Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Teman Baru

Bab 10 Teman Baru

Akira terlihat antusias sekali saat mengetahui maid yang mengantarnya ke kamar ternyata bisa bahasa isyarat. Seperti mendapatkan teman baru ia menarik lengan wanita itu untuk duduk di atas tempat tidur dan mengajaknya bicara lebih jauh.

“Namamu siapa?” Ami menggerakkan seperti orang sedang menulis di tangan lalu menunjuk sang maid dan berakhir dengan ibu jari menyentuh dagu.

Sang maid mengeja satu per satu hurufnya dengan gerakan jemari. “Ami. Ami Fujita.”

Akira mengangguk. “Nama kita berawal huruf yang sama.” Akira tersenyum sampai gigi-giginya terlihat dengan kedua tangan membentuk huruf 'A'.

Maid itu tersenyum lalu mengangguk. “Iya. A—kira,” maid itu menujuk Akira lalu dirinya. “A—mi.”

“Kalau tidak salah ... arti Akira itu terang, ‘kan?” Akira mengangguk.

“Terang.” Akira menggerakkan tangannya seperti bersinar.

“Nama yang bagus,” kata Ami.

Akira lantas menepuk lengan maid itu dan bertanya, “Bagaimana dengan Ami?”

Ami terdiam sejenak lalu menautkan kedua jari telunjuknya satu sama lain.

“Teman,” katanya.

Kini senyum Akira tak henti-hentinya terpampang. “Apakah kita juga bisa berteman?” Ia kembali mengisyaratkan kalimatnya.

Sang maid menunduk. Ia agak sangsi ditanya begitu oleh majikannya. Namun, melihat gadis ini sungguh membuatnya terenyuh apalagi saat mendapati perlakuan majikannya begitu berbeda. Sepertinya gadis ini memang perlu teman. Ia akhirnya mengangguk.

“Nona bisa memanggil saya Ami saja.”

Akira mengangguk senang. Keduanya sekejap langsung akrab, seperti benar-benar sudah mengenal lama. Ami juga merasa begitu, ia sepertinya sudah lama sekali tidak menggunakan bahasa isyarat lagi. Sudah dua tahun berlalu. Agak kaku, tapi beruntung gadis itu mengerti ucapannya.

“Nona Akira... sejak kapan?” tanya Ami, menggerakkan tangan ke telinga kanan. Sekejap Akira tahu tanpa wanita itu melanjutkan ucapannya.

Gadis itu lalu menggerakkan tangannya seperti menggendong bayi. Ia bercerita dengan bahasa isyaratnya bahwa ia tidak bisa mendengar sejak lahir. Ia juga menceritakan hidupnya selama ini tinggal dengan keluarga angkatnya yang memperlakukan dirinya begitu kasar sehari-harinya. Sampai pada akhirnya ia dipaksa menikah dengan Giovanno untuk melunasi utang-utang keluarga angkatnya.

“Hidup Nona sangat berat.”

Akira tersenyum. “Aku baik-baik saja.” Kali ini ia benar-benar mengutarakannya secara langsung, tidak dalam hati seperti yang sudah-sudah. Ia berharap ia memang akan baik-baik saja setelah ini. Apalagi menemukan teman baru di rumah ini.

“Lalu di mana orang tua kandung Nona sekarang?” Ami bertanya lagi. Saat itu Akira tidak lekas menjawab. Ia sering bertanya-tanya tentang hal itu. Ke mana orang tuanya? Di mana ibu kandungnya? Kenapa ia bisa diadopsi oleh keluarga Arfandi? Apakah orang tuanya tidak menginginkan dirinya yang lahir dengan keadaan yang tuli ini?

Ami yang menyadari Akira diam saja lalu menyentuh punggung tangannya. “Maaf,” katanya.

Seketika itu, Akira menggeleng. Ia lantas menggerakkan tangannya—menjawab, “Tidak tahu. Sejak kecil aku hanya tahu bahwa aku diadopsi.”

Ami mengangguk. Ia teringat seseorang yang sudah lama pergi dari hidupnya. Pandangannya menunduk sejenak lalu bercerita tentang secuil kisah hidupnya.

“Nona mengingatkan saya pada anak saya,” katanya.

“Saya juga mempunyai anak, tapi sudah meninggal dua tahun yang lalu,” lanjut Ami, diikuti dengan isyarat yang membuat gadis itu paham.

“Jika saja masih hidup, anak saya mungkin kini sudah seusia Nona Akira.” Ami lantas menggerakkan tangan kanannya ke telinga beberapa kali. “Dia juga mengalami gagal fungsi pada telinganya dan menyebabkannya tuli.”

“Itu sebabnya kau bisa bahasa isyarat?” Akira kembali bertanya.

Ami mengangguk. Akira lantas mengusap lengan maid itu, turut menguatkan usai mendengar ceritanya. Sang maid menggeleng perlahan. Ia baik-baik saja, begitu isyaratnya. Bibir Akira kembali tersenyum seketika mengetahui hal itu. “Kau pasti merindukan dia.”

“Sangat.” Ami kembali mengangguk sambil menahan isak tangisnya.

“Jangan sedih.” Akira meminta Ami untuk tidak menangis. “Tuhan Maha Mendengar, kerinduanmu pasti akan disampaikan pada anakmu.”

Ami tersenyum lebar lalu mengangguk. “Iya. Nona benar. Sekarang saya hanya bisa berdoa agar ia baik-baik saja di surga.”

Akira menganggguk.

“Nona juga harus hidup dengan baik, ya.”

Gadis itu tidak menjawab apa-apa. Namun, akhirnya tersenyum dengan matanya yang lebih berbinar.

“Tentu.” Agaknya ia lebih terbuka dan lega usai bertemu dan mencurahkan isi hatinya pada teman baru.

***

Akira merapikan pakaian dibantu Ami. Ia berkali-kali mengisyaratkan untuk membereskan sendiri, tapi Ami terus-menerus di sana membantu dirinya hingga akhirnya bercerita tentang Giovanno, putra tunggal keluarga Lyxn yang dingin itu.

“Nona harus hati-hati setiap bicara dengan Tuan Giovanno. Beliau tidak suka ditanya-tanya sesuatu yang sama. Tuan Gio juga tidak suka dibantah, tapi entah bagaimana dengan wanita yang tadi.”

Akira hanya menyimak beberapa sebagai peringatan. Intinya jangan dekat-dekat wanita itu. Ia tidak mau cari masalah.

“Wanita itu—Heli?”

“Iya?”

Akira mengisyaratkan nama wanita yang ia dengar tadi. “Namanya Heli, 'kan?” tanya Akira dengan polosnya.

Sang maid terkekeh pelan. Akira sontak terheran; mengernyit dahinya.

“Kenapa kau tertawa? Ada yang lucu, Ami?”Akira bertanya. Keningnya kerut-merut laku tersadar apa yang lucu. “Oh, nama itu mengingat aku pada anjing tetanggaku yang menggemaskan.”

Sang maid makin terkekeh-kekeh hingga menunduk. Akira keheranan.

“Kau kenapa, Ami?” Akira kembali terheran melihatnya.

“Oh, saya juga tidak terlalu tahu siapa namanya, Nona,” bohong Ami, menggeleng dan kembali mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tidak tahu. Ia tidak bisa berhenti tertawa. Agaknya para maid lain harus mendengar ini sebagai hiburan akibat dimarahi tadi pagi oleh wanita itu.

“Lalu kenapa kau tertawa?” Akira kembali mempertanyakan Ami yang masih tertawa padanya. Meskipun Akira tidak bisa mendengar suara tawa itu, ia amat mengerti ekspresi Ami menerjemahkan bahwa ada yang lucu dari caranya bertanya tadi.

Ami lantas meminta maaf. “Maaf, Nona. Saya minta maaf.” Ia juga menunduk dalam-dalam pada Akira. “Wajah Nona lucu sekali, saya lagi-lagi teringat anak saya.”

Gadis itu memegang bahunya dan menggeleng lalu menggerakkan tangannya. “Kalau begitu tidak perlu minta maaf.”

Akira senang melihat maid itu mau tersenyum dan tertawa padanya. Ia kembali menatap Ami. Wanita itu memberitahunya sesuatu.

“Katanya, wanita itu kekasih Tuan Giovanno. Dia juga baru datang ke rumah ini. Beberapa maid bilang, dia agak sedikit ... pengatur,” kata Ami.

“Tadi siang, salah satu dari kami sempat kena marah saat menyajikan makanan untuknya.”

Akira hanya terdiam saat mendengar itu.

“Tipe wanita yang sangat ingin berkuasa. Saya benar-benar tidak menyangka, Tuan Giovanno akan membiarkan wanita itu tinggal seatap dengan Nona yang notabenenya adalah istri sahnya,” lanjut Ami.

“Aku dan dia sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini,” jawab Akira.

“Apakah karena Tuan Reynold yang memaksakan juga pada Tuan Muda?”

Akira mengingat beberapa kali Gio sempat terlihat marah pada ayahnya. Ia mengangguk kemudian bertanya diselipi isyarat, “Apakah hubungan mereka memang tidak baik?”

“Seperti itulah, Nona. Sudah sejak kecil, hubungan Tuan Muda juga tidak begitu baik dengan Tuan Reynold. Apalagi setelahTuan Reynol menikah lagi.”

Akira mengernyit dalam-dalam. Ia tidak menyangka bahwa Giovanno juga punya kehidupan yang rumit. Wanita cantik yang beberapa kali pernah bertemu dengannya itu istri muda Tuan Reynold, begitu? Akira menelengkan kepalanya sejenak. Ia lalu mengedikkan bahunya dan kembali membereskan pakaian.

“Sepertinya wanita bernama 'Heli' itu juga mirip-mirip dengan istri Tuan Reynold.” Ami kembali mengisyaratkan sesuatu. Kali ini sambil berbisik.

Akira tidak mengerti. Apa itu artinya Giovanno akan menikah lagi dan menjadikan 'Heli' jadi istri muda? Begitukah maksud Ami? Ah, pikiran Akira benar-benar polos sekali. Ia tidak mengerti hal rumit begini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel