Bab 12 Pagi yang Terusik
Bab 12 Pagi yang Terusik
Akira benar-benar merencanakan niatnya untuk menjadi istri yang baik. Ia teringat janji suci pernikahan yang sudah ia lakukan dengan pria itu. Ia mengesampingkan segala tingkah Gio yang dingin dan tak mengacuhkannya. Ia akan lakukan sesuatu untuk Gio. Mungkin membuatkan sarapan kesukaan pria itu bisa menjadi awal yang bagus. Ia akan bertanya pada Ami nanti.
Gadis itu sudah bangun pagi-pagi sekali dan membenahi dirinya. Ia berdandan seperti yang sudah-sudah ia lakukan di rumah keluarga angkatnya selama ini. Rambutnya diriap rapi. Akira tidak pandai berdandan, jadi ia hanya memakai makeup ala kadarnya saja untuk membuat wajahnya terlihat lebih bercahaya. Meskipun tidak pandai berdandan, sebenarnya Akira sudah begitu cantik. Kulitnya bersih dan halus. Matanya yang bulat begitu berbinar dengan manik cokelatnya. Hidung yang mungil dan terlihat pas di wajahnya yang oval. Pun bibirnya yang kemerahan. Akira mematut dirinya sekali lagi lantas keluar menuju dapur.
Di dapur, Ami ternyata sudah bersiap-siap untuk membuatkan sarapan. Ia lantas berniat untuk membantu Ami karena bosan di kamar hanya diam saja. Ia juga sempat mengisyaratkan pada Ami bahwa ia ingin sekali membuatkan sarapan untuk Gio.
Ami lantas menoleh dan mengusulkan sesuatu. “Kenapa tidak buatkan teh saja untuk Tuan Giovanno?”
Akira menelengkan kepalanya. “Teh?”
Ami mengangguk. “Tuan Gio suka sekali teh lavender yang diracik khusus.”
“Iya. Aku mau buatkan dia teh. Bantu aku, Ami.”
Ami lantas membuka kabinet di atasnya. Ia mengeluarkan cangkir teh yang cantik dari sana berserta alasnya.
Akira begitu antusias hingga bertanya pada Ami di mana letak bahan-bahan yang harus ia siapkan untuk membuat teh yang disukai Gio.
Ami lantas mengambil bungkusan berisi kelopak bunga lavender yang dikeringkan lalu diberikannya pada Akira. Gadis itu memandangnya dengan serius. Ia baru menemukan jenis teh macam ini. Ami lantas menjelaskan itu adalah sejenis teh herbal. Akira mengernyit. Ia tidak mengerti. Wanita itu lantas berusaha untuk menjelaskannya secara sederhana.
“Seperti jahe, kunyit, bisa membuat kita jadi ... sehat,” ungkap Ami penuh penekanan pada isyarat dan bibirnya.
Akira terkekeh melihat Ami yang menggerakkan tangannya seperti orang kuat.
“Nona harus mencampurkan bahan yang lainnya juga,” kata Ami, meninggalkan masakannya di kompor. Wanita itu menunjuk ke arah beberapa botol kaca di sebelah kirinya. Akira membaca baris nama di sana satu per satu yang ditunjuk Ami.
Bubuk bunga kamomil, daun mint, dan beberapa rempah lainnya. Akira mengingat baik-baik semua itu. Ia lantas meraih botol-botol itu satu per satu dan menuangkannya satu sendok masing-masing ke dalam cangkir.
“Eh, tunggu-tunggu, Nona Akira!” Ami mencegat Akira menuangkan lebih banyak.
Gadis itu mengerjapkan matanya perlahan. Ada yang salah?
“Tuan Giovanno tidak suka semua ini ada di dalam cangkirnya.”
Akira menaikkan kedua alisnya bingung.
“Nona Akira harus menjerang air dan menuangkannya terpisah dari cangkir ini,” jelas Ami. “Nona juga harus memisahkannya dari ampas semua serbuk dan bunga lavendernya.”
Akira mengangguk mengerti. Ia lantas melakukan langkah demi langkah yang sudah diberitahukan oleh Ami. Wanita itu pun sesekali menengok dirinya yang kebingungan.
“Apa kita membutuhkan ini tadi?” Akira menunjukkan satu botol teh bertuliskan oolong.
Ami geleng-geleng kepala. Ia kembali menunjuk satu per satu bahan yang benar. Akira kembali mengingatnya perlahan-lahan sembari kembali menunjuk satu demi satu bahan yang sebelumnya ditujuk Ami.
Keduanya terkekeh bersamaan.
“Tuan Giovanno pasti akan suka,” cetus Ami.
Akira tersenyum puas melihat hasil teh racikannya. Ia menghirup aroma tehnya yang harum juga menyegarkan.
Gadis itu lantas menyiapkannya cangkir yang tadi diberikan Ami dan menuangkannya. Ia benar-benar menikmati waktu untuk membuatkan teh ini. Semoga Gio menyukainya. Ia pamit pada Ami dan bergegas ke arah pintu kamar Gio.
Ami sempat memberitahunya bahwa kamar Gio terletak di lantai dua di dekat balkon utama. Kamar itu satu-satunya yang paling besar dengan pintu tinggi kayunya berukiran khusus. Seperti pintu-pintu kamar kerajaan.
Akira tersenyum gugup. Ia lantas mengetuk pintu kamar di depannya. Agak lama orang di balik pintu itu keluar. Apakah masih tidur? Atau ketukannya terlalu pelan? Akira lantas kembali mengetuk pintunya lebih kuat.
Dari dalam, Gio yang mendengar ketukan pintu lantas mengerjapkan matanya perlahan. Ia menyambar kimono tidurnya dan memakainya dengan asal. Tanpa mengikat simpulnya, Gio beranjak dari tempat tidurnya dan menyusul bunyi ketukan pintu yang semakin memekakkan telinganya.
“Tunggu sebentar!” serunya. Namun, ketukannya makin bertambah. Gio berdecak dan langsung membuka pintu dengan kasar.
Seketika pintu terbuka, ternyata Akira yang berdiri di hadapannya sambil memasang senyum lebar dan menghadapkan satu cangkir teh di atas nampan.
“Pa—gi.” Gadis itu berusaha bersuara dengan sengaunya tanpa isyarat apa pun selain menghadapkan nampan dengan cangkir teh yang uapnya masih mengepul padanya.
Gio menghela napas dalam-dalam. Ia memijat keningnya sebentar lalu menatap Akira yang masih tersenyum padanya.
“Kau tahu jam berapa ini?” Akira mengernyit. Gio lantas membeliakkan matanya lebar-lebar.
“Kau menganggu tahu!”
Akira menggeleng tidak mengerti. Ia lalu mencoba menjelaskan bahwa ia membuatkan teh racikannya sendiri untuk Gio. Pria itu tentu tidak mengerti apa yang hendak dikatakan gadis itu dengan segala bentuk isyarat yang berulang kali dilakukannya.
Gio yang kesal lantas setengah berkacak pinggang pada Akira. Matanya menilik tubuh Gio yang hanya mengenakan celana panjang dan kimono tidur yang tidak menutup sempurna. Rambut pria itu juga terlihat acak-acakan. Matanya menatap dirinya begitu tajam dengan alis matanya yang menukik sama tajamnya.
“Apakah Ami yang memintamu melakukan ini?” seru Gio.
Mengetahui nama Ami terbaca, Akira menggeleng. Ia kembali menjelaskan bahwa ia membuatnya sendiri untuk Gio.
“Ami! Ami!”
Akira menggeleng berkali-kali. Ami sedang membuatkan sarapan di dapur. Gio tidak bisa memanggilnya. Berulang kali Ami menjelaskan dengan bahasa isyarat.
“Kau bicara apa?! Aku tidak mengerti!”
Akira terdiam. Gio lantas kembali memekik memanggil nama Ami.
“Ami! Kemari, kau!”
Gadis di depannya itu menggeleng dan tanpa sengaja menyentuh lengan Gio. Lelaki itu lekas menarik lengannya hingga cangkir teh dan nampan itu terjatuh. Bahu Akira mengedik. Cangkir teh itu jatuh pecah berkeping-keping di kelilingi cairan teh dan nampan yang terbalik di lantai. Gio sontak kembali memarahinya.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Maaf,” lirih Akira. Ia sedih menatap teh racikannya tidak bisa tersaji dengan baik untuk Gio.
Namun, Gio tidak peduli pada apa yang diteliti Akira. Ia kembali memanggil Ami. “Ami! Kemari kau!”
Seorang maid yang mendengar itu lekas-lekas memanggil Ami dan memintanya untuk segera pergi menemui Gio. Ami muncul sesaat Akira sudah bersimpuh membereskan pecahan cangkir di lantai.
Ami lekas-lekas menghampiri Gio dengan wajah khawatir.
“Tuan memanggil saya?”
Gio menunjuk Akira dengan rahangnya yang mengeras kuat-kuat.
“Lihat! Apa yang kau lakukan? Kau memintanya untuk membuatkan teh untukku?”
Ami menunduk. “Maaf, Tuan ... saya hanya membantu Nona Akira untuk membuat teh kesukaan Tuan Giovanno.”
“Dia itu tidak bisa melakukan hal berguna!” pekik Gio. “Lihat! Jangan lagi menyuruhnya! Aku tidak mau melihatnya melakukan ini lagi!”
“Maaf, Tuan.” Ami menunduk dalam-dalam. Sementara itu, Akira tidak berani untuk menatap Gio yang menunjuk-nunjuk dirinya dengan pandangan hina.
“Dan katakan padanya,” Gio kembali mengeraskan suaranya, “jangan pernah lagi mengetuk pintu kamarku sepagi ini!”
Ami mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
***