Bab 11 Makan Malam yang Terabaikan
Bab 11 Makan Malam yang Terabaikan
“Sudah lama sekali kita tidak makan berdua seperti ini,” ujar Fellycia, menyuapkan irisan daging dengan garpunya pada Gio. Pria itu tak lekas menyambutnya. Ia sibuk berpikir bagaimana setelah ini. Apakah ia akan terus-menerus bersama Akira dan Fellycia dalam satu atap? Ayahnya benar-benar membuatnya pusing.
“Kau selalu sibuk dan lembur. Suapanku di depan mata kini kau abaikan?” Fellycia merajuk dengan suara imutnya.
“Sekarang kau 'kan sudah di sini,” sahut Gio, pendek. Wanita itu melurungkan tatapannya juga tangannya.
“Jika seperti ini ... untuk apa?”
Gio menghela napas lalu menarik lengan wanita itu dan menggigit daging dari tusukan garpu yang beberapa saat lalu dihadapankan padanya. Fellycia tersenyum lebar.
Namun, senyumnya tidak mengembang begitu lama sesaat Gio berhenti mengunyah dan memanggil salah satu maid yang berdiri di belakangnya.
“Ada yang saya bantu, Tuan Muda?”
“Siapkan makan malam untuk Akira dan antarkan ke kamarnya,” titah Gio. Senyum Fellycia benar-benar memudar.
“Baik, Tu—“
“—Sayang,” seru Fellycia. Sang maid mendongak, merasa ucapannya terputus dan belum tuntas. Majikannya itu lantas menatap wanita yang duduk berseberangan dengannya.
“Kenapa tidak kau biarkan saja gadis itu?” ujar Fellycia dengan lembut. “Kau tidak perlu memikirkan dia terus-menerus. Apalagi memperlakukan seolah-olah kau peduli padanya.”
Giovanno menoleh pada sang maid, lalu memintanya kembali ke belakang. Maid itu menurut dan pamit. Setelahnya, Fellycia tersenyum lebar, tapi sekejap berubah seperti sedia kala sesaat Gio kembali menatapnya.
“Apakah kau ingin Akira selamanya menjadi istrimu?” katanya lagi.
“Lalu aku bagaimana nanti, Sayang?” Fellycia kembali merajuk dengan lirih.“Kau membiarkan dia tinggal di sini ... sesuai dengan kemauan ayahmu, tapi aku juga merasa bahwa—“
“—Fell,” potong Gio. “Kita sudah bicarakan ini berkali-kali.”
Fellycia meletakkan alat makannya kembali ke tempat semula. Ia lantas memandang Gio dengan raut wajahnya yang sedih.
“Kau mengerti perasaanku, 'kan?” lirih Fellycia.
“Maksudku apa tidak sebaiknya ... kau mulai berpikir bagaimana untuk bisa melepaskan ikatan dari Akira?” lanjut Fellycia. Bicaranya terdengar hati-hati sekali.
Gio menarik napas seketika itu. Ia memang sedang berpikir begitu. Namun, ini baru awal. Ayahnya pasti akan terus mengontrol dirinya dan Akira.
“Jika kau ingin cepat-cepat lepas dari ikatan ini, buatlah Akira menjadi tidak nyaman dan berakhir memilih untuk menyerah.”
Pria itu mengerling sejenak, memikirkan kata-kata kekasihnya yang ada benarnya. Ia tidak mungkin selamanya seperti ini.
“Aku yakin, ayahmu pasti tidak akan mempermasalahkan ini jika Akira yang menyerah, Sayang,” lanjut Fellycia.
Gio kembali menarik napas dalam-dalam lalu meletakkan alat makannya di kedua sisi piring. Lelaki dengan rahang tegas itu tampak kembali berpikir sembari menyangga kedua lengannya di atas meja. Kedua manik matanya yang cokelat kembali membeliak pada Fellycia yang tersenyum tipis.
“Aku hanya ingin kau tidak terlalu banyak pikiran tentang Akira terus-menerus. Dia bisa mengurus dirinya sendiri, 'kan?”
Tak lama, Gio mengangguk. Fellycia benar, Akira bisa mengurus dirinya sendiri.
***
“Ya, Tuhan! Apakah Nona itu benar-benar seorang wanita? Berani sekali dia meminta Tuan Giovanno untuk tidak memberikan Nona Akira makan malam,” seru maid yang tadi diminta Gio mempersiapkan makan malam untuk Akira.
Ia kembali ke dapur dan membereskan beberapa hal di sana sembari mendumal.
“Kau kenapa?” Ami muncul tiba-tiba sembari menyeka tangannya. Maid itu lantas menyentak dadanya karena terkejut.
“Hei, Ami! Kau buat aku kaget saja!” serunya.
Ami lantas mengambil gelas. Ia menuangkan air ke sana sembari bertanya, “Kau kenapa, kudengar dari belakang kau marah-marah?”
“Hei, Ami ... apa Nona Akira sudah tidur? Di depan, makan malam hanya tersisa sedikit, Nona Akira belum makan malam.”
Ami mengernyit. “Apakah dia tidak keluar untuk makan malam?”
Rekan maid Ami mengedikkan bahunya. “Nyatanya tadi aku diminta oleh Tuan Giovanno untuk mempersiapkan makan malam untuk Nona Akira, tapi wanita-itu—kau tahu siapa maksudku, 'kan?” Ami menganggguk. “Dia bertingkah begitu lagi. Dia sempat melarang Tuan Giovanno untuk berbuat baik pada Nona Akira. Akhirnya aku tidak jadi mengantarkan makan malam untuk Nona Akira.”
Ami mereguk minum seteguh demi seteguk. “Masih ada sisa makan malamnya, 'kan?”
“Iya, kami baru saja membereskannya.”
“Baiklah, aku yang akan antar untuk Nona Akira,” putus Ami.
“Hei, Ami! Kalau ketahuan bagaimana?” Temannya berseru khawatir.
“Lebih baik kau tutup mulutmu,” sahut Ami, bergegas keluar untuk menyiapkan makan malam untuk Akira.
***
“Nona?” Ami berdiri di depan pintu Akira dan mengetuk pintunya perlahan lalu membukanya.
Gadis itu tengah duduk di dekat jendela sambil memandang bulan yang bersinar terang malam itu. Seketika itu, Ami mendekat. Akira merasa ada seseorang yang menghampirinya dan menoleh. Wajahnya langsung berubah semringah menemukan Ami ada di hadapannya.
Ami tersenyum dan meletakkan bawaannya di atas nakas. Ia lantas menghadap Akira sembari mengisyaratkan permintaan maaf. “Maaf, Nona. Pintunya tidak dikunci, jadi saya masuk.”
Akira menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Ami menunjuk makan malam yang ia siapkan di atas nakas. “Nona belum makan malam, jadi saya antarkan makan malam untuk Nona juga beberapa camilan. Di luar ... makan malamnya tidak tersisa banyak. Maaf, Nona, saya seharusnya memanggil Nona setelah makan malamnya siap.”
Akira tersenyum dan berterima kasih. Ia lalu teringat pada Gio.
“Gio tidak memanggilku?” Entah kenapa Akira perlu menanyakan itu.
Ami terdiam beberapa saat. Tak lama Akira mengangguk, ia mengerti. Pria itu mungkin juga tidak nyaman jika ia harus makan malam bersama di satu meja. Apalagi bersama kekasih Gio di sana. Itu juga akan sangat aneh bagi Akira.
“Maaf, Nona. Saya harus kembali bekerja.”
Akira mengangguk lalu berterima kasih pada Ami yang repot-repot mengantarnya makanan.
Sepeninggal Ami, Akira kembali memandang ke arah jendela. Bulan benar-benar bersinar cantik malam ini. Akira tersenyum sejenak sebelum akhirnya ia mendekat ke arah nakas. Perutnya memang sudah lapar sejak tadi, tapi ia tidak nyaman untuk keluar dari kamar ini. Ia lebih nyaman berada di kamar ini saja tanpa harus bertemu Gio atau kekasih pria itu.
Namun, apakah ia harus selamanya mendekam di dalam kamar. Ia adalah seorang istri sekarang. Ibu angkatnya yang selalu marah-marah dan memperlakukan dirinya dengan kasar saja masih sempat terkadang menyambut suami pulang kantor atau makan bersama di meja makan. Apakah ia tidak bisa begitu juga? Kenapa ia harus mengurung diri di kamar dan makan malam di kamar sendirian?
Akira menyentuh alat makannya. Ia melahap makanan yang diberikan oleh Ami dengan perlahan. Sampai akhirnya ia tidak sadar menghabiskan semuanya tanpa sisa. Ternyata ia benar-benar lapar sekali. Setelahnya, ia keluar dan berniat mengembalikan alat makan ke dapur. Namun, koridor di mana kamarnya berada sudah gelap gulita. Sepertinya semua orang sudah tidur. Mengingat ini sudah malam sekali dan ia telat makan. Akira berjalan dengan hati-hati di antara cahaya lampu yang berpendar kecil dan hangat di beberapa sisi dinding. Hingga tiba didekat pintu kamar Ami, ia menoleh. Awalnya ia ingin mengetuknya, tapi ia tidak ingin menganggu wanita itu. Ia akhirnya pergi sendiri, mengira-ngira di mana letak dapurnya.
Rumah ini sangat besar dan memiliki banyak ruangan serta koridor seperti labirin. Ia lantas menemukan meja makan. Senyum Akira mengembang lagi. Gadis itu beranjak ke arah kiri sesuai instingnya. Biasanya meja makan selalu dekat dengan dapur. Nah, ia tersenyum lebar sesaat melihat ruangan seperti dapur. Bedanya ini lebih besar dan luas. Akira menaruh nampannya di atas meja pantry lalu mencari-cari tombol sakelar. Saat dapat, ia menyalakan lampunya. Ia lega sekali usai melewati labirin dan berakhir di sini.
Akira mencuci piringnya dan merapikan segala yang tersisa di sana. Dapurnya sangat bagus. Gadis itu berpikir mungkin sebaiknya besok pagi ia menyiapkan sesuatu untuk Gio. Setidaknya ia harus berbuat baik sebagai seorang istri.
***