Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Langkah Pertama

Fajar menyingsing di Tiancheng. Kabar tentang perselisihan antara Luo Feng dan Zhang Rui telah menyebar seperti api yang tertiup angin. Beberapa tetua klan yang berkumpul di aula pertemuan Klan Langit Biru membahas hal ini dengan serius.

Tetua Kang, salah satu anggota tertua dan paling berpengaruh, mengetukkan tongkat kayunya ke lantai, menarik perhatian semua orang. “Luo Feng… anak dari keluarga Luo yang jatuh miskin. Apa yang membuat pemuda ini menjadi pembicaraan? Apakah ada sesuatu yang menarik dari dirinya?”

Salah satu tetua lain, Tetua Hua, menjawab dengan skeptis, “Dia hanyalah anak kecil dengan mulut yang tajam. Tetapi kabarnya dia berhasil mempermalukan Zhang Rui di depan umum.”

Tetua Kang tertawa kecil. “Zhang Rui… anak yang penuh amarah tetapi tidak punya otak. Kalau Luo Feng bisa membuatnya kehilangan kendali, itu artinya dia lebih dari sekadar mulut tajam. Aku ingin tahu apa rencananya.”

Sementara itu, di sisi lain kota, Zhang Rui sudah bersiap untuk melancarkan balas dendamnya. Dia berdiri di halaman rumah keluarga Zhang bersama sekelompok pria kekar yang merupakan pengawalnya.

“Hari ini, kita akan menyerang Luo Feng! Aku ingin dia tahu tempatnya!” teriak Zhang Rui penuh semangat. Para pria itu mengangguk patuh, siap mengikuti perintahnya.

Namun, di kediaman kecilnya, Luo Feng duduk santai sambil meminum teh. Paman Cheng, yang terlihat cemas, mondar-mandir di ruangan itu.

“Luo Feng, kau tahu mereka akan datang mencarimu, kan? Apa rencanamu kali ini?” tanya Paman Cheng.

Luo Feng meletakkan cangkir tehnya dengan tenang. “Rencana? Aku tidak perlu melakukan apa-apa. Zhang Rui akan menghancurkan dirinya sendiri.”

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”

Luo Feng tersenyum tipis. “Zhang Rui adalah orang yang mudah terbakar amarah. Aku hanya perlu memberinya sedikit dorongan. Surat-surat yang kukirim semalam akan membuat para tetua memperhatikannya. Dan saat dia bertindak ceroboh, semuanya akan berpihak padaku.”

Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki berat terdengar dari luar rumah. Zhang Rui dan pengawalnya telah tiba.

“Luo Feng! Keluarlah! Jangan bersembunyi seperti pengecut!” teriak Zhang Rui dengan suara lantang.

Paman Cheng terlihat panik, tetapi Luo Feng tetap tenang. Dia berdiri dan membuka pintu, menatap Zhang Rui dengan ekspresi datar.

“Kau benar-benar datang. Aku hampir tidak percaya kau sebodoh ini,” kata Luo Feng, suaranya tenang tetapi penuh penghinaan halus.

“Kau cari mati, Luo Feng!” Zhang Rui melangkah maju, tetapi saat itu, suara berat menghentikan langkahnya.

“Apa yang terjadi di sini?”

Semua orang menoleh, dan di sana berdiri Tetua Kang bersama dua penjaga klan. Ekspresinya dingin, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya.

“Tetua Kang? Mengapa Anda di sini?” Zhang Rui tampak terkejut.

“Aku mendengar kabar bahwa seorang anggota Klan Langit Biru hendak menyerang orang lain di siang bolong. Aku datang untuk melihat sendiri apakah kabar itu benar.”

Zhang Rui mencoba menjelaskan, tetapi Tetua Kang mengangkat tangannya, menyuruhnya diam. “Apakah ini cara seorang anggota klan bertindak? Membawa sekelompok orang untuk memulai pertarungan di depan umum? Kau mempermalukan nama keluargamu.”

Luo Feng, yang berdiri diam di sisi lain, berbicara dengan nada rendah tetapi cukup keras untuk didengar semua orang. “Tetua Kang, saya hanyalah seorang pemuda biasa yang tidak memiliki kekuatan atau kekayaan. Tetapi tampaknya beberapa orang merasa keberadaan saya adalah ancaman bagi mereka.”

Tetua Kang memandangi Luo Feng dengan penuh minat. Dia tahu bahwa pemuda ini sedang bermain sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat.

“Kalian semua kembali ke rumah masing-masing,” perintah Tetua Kang kepada Zhang Rui dan pengawalnya. “Zhang Rui, aku akan melaporkan tindakanmu ini kepada ayahmu. Dan kau, Luo Feng, aku ingin berbicara denganmu.”

Saat Zhang Rui pergi dengan wajah merah karena malu, Luo Feng mengikuti Tetua Kang ke tempat yang lebih sepi.

“Katakan padaku, Luo Feng,” Tetua Kang mulai, “Apakah ini semua bagian dari rencanamu?”

Luo Feng tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia hanya tersenyum samar. “Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Tetua Kang. Saya hanya bertahan hidup di dunia yang penuh dengan orang-orang yang ingin menghancurkan saya.”

Tetua Kang mengangguk pelan. “Jika itu yang ingin kau katakan. Tapi ingat ini, Luo Feng, permainan yang kau mainkan sangat berbahaya. Jika kau gagal, tidak akan ada yang menolongmu.”

“Jika saya gagal,” jawab Luo Feng dengan tenang, “itu berarti saya tidak layak untuk bertahan.”

Tetua Kang tertawa kecil sebelum berbalik pergi. Dalam hatinya, dia tahu pemuda ini bukan orang biasa. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Tetua Kang merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di bawah sinar matahari pagi, Luo Feng berdiri sendirian, tetapi senyum penuh arti masih menghiasi wajahnya. Langkah pertama telah selesai. Kini, dia hanya perlu menunggu efek dominonya bergerak.

Setelah Tetua Kang pergi, dan ketegangan di depan rumahnya mereda, Luo Feng kembali ke dalam. Paman Cheng, yang masih terlihat cemas, menatapnya ragu.

“Luo Feng, meskipun rencanamu sejauh ini berhasil, kau tahu mereka tidak akan berhenti, kan? Zhang Rui pasti akan kembali dengan cara yang lebih licik,” kata Paman Cheng dengan nada khawatir.

Luo Feng hanya tersenyum tipis sambil melirik ke luar jendela. Matahari yang mulai meninggi menembus celah kayu rumah sederhana itu. “Itu tidak masalah, Paman. Aku punya waktu. Sementara mereka sibuk memikirkan cara menjatuhkanku, aku akan terus maju.”

Setelah berkata demikian, Luo Feng melangkah ke ruang pribadinya di bagian belakang rumah. Ruangan itu kecil, hampir kosong, hanya berisi tikar tua dan meja pendek dengan beberapa gulungan kertas kuno. Ia duduk bersila di tengah ruangan, menutup matanya, dan mulai bernapas perlahan.

Tidak ada yang tahu—bahkan Paman Cheng yang sudah lama menemaninya pun tidak menyadari—bahwa Luo Feng adalah seorang kultivator dengan kemampuan luar biasa. Di usia 15 tahun, dia telah mencapai Ranah Bumi Bintang Dua, sebuah tingkat yang hampir mustahil dicapai oleh pemuda seusianya. Sebagai perbandingan, kebanyakan anak muda di Tiancheng yang berbakat hanya mampu mencapai Ranah Inti Energi pada usia itu. Namun, Luo Feng menyembunyikan kekuatannya dengan sangat hati-hati.

“Kesombongan adalah musuh dari kesuksesan,” gumam Luo Feng pelan saat energi mulai mengalir dalam tubuhnya. “Biarkan mereka meremehkanku. Itu hanya membuatku lebih mudah memanfaatkan mereka.”

Energi spiritual di sekitar mulai terkonsentrasi di ruangan kecil itu, mengalir ke tubuhnya dengan ritme yang stabil. Teknik kultivasi rahasia yang diwarisinya dari mendiang ayahnya, Teknik Langit Cakrawala, membuat proses itu terasa mulus. Teknik ini tidak hanya meningkatkan kekuatan fisiknya tetapi juga memperkuat energinya secara mendalam.

Saat dia terus berkultivasi, pikiran Luo Feng melayang ke masa lalu. Ranah Bumi Bintang Dua bukanlah pencapaian yang datang dengan mudah. Bertahun-tahun dia menjalani pelatihan keras, sering kali di bawah ancaman kematian. Setelah keluarganya dihancurkan oleh musuh-musuh yang tidak pernah berhenti mengejarnya, Luo Feng bersumpah untuk menjadi kuat—cukup kuat untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga mengendalikan nasibnya sendiri.

“Setiap langkah adalah investasi,” pikirnya. “Aku tidak hanya ingin bertahan, aku ingin mereka semua tunduk di bawah kakiku.”

Udara di ruangan itu mulai bergetar pelan. Sebuah pusaran energi yang halus terbentuk di sekeliling Luo Feng, diserap perlahan oleh tubuhnya. Dia tetap tenang, wajahnya tanpa ekspresi, meskipun di dalam tubuhnya, energi spiritual itu mengalir seperti sungai yang deras.

Satu jam berlalu, lalu dua jam. Hingga akhirnya, Luo Feng membuka matanya perlahan. Di kedalaman matanya, ada kilatan dingin dan tajam—sebuah tanda dari kekuatan yang tersembunyi.

“Cukup untuk hari ini,” gumamnya sambil bangkit berdiri. “Kekuatan fisik adalah pondasi, tapi kekuatan akal adalah senjataku yang sebenarnya.”

Saat dia melangkah keluar dari ruangan itu, Paman Cheng menunggunya di dapur dengan secangkir teh.

“Kau sudah selesai?” tanya Paman Cheng sambil menyerahkan teh itu.

Luo Feng mengangguk. “Ya. Sekarang saatnya aku menunggu mereka bergerak. Tapi ingat, Paman, semakin lama mereka memandangku lemah, semakin besar keuntunganku.”

Paman Cheng menghela napas. Dia tahu bahwa Luo Feng berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui. Ada sesuatu dalam pemuda itu—sesuatu yang menakutkan, tapi juga menginspirasi.

Sementara itu, di tempat lain, Zhang Rui yang masih marah menyusun rencana balas dendam bersama beberapa rekan keluarganya. Mereka tidak tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil telah diprediksi oleh Luo Feng. Dan mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pemuda yang mereka pandang sebelah mata itu memiliki kekuatan yang cukup untuk menghancurkan mereka kapan pun dia mau.

Namun, Luo Feng tidak terburu-buru. Dia tidak pernah bermain untuk kemenangan kecil. Dia bermain untuk dominasi total. Dan ini baru permulaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel