu lantas masuk begitu saja ke kamar. Sepeninggalan Gio, Fellycia bersedekap di depan Akira dan Ami.
“Hei, Nona ...,” sindirnya dengan suara lembut. Ia sempat melirik ke dalam, Gio tidak ada. Sepertinya masuk ke kamar mandi.
“Tolong buatkan aku sarapan, nasi goreng tidak terlalu pedas dengan telur mata sapi setengah matang. Ingat! Jangan sampai pecah kuningnya, ya ....” Akira tidak mengerti wanita itu bicara apa. Ia diam saja.
Di samping Akira, Ami lantas menawarkan diri. “Biar saya yang buatkan untuk Nona Heli.”
“Heli?” Fellycia membeo dengan kernyitan di dahinya.
Ami sontak menunduk kembali sembari menahan senyumnya.
“Maaf, Nona. Maksud saya ... Nona Felly,” ralat Ami.
Fellycia berkacak pinggang di depan keduanya. “Aku tidak mau dengar. Kau bilang apa yang baru saja kukatakan pada gadis ini. Ingat harus dia yang membuatnya dan mengantarnya langsung padaku.”
“Baik, Nona.”
Fellycia kembali menatap Akira yang balas menatap dirinya.
“Buatkan aku sarapan,” cetus Fellycia kuat-kuat sambil menekan kata-katanya. Tatapannya berubah memelotot pada Akira lalu diakhiri dengan mata menyipit dengan seulas senyum lebar.
Akira mengerti sekejap lalu mengangguk perlahan.
Fellycia lantas menunjuk ke arah lantai dan beralih menatap Ami. “Dan—jangan lupakan yang satu ini.”
“Baik, Nona.” Ami mengangguk.
Kekasih Gio itu lantas masuk dan menutup pintu. Ia berbalik sembari mengernyitkan dahi. Pikirannya kembali mempertanyakan nama yang disebut maid tadi.
“Heli?” Fellycia berpikir, sepertinya pernah mendengar nama itu sebelumnya.
***
Akira membuang pecahan cangkir itu ke tempat sampah lalu berdiri dan menghampiri Ami.
“Sepertinya Gio tidak suka teh buatanku,” ungkapnya, mengisyaratkan dengan raut wajah sedih.
Ami menggeleng lalu berkata, “Tidak, Tuan Giovanno hanya masih mengantuk. Dia tidak ingin diganggu dulu.” Wanita itu berusaha menenangkan Akira lantas teringat pada lantai yang harus ia seka sebelum Tuan Gio memarahinya lagi.
“Ah, saya harus kembali ke atas, Nona.” Ami mengisyaratkan bahwa ia harus menyeka lantai di depan kamar suami gadis itu.
Sarapan sudah siap, tetapi Ami mengingat bahwa Giovanno tidak ingin sarapan di rumah. Ia juga tersadar akan pesanan kekasih majikannya itu. Lekas-lekas ia mengisyaratkan pada Akira untuk membantunya membuatkan sarapan untuk kekasih suaminya itu.
“Dia mengatakan sesuatu tadi?” Akira bertanya sekali lagi pada Ami.
Ami mengangguk.
“Nasi goreng. Telur mati sapi setengah matang,” jelas Ami dengan isyarat tertentu. Sekejap Akira mengerti dan mengacung ibu jarinya.
Ami lantas pergi meninggalkan Akira sendirian di dapur. Gadis itu cukup kesulitan beberapa kali mencari-cari bahan untuk membuatkan sarapan. Setelah melewati beberapa menit, ia akhirnya menemukan semua bahan-bahan yang diperlukan. Akira yang sudah terbiasa memasak untuk orang tua angkat tidak kaku saat membuatnya. Ia juga tampak percaya diri dengan hasil masakannya.
Ia membuatkan dua piring. Satu untuk wanita itu dan satu lagi tentu saja untuk Gio. Ia tersenyum lebar dan mengantarkan dua piring nasi goreng itu ke kamar suaminya.
Ami entah di mana. Lantai di depan kamar itu sudah bersih. Akira lantas kembali mengetuk pintu. Gio yang kembali membukanya. Kali ini pria itu sudah berpakaian rapi sekali.
“Mau apa kau?” tanya Gio, dingin.
Kali ini Akira kembali tersenyum dan menghadapkan sarapan pada Gio. Pria itu teringat kekasihnya yang sempat meminta dibuatkan sarapan pada Akira tadi. Namun, kenapa ada dua piring?
“Apa kau tidak menyimak tadi? Aku tidak mau sarapan hari ini,” kata Gio.
Akira mengernyit. Gio mengesah. Percuma juga ia bicara pada gadis ini. Ia lantas menunjuk salah satu sarapan yang dibawa Akira dan menggeleng. Sontak, gadis itu dengan segala isyarat yang lagi-lagi tidak dimengerti Gio, berusaha menjelaskan bahwa pria itu harus sarapan.
“Ini enak kok.” Akira lantas berusaha untuk mengatakan dengan suara sengaunya bahwa masakannya enak.
Gio geleng-geleng kepala dan pasrah. Ia tidak akan memakannya. Tubuhnya lantas menyisih dan membuka pintu lebih lebar lalu membiarkan Akira masuk kamar. Gadis itu melangkah ke dalam dan mendapati keadaan tempat tidur mewah Gio yang sangat berantakan. Selimutnya hampir menyentuh lantai, letak bantal-bantalnya tak beraturan.
“Taruh di sana!” Gio menunjuk ke arah meja di samping sofa tunggal yang menghadap ke jendela kamar. Akira mengangguk dan menaruh sarapan di sana. Pandangannya lantas kembali pada tempat tidur. Ia tidak bisa membiarkannya. Tangannya refleks membereskan apa yang dilihatnya. Sontak, Gio menatap tajam pada Akira.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
Akira tidak mendengarnya. Ia terus membenahi bantal demi bantal lalu memunguti beberapa helai pakaian di atas tempat tidur dan lantai. Keningnya mengernyit seketika mendapati sebuah bra hitam di dekat kakinya. Ia meraihnya dan itu membuat Gio memelotot padanya.
“Hei, lancang sekali kau!” seru Gio. Akira menatap pria itu lekat-lekat sambil meremas bra hitam di tangan.
“KELUAR!” tunjuk Gio ke arah pintu. Tatapan Akira bergetar. Ia menghempaskan bra hitam yang ia yakini milik kekasih suaminya itu ke lantai dan menginjaknya tak sengaja sambil berlari keluar kamar.
Sepeninggalan Akira, Gio meraup wajahnya lalu menatap sarapan di atas meja. Dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi.
“Ada apa, Sayang? Apa gadis itu melakukan sesuatu padamu?” tanya Fellycia yang lekas-lekas keluar usai mendengarnya berteriak-teriak pada Akira.
Gio menggeleng. Ia menunjuk pada sarapan Fellycia lalu ke arah pintu.
“Kau sarapanlah, aku berangkat kerja dulu,” katanya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanya Fellycia. “Kita sarapan saja dulu. Gadis itu menyiapkan dua piring nasi goreng untuk kita.”
“Kau saja. Aku perlu mengurus sesuatu di kantor,” sahut Gio, lekas-lekas pamit dan mengecup kening kekasihnya. Fellycia hanya mengedikkan bahunya sesaat pria itu pergi.
Di lantai bawah, Gio yang terburu-buru dicegat oleh Akira. Gadis itu mengangsurkan kotak bekal padanya dan kembali mengisyaratkan bahwa dirinya harus sarapan.
“Urus saja dirimu sendiri!” pekik Gio, menampik kotak bekal dari tangan Akira hingga terjatuh ke lantai. Pria itu berlalu begitu lekas sesaat menerima panggilan dari ponselnya.
Di belakangnya, Akira menatap sedih pada kotak bekal yang sudah ia persiapkan isinya berceceran di lantai.
***