Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kedatangannya

Rumi sama sekali tidak mengijinkan Umar

datang. Tidak lagi, karena dia yakin pasti

akan menimbulkan masalah baru nantinya

yang akan menyeret-nyeret namanya.

Bahkan nama Faisal, orang yang bahkan

tidak punya hubungan apa pun dengan Rumi

saja menjadi kambing hitam di mata Habib.

Rumi tidak mau melibatkan Umar lagi, kali

ini dia tidak perlu terlibat atau bahkan dia

juga tidak perlu tahu.

Ini masalah Rumi, masalah rumah tangganya dan Habib. Mereka bisa menyelesaikan ini sendiri tanpa harus melibatkan orang lain.

"Ya udah, nanti Mbok sampaikan pada mas

Umar. Sekarang Bu Rumi istirahat di kamar

saja, ya? Nanti Mbok bawakan teh hangat

sama bakwan," ucapnya menyuruh Rumi pergi ke kamar.

Seharian Rumi hanya menghabiskan waktu

untuk tiduran saja di kamar, tidak ada

ponsel, tak ada tv, ataupun alat komunikasi

lainnya.

Rumi benar-benar sendirian, termenung sambil sesekali meneteskan air mata.

Tubuhnya terlalu lelah sampai-sampai

tidak bisa tertidur, hingga Rumi mendengar

teriakan Azka memekik namanya dengan

lantang dari lantai bawah.

"Ammah! Ini Azka! Ammah!" Teriaknya.

Rumi langsung bangun, turun ke bawah dan

memastikan bahwa itu benar-benar Azka.

Dan ternyata benar, Azka datang. Belum

sampai Rumi turun ke bawah, dia sudah

berlari menghampiri Rumi di tangga dan

memeluk kakinya dengan erat.

Bocah itu juga memeluk perut buncit Rumi,

Katanya dia rindu semalaman tidak

melihat Rumi membuatnya tidak nyenyak

tidur.

"Ammah, Azka rindu sekali pada Ammah."

"Benarkah? Keponakan Ammah yang

tampan ini merindukan Ammah?" Tanya Rumi

sedikit membungkuk untuk melihat

wajahnya.

Dengan polosnya dia mengangguk, bocah

ini selalu saja berhasil membuat Rumi luluh,

rasanya seperti selalu gagal untuk cemberut di depannya.

Padahal hatinya benar-benar sedang tidak baik, tapi dengan kedatangannya membuat Rumiberhasil menerbitkan senyum untuk yang pertama kalinya hari ini.

Sesuatu yang mengejutkan datang saat Rumi

mendongak ke depan. Umar? Lelaki itu

datang kemari? Kalau begitu, itu artinya

Azka datang bersama Umar, bukan

bersama Mira apa lagi Habib.

Lagi pula lelaki itu pasti sibuk mengurus Salwa.

"Assalamu'alaikum." Salamnya

menundukkan pandangan.

"Waalaikumsalam."

"Ammah, ternyata benar orang yang Azka

lihat waktu itu adalah Ammun Umar. Tadi

Ammun juga yang menemani Azka di

sekolah, entah kenapa Ammun Habib lama

sekali jemputnya. Azka menunggu lebih

dari satu jam," keluh Azka pula.

Arumi baru sadar ini bukan lagi jam pulang

sekolah anak kelas empat sekolah dasar, ini

bahkan sudah hampir jam dua siang,

seharusnya Azka sudah di rumah, tapi dia malah baru pulang setelah memutuskan

ikut Umar.

"Azka sudah makan?" Bocah itu menggeleng.

"Pergilah ke dapur bersama si Mbok, dia akan membuatkan makanan untukmu. Ammah mau bicara dulu dengan Ammun Umar, boleh?" Tanya Rumi.

"Iya." Mengangguk.

Beruntungnya Azka sama sekali tidak

banyak bertanya, dia anak yang sangat

penurut sama seperti ayahnya.

Akan Rumi pastikan anak Azka nanti bangga

mempunyai ayah seperti dia, dan Azka

akan menceritakan betapa baiknya kakek

mereka pada anak-anaknya nanti.

Rumi mengajak Umar ke ruang tamu, mereka duduk berjauhan bahkan Umar sama sekali tidak melihat Rumi sejak tadi.

Dia kelihatan benar-benar berubah, sama sekali tidak berani menatap Rumi sedekat dulu.

"Terima kasih, dan maaf karena sudah

merepotkanmu. Aku tidak tahu kenapa

mas Habib telat menjemput, mungkin dia

sibuk dengan pekerjaannya," ujar Rumi basa-basi.

"Tadi aku ke rumah temanku, rumahnya

berada di perumahan yang sama dengan

tempat tinggal bang Fahri. Aku melihat

Habib di rumah itu, dia sedang mengobrol

bersama Salwa di halaman rumah. Ada apa

ini Rumi? Kenapa mereka terlihat begitu

dekat?" Tanpa menanggapi ucapan Rumi, Umar malah sudah membuka dengan topik baru.

Dia bercerita jika pandangannya terganggu

saat melihat Habib bersama Salwa. Mobil

yang dia tumpangi juga berhenti di depan

rumah bang Fahri, tepat mengarah pada

posisi Habib dan Salwa yang duduk

bersama.

Memang tidak terlihat intim, tidak terlalu

dekat, juga masih terbilang normal.

Tapi Umar tahu seperti apa temannya itu,

Habib tidak akan mungkin sedekat itu

dengan Salwa setelah mengungkap

kebusukan wanita itu di depan semua

anggota keluarga satu tahun lalu.

Kebingungan Umar semakin menjadi-jadi

saat melihat Habib justru merangkul

Salwa, matanya memicing, tidak mungkin sekali Habib berani melakukan

itu.

Dia kan suami Rumi, rasanya seperti

mustahil dia berani menyentuh wanita

lain.

Dengan Aisyah saja dia tidak berani, apa

lagi dengan Salwa.

"Apa saja yang terjadi selama aku pergi?" Tanya Umar lagi.

Banyak Umar, banyak hal yang terjadi

setelah kamu pergi, bahkan Rumi tidak tahu

harus memulainya dari mana.

Begitu banyak sampai Rumi sendiri tidak tahu titik awal dan akhir dari cerita ini.

Tapi Rumi tidak bisa menceritakannya pada

Umar, lidahnya pun mendadak kelu saat

ingin mengeluarkan suara.

Tangan mendadak panas dingin, sampai bibir juga ikut bergetar hebat menelan saliva, Rumi

pun berdehem ringan.

"Menurutmu, apa yang terjadi jika Habib

sampai berani merangkul Salwa seperti

itu?" Tanya Rumi pula.

Lelaki dengan baju garis-garis biru putih

itu semakin menundukkan pandangannya, dia tampak berusaha berpikir, melogikakan apa yang mungkin terjadi antara Habib dan Salwa.

Apa mungkin Umi-nya tidak menceritakan semua ini pada Umar? Seharusnya Umi tahu, karena dia juga tahu kabar pernikahan Habib dan Salwa.

Meski tidak ada acara resepsi, tapi setidaknya

berita pernikahan itu tentu menyebar luas

ke seluruh telinga warga.

"Pernikahan, hanya itu yang bisa membuat

Habib berani merangkul Salwa." Tidak salah lagi, bahkan Umar juga sudah bisa mengerti tanpa harus di beri kisi-kisi.

"Kamu mau minum apa?" Tanya Rumi mengalihkan pembicaraan, dia masih

belum siap menceritakan semua ini,

mungkin esok atau nanti setelah dia

tenang.

"Tidak perlu, aku ingin langsung pulang

saja." Tolaknya.

"Kenapa? Kamu sudah jauh-jauh mengantar Azka kemari, kenapa tidak minum dulu? Atau jika kamu ingin makan, pergilah ke dapur. Ada mbok di sana."

"Tidak Rumi, Aku langsung pulang saja. Ada

kerjaan yang harus kuselesaikan," pamitnya

kekeuh ingin pergi.

Rumi mengantarnya sampai ke depan pintu.

Tidak bisa di tahan karena Rumi juga tidak

mungkin membiarkan pekerjaannya

terbengkalai 'kan?

Sampai di ambang pintu Umar berhenti berjalan, membuat Rumi yang mengikutinya lantas ikut berhenti sebelum menabrak.

"Rumi, aku pergi bukan karena aku tak peduli.

Aku tidak tahu seburuk apa kehidupanmu

setelah kita tidak saling berhubungan, tapi

aku hanya ingin menjadi orang pertama

yang mendengar keluh kesahmu. Aku

mungkin pernah pergi, tapi sekarang aku

sudah kembali. Dan aku mau kamu tahu,

bahwa aku akan selalu ada saat kamu

membutuhkanku." Kata-kata Umar sangat mengena di benak Rumi, rasanya seperti sebuah tamparan keras yang ia terima.

Punggung lelaki itu mengakhiri percakapan, Rumi menutup pintu, kenapa Umar? Lagi-lagi

dia, Rumi berharap ini tidak menjadi awal yang buruk bagi kehidupannya ke depannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel