Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rapuh

Tangan yang tadinya tidak sengaja

menepis tubuh Salwa kini terasa

berkeringat, rasanya seperti basah dan

panas dingin.

Melihat Habib yang langsung

membantu Salwa berdiri dengan sebuah

bentakan yang sebelumnya dia berikan

pada Arumi, membuat dada rasanya bergetar

hebat.

Bahkan tatapan lelaki itu yang tampak

begitu tak suka atas perlakuan Arumi pada

Salwa, membuat jantung nya serasa

berdetak dua kali lebih cepat.

Rasanya seperti ada sembilu yang menusuknya, membuat robekan besar sampai mengeluarkan seisi darah yang di pompa ke seluruh tubuh.

Salwa memasang wajah meringis kesakitan sambil berdiri di samping Habib, tubuhnya terlihat begitu lemah menahan nyeri di bagian perut.

Entah pura-pura atau dia memang kesakitan, Arumi juga sudah sulit membedakan mana akting dan yang mana nyata.

Karena bagi Arumi, Salwasudah berubah menjadi aktris yang jago berpura-pura.

"Pergi kalian dari sini, jangan pernah

menunjukkan wajah kalian di hadapanku!"

Ujar Arumi mengusir mereka dengan nada

bicara rendah.

Arumi tidak mau marah-marah, karena dia

sadar kondisinya sedang tidak baik sekarang.

Jika terjadi sesuatu pada kandungannya, maka bukan tidak mungkin Arumi akan kehilangan anak lagi untuk yang kedua kalinya.

"Rumi, seharusnya kamu minta maaf pada

Salwa. Bukan malah mengusir kami seperti

ini," ucap Habib semakin membuat Rumi muak.

"Maaf, Mas. Aku sedang tidak ingin di

ganggu," balas Rumi lemah.

"Mbak, aku minta maaf kalau aku sudah

membuatmu—"

"Salwa. Tahukah kamu? Maafmu sama

sekali tidak mengubah apa pun, Mas Habib

sudah mencintaimu. Aku tidak

menyalahkanmu tapi aku menyalahkan

Mas Habib yang tidak bisa menjaga amanah." Pandangan Arumi beralih pada Habib

dengan mata merah yang berkaca-kaca.

"Demi Allah, rasanya sakit sekali, Mas.

Aku ... Aku tidak tahu harus berkomentar

apa, bahkan aku tidak mengerti dengan

apa yang kurasakan sekarang."Habib hanya menatap Rumi.

Salwa tampak sudah tidak kesakitan lagi, dia pun berjalan maju untuk mendekati Rumi, berusaha menyentuhnya tapi sama sekali tidak di beri ijin.

Dengan cepat Rumi menjauh darinya, menepis tangannya bahkan Rumi juga

melirik sinis.

Untuk pertama kalinya, Rumi berlaku seperti

ini. Padahal dulu dia adalah orang yang

paling Rumi percaya, bahkan Rumi sendiri tidak bisa menyangka bahwa dia bisa mencintai lelaki lain selain Umar.

Lalu sekarang, setelah Rumi bisa mencintainya, dia malah memperlakukan Rumi seenaknya.

"Allah, sang maha pemilik cinta saja tidak

pilih kasih, tapi—"

"Jangan samakan Allah dengan dirimu,

Mas. Kamu jelas berbeda, bahkan kamu

lebih hina dari pada Bara. Di mataku, kamu

adalah lelaki yang paling buruk! Selama aku

hidup di dunia ini, kamu adalah lelaki yang

paling buruk. Dengan apa yang kamu lakukan sekarang, membuatku benar-benar jijik padamu!"Habib, lelaki yang tidak punya kuasa atas kepemilikan cintanya itu hanya bisa

terdiam.

Ia tahu dirinya salah, dia juga sadar bahwa mencintai Salwa akan sangat menyakitkan bagi Rumi.

Lantas apa lagi yang bisa Rumi pertahankan? Mungkin mereka akan berpisah setelah bayinya lahir.

Air asin menetes tanpa surat ijin dari mata Rumi, membuatnya tampak begitu rapuh di depan mereka.

Buru-buru Rumi mengusap kasar untuk menghilangkannya, agar tidak terlihat oleh Salwa dan menganggapnya sebagai wanita yang lemah.

"Kita akan bicara setelah kamu merasa

lebih baik, tapi Mas harap kamu tidak

menemui Umar lagi. Demi Allah, Mas tidak

meridhoi kamu menemui lelaki itu," ujar Habib.

"Aku bahkan tidak tahu Umar ada di kota ini, kami bertemu karena ketidaksengajaan. Azka juga sudah pernah bertemu Umar sebelumnya di sekolah, tapi Umar sengaja menghindar karena dia tahu hadir kembali dalam kehidupanku akan membuat pernikahan kita kembali hancur. Tapi ternyata, tanpa dia pun pernikahan kita sepertinya sudah hancur." Ujar Rumi membalas perkataannya dengan sebuah senyum miris di akhir kalimat.

Salwa kelihatan terkejut, Rumi rasa dia juga

sudah tahu dari Habib kalau Umar ada di

sini tadi malam.

Mustahil Habib tidak cerita pada istri kesayangannya kalau Umar ada di kota ini, itu sangat mustahil.

Tampak ada sebuah kata yang tertahan di

mulut Salwa, tapi dia sama sekali tidak

mau mengatakan apa-apa sampai Habib

mengajaknya pulang.

Rumi mengalihkan pandang sebelum dia pergi, tak lupa juga ia meraih punggung tangan Habib dan menciumnya.

"Rumi?"

"Kamu masih suamiku Mas, sudah

seharusnya aku mencium punggung

tanganmu," ucap menjawab kebingungannya.

Beberapa tetes air mata ke luar begitu saja,

membasahi pipi Habib juga brewok yang

semakin tebal.

Lelaki dengan wajah mirip orang turki itu mengepalkan tangannya dengan kuat, mata Rumi perlahan terpejam saat dia mencium dahi Rumi begitu lama.

Salwa saja sampai mengalihkan pandangan

dengan kesal saat melihat Habib

melakukan tradisi yang tidak pernah dia

tinggalkan.

Setiap mau pergi, Habib pasti akan mengecup dahi Rumi, di manapun itu begitu juga sebaliknya.

"Tenangkan dirimu. Pulanglah setelah itu,

Mas dan Rizky menunggumu. Hm?"

"InsyaAllah," jawabku.

"Assalamu'alaikum." Habib menyeka cairan

lendir di hidungnya.

"Waalaikumsalam." Ada sebuah tangis yang tertahan saat melihat kepergian mobil Habib bersama Salwa.

Dan tangis itu pecah setelah mobilnya menghilang di kejauhan. Rumi buru-buru mengusap kuat dahi yang baru saja menerima kecupan, rasanya seperti

najis.

Tapi tak bisa di pungkiri bahwa Rumi

senang menerimanya. Antara tangis dan rasa senang, Rumi mengusap dahi sampai merah.

Rumi terduduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras, berusaha mengatur napas sampai

stabil dan memastikan bahwa dirinya

baik-baik saja.

"Arghh.! Mas Habib!" Sebuah teriakan

kencang mewakili perasaan Rumi yang kacau.

Bukannya semakin membaik, kehadiran

Habib dan Salwa malah membuat suasana

hati Rumi semakin kacau setelah di

obrak-abrik.

Menyayangkan nasibnya sendiri, mengingat tidak ada lagi siapa pun yang bisa merangkulnya.

Bang Fahri, orang yang selalu dia ingat

sepanjang masa setelah kematiannya. Rumi

berharap kecelakaan pesawat itu tidak

terjadi, dan dia tidak pergi secepat ini.

Rumi rindu, sangat rindu dia. Hanya dia orang yang selalu bisa menguatkan Rumi di saat jatuh.

"Bang, aku jatuh. Abang selalu bilang jika

aku jatuh abang akan selalu ada untukku, sekarang abang di mana?! Dimana, bang?!"

Teriakan kacau ke luar begitu saja.

Rasanya baru kemarin Rumi menangis di

pangkuan bang Fahri, sekarang dia sudah

menangis sendirian.

Rumi benar-benar membutuhkannya! Allah, jika aku bisa memilih, lebih baik aku saja yang pergi. Bahkan dunia ini terlalu berbahaya

untukku. Ingin hati menyusul bang Fahri,

tapi aku tahu dia pasti akan sedih jika aku

berpikiran seperti itu. Pikirnya.

"Bu Rumi. Ya, Allah! Kenapa?" Tanya si mbok

saat dia ke luar.

"Bu, kita masuk yuk! Kita masuk, kita

istirahat di dalem. Ayuk!" Dengan bantuannya, Rumi masuk dan duduk di ruang tengah.

Si mbok dengan sigap memijat lengan juga pundak Rumi, padahal Rumi sama sekali tidak membutuhkannya.

Sampai saat dia bertanya apa yang sebenarnya terjadi antara Rumi dan Habib,

wajah Rumi pun menoleh.

"Mas Habib jatuh cinta sama Salwa, Mbok."

"Hah? Ya, Allah." Si Mbok menarik Rumi dalam dekapannya. "Sabar, Bu. Sabar, ya? Bu Rumi Kuat kok, harus kuat! Kan punya dede bayi di dalam perutnya. Sabar, semuanya bisa di bicarakan baik-baik."

Tangis Rumi semakin menjadi-jadi, tanpa

suara kecuali isakan ketika ia menyedot

lendir di hidung.

"Tadi mas Umar telepon Mbok, katanya dia mau datang ke sini. Boleh?"

Rumi mendongak. "Mau apa dia ke sini?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel