Rapuh
Tangan yang tadinya tidak sengaja
menepis tubuh Salwa kini terasa
berkeringat, rasanya seperti basah dan
panas dingin.
Melihat Habib yang langsung
membantu Salwa berdiri dengan sebuah
bentakan yang sebelumnya dia berikan
pada Arumi, membuat dada rasanya bergetar
hebat.
Bahkan tatapan lelaki itu yang tampak
begitu tak suka atas perlakuan Arumi pada
Salwa, membuat jantung nya serasa
berdetak dua kali lebih cepat.
Rasanya seperti ada sembilu yang menusuknya, membuat robekan besar sampai mengeluarkan seisi darah yang di pompa ke seluruh tubuh.
Salwa memasang wajah meringis kesakitan sambil berdiri di samping Habib, tubuhnya terlihat begitu lemah menahan nyeri di bagian perut.
Entah pura-pura atau dia memang kesakitan, Arumi juga sudah sulit membedakan mana akting dan yang mana nyata.
Karena bagi Arumi, Salwasudah berubah menjadi aktris yang jago berpura-pura.
"Pergi kalian dari sini, jangan pernah
menunjukkan wajah kalian di hadapanku!"
Ujar Arumi mengusir mereka dengan nada
bicara rendah.
Arumi tidak mau marah-marah, karena dia
sadar kondisinya sedang tidak baik sekarang.
Jika terjadi sesuatu pada kandungannya, maka bukan tidak mungkin Arumi akan kehilangan anak lagi untuk yang kedua kalinya.
"Rumi, seharusnya kamu minta maaf pada
Salwa. Bukan malah mengusir kami seperti
ini," ucap Habib semakin membuat Rumi muak.
"Maaf, Mas. Aku sedang tidak ingin di
ganggu," balas Rumi lemah.
"Mbak, aku minta maaf kalau aku sudah
membuatmu—"
"Salwa. Tahukah kamu? Maafmu sama
sekali tidak mengubah apa pun, Mas Habib
sudah mencintaimu. Aku tidak
menyalahkanmu tapi aku menyalahkan
Mas Habib yang tidak bisa menjaga amanah." Pandangan Arumi beralih pada Habib
dengan mata merah yang berkaca-kaca.
"Demi Allah, rasanya sakit sekali, Mas.
Aku ... Aku tidak tahu harus berkomentar
apa, bahkan aku tidak mengerti dengan
apa yang kurasakan sekarang."Habib hanya menatap Rumi.
Salwa tampak sudah tidak kesakitan lagi, dia pun berjalan maju untuk mendekati Rumi, berusaha menyentuhnya tapi sama sekali tidak di beri ijin.
Dengan cepat Rumi menjauh darinya, menepis tangannya bahkan Rumi juga
melirik sinis.
Untuk pertama kalinya, Rumi berlaku seperti
ini. Padahal dulu dia adalah orang yang
paling Rumi percaya, bahkan Rumi sendiri tidak bisa menyangka bahwa dia bisa mencintai lelaki lain selain Umar.
Lalu sekarang, setelah Rumi bisa mencintainya, dia malah memperlakukan Rumi seenaknya.
"Allah, sang maha pemilik cinta saja tidak
pilih kasih, tapi—"
"Jangan samakan Allah dengan dirimu,
Mas. Kamu jelas berbeda, bahkan kamu
lebih hina dari pada Bara. Di mataku, kamu
adalah lelaki yang paling buruk! Selama aku
hidup di dunia ini, kamu adalah lelaki yang
paling buruk. Dengan apa yang kamu lakukan sekarang, membuatku benar-benar jijik padamu!"Habib, lelaki yang tidak punya kuasa atas kepemilikan cintanya itu hanya bisa
terdiam.
Ia tahu dirinya salah, dia juga sadar bahwa mencintai Salwa akan sangat menyakitkan bagi Rumi.
Lantas apa lagi yang bisa Rumi pertahankan? Mungkin mereka akan berpisah setelah bayinya lahir.
Air asin menetes tanpa surat ijin dari mata Rumi, membuatnya tampak begitu rapuh di depan mereka.
Buru-buru Rumi mengusap kasar untuk menghilangkannya, agar tidak terlihat oleh Salwa dan menganggapnya sebagai wanita yang lemah.
"Kita akan bicara setelah kamu merasa
lebih baik, tapi Mas harap kamu tidak
menemui Umar lagi. Demi Allah, Mas tidak
meridhoi kamu menemui lelaki itu," ujar Habib.
"Aku bahkan tidak tahu Umar ada di kota ini, kami bertemu karena ketidaksengajaan. Azka juga sudah pernah bertemu Umar sebelumnya di sekolah, tapi Umar sengaja menghindar karena dia tahu hadir kembali dalam kehidupanku akan membuat pernikahan kita kembali hancur. Tapi ternyata, tanpa dia pun pernikahan kita sepertinya sudah hancur." Ujar Rumi membalas perkataannya dengan sebuah senyum miris di akhir kalimat.
Salwa kelihatan terkejut, Rumi rasa dia juga
sudah tahu dari Habib kalau Umar ada di
sini tadi malam.
Mustahil Habib tidak cerita pada istri kesayangannya kalau Umar ada di kota ini, itu sangat mustahil.
Tampak ada sebuah kata yang tertahan di
mulut Salwa, tapi dia sama sekali tidak
mau mengatakan apa-apa sampai Habib
mengajaknya pulang.
Rumi mengalihkan pandang sebelum dia pergi, tak lupa juga ia meraih punggung tangan Habib dan menciumnya.
"Rumi?"
"Kamu masih suamiku Mas, sudah
seharusnya aku mencium punggung
tanganmu," ucap menjawab kebingungannya.
Beberapa tetes air mata ke luar begitu saja,
membasahi pipi Habib juga brewok yang
semakin tebal.
Lelaki dengan wajah mirip orang turki itu mengepalkan tangannya dengan kuat, mata Rumi perlahan terpejam saat dia mencium dahi Rumi begitu lama.
Salwa saja sampai mengalihkan pandangan
dengan kesal saat melihat Habib
melakukan tradisi yang tidak pernah dia
tinggalkan.
Setiap mau pergi, Habib pasti akan mengecup dahi Rumi, di manapun itu begitu juga sebaliknya.
"Tenangkan dirimu. Pulanglah setelah itu,
Mas dan Rizky menunggumu. Hm?"
"InsyaAllah," jawabku.
"Assalamu'alaikum." Habib menyeka cairan
lendir di hidungnya.
"Waalaikumsalam." Ada sebuah tangis yang tertahan saat melihat kepergian mobil Habib bersama Salwa.
Dan tangis itu pecah setelah mobilnya menghilang di kejauhan. Rumi buru-buru mengusap kuat dahi yang baru saja menerima kecupan, rasanya seperti
najis.
Tapi tak bisa di pungkiri bahwa Rumi
senang menerimanya. Antara tangis dan rasa senang, Rumi mengusap dahi sampai merah.
Rumi terduduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras, berusaha mengatur napas sampai
stabil dan memastikan bahwa dirinya
baik-baik saja.
"Arghh.! Mas Habib!" Sebuah teriakan
kencang mewakili perasaan Rumi yang kacau.
Bukannya semakin membaik, kehadiran
Habib dan Salwa malah membuat suasana
hati Rumi semakin kacau setelah di
obrak-abrik.
Menyayangkan nasibnya sendiri, mengingat tidak ada lagi siapa pun yang bisa merangkulnya.
Bang Fahri, orang yang selalu dia ingat
sepanjang masa setelah kematiannya. Rumi
berharap kecelakaan pesawat itu tidak
terjadi, dan dia tidak pergi secepat ini.
Rumi rindu, sangat rindu dia. Hanya dia orang yang selalu bisa menguatkan Rumi di saat jatuh.
"Bang, aku jatuh. Abang selalu bilang jika
aku jatuh abang akan selalu ada untukku, sekarang abang di mana?! Dimana, bang?!"
Teriakan kacau ke luar begitu saja.
Rasanya baru kemarin Rumi menangis di
pangkuan bang Fahri, sekarang dia sudah
menangis sendirian.
Rumi benar-benar membutuhkannya! Allah, jika aku bisa memilih, lebih baik aku saja yang pergi. Bahkan dunia ini terlalu berbahaya
untukku. Ingin hati menyusul bang Fahri,
tapi aku tahu dia pasti akan sedih jika aku
berpikiran seperti itu. Pikirnya.
"Bu Rumi. Ya, Allah! Kenapa?" Tanya si mbok
saat dia ke luar.
"Bu, kita masuk yuk! Kita masuk, kita
istirahat di dalem. Ayuk!" Dengan bantuannya, Rumi masuk dan duduk di ruang tengah.
Si mbok dengan sigap memijat lengan juga pundak Rumi, padahal Rumi sama sekali tidak membutuhkannya.
Sampai saat dia bertanya apa yang sebenarnya terjadi antara Rumi dan Habib,
wajah Rumi pun menoleh.
"Mas Habib jatuh cinta sama Salwa, Mbok."
"Hah? Ya, Allah." Si Mbok menarik Rumi dalam dekapannya. "Sabar, Bu. Sabar, ya? Bu Rumi Kuat kok, harus kuat! Kan punya dede bayi di dalam perutnya. Sabar, semuanya bisa di bicarakan baik-baik."
Tangis Rumi semakin menjadi-jadi, tanpa
suara kecuali isakan ketika ia menyedot
lendir di hidung.
"Tadi mas Umar telepon Mbok, katanya dia mau datang ke sini. Boleh?"
Rumi mendongak. "Mau apa dia ke sini?"