Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Baby Risky Sakit

"Mas, apa kamu yakin jika mbak Rumi bisa

menerima aku dalam pernikahan kalian?

Bagaimana jika justru dia minta cerai?"

Tanya Salwa pada Habib saat mereka

duduk di ranjang.

Posisinya bahkan sudah tidak ragu lagi

untuk berdekatan, Salwa duduk di depan

sementara Habib menjadi sandarannya.

Perut besar wanita itu bahkan sama sekali

tidak menjadi halangan untuk Habib tetap

memeluknya dari belakang.

Terlihat begitu mesra, dan Salwa menikmati setiap elusan lembut di perutnya dari lelaki itu.

Dada bidang Habib menjadi sandaran Salwa, pipinya sedikit merasa geli ketika Habib menggesekkan dagu brewoknya.

"Mana mungkin Rumi minta cerai, dia juga

sedang mengandung. Mas tahu, dia hanya

sedang terguncang saja. Lambat laun, dia

juga akan menerima semua ini."

"Tapi aku kenal dia seperti apa. Mbak Rumi sangat tidak suka saat miliknya di rebut.

Meski awalnya ikhlas, dia tetap tidak akan

bisa mengikhlaskannya begitu saja, apa lagi

sampai berbagi." Ujar Salwa.

Elusan di perutnya semakin terasa,

membuat Salwa terpejam menahan geli.

"Mas tahu ini sulit, tapi tidak ada yang

tidak mungkin. Lagi pula ini sudah menjadi

konsekuensi atas permintaannya." Sahut Habib.

"Tapi dia akan sangat membenciku, itu

juga yang terjadi saat aku merebut mas

Umar darinya," keluh Salwa mengerucutkan bibir.

Habib mengecup pipinya tanpa rasa ragu,

Kebencian yang pernah dia sematkan

untuk wanita itu pun kini pergi entah

ke mana.

Seakan logika dan pikirannya di kuasai cinta, Habib sampai tidak sadar atas apa yang dia lakukan saat ini.

Mendengar cerita Salwa mengenai

bagaimana rasanya jadi Salwa selama ini,

membuat Habib sedikit tersentuh. Miris, kasihan juga begitu memprihatinkan.

Seumur hidupnya, dia tidak pernah

merasakan cinta dari lelaki manapun.

Bahkan ketika impian pernikahan yang

bahagia akan terwujud setelah dia

menikah dengan Umar juga sama sekali

tidak terwujud.

Membuat Habib merasa bersalah, menganggap bahwa dirinya tidak ada bedanya dengan Umar.

"Jangan berkata seperti itu, Rumi pasti akan

memaafkanmu. Ini hanya sementara, percayalah," ucap Habib lagi.

"Berjanjilah padaku, bahwa Mas Habib akan

selalu bersamaku apa pun yang terjadi." Pinta Salwa pula mengeluarkan jari kelingkingnya.

Ingat, janji adalah sesuatu yang sifatnya

mengikat. Seorang muslim yang sudah

mengucap janji tidak boleh

mengingkarinya atau akan menjadi dosa

besar.

Dan Habib lebih memilih jalan kedua, mempertaruhkan lidahnya untuk mengucap janji dari pada mengatakan 'InsyaAllah'.

"Pak, baby Rizky muntah-muntah. Panasnya juga tidak mau turun, bagaimana ini?" Tanya Mira setelah menunggu cukup lama agar Habib dan Salwa berhenti bicara.

"Sudah kamu kasih obat?" Tanya Habib.

"Muntah Pak, tidak ada yang bisa masuk.

Apa tidak sebaiknya di bawa ke rumah

sakit?"Habib tampak berpikir.

Mira merasa geram, seharusnya Habib sigap dan langsung membawa Rizky ke rumah sakit

atau klinik, bukannya bertanya pada Salwa

harus bagaimana. Dia ayahnya, seharusnya

dia yang ambil tindakan.

"Pak! Ayo bawa Rizky ke rumah sakit!" Desak Mira yang sudah tidak tahan menggendong Rizky yang semakin rewel.

"Tapi ini sudah malam, kenapa tidak besok

saja?" Ucap Habib yang semakin membuat Mira geram.

"Pak! Rizky demam tinggi, kalau terjadi

sesuatu yang buruk padanya, bu Rumi

mungkin tidak akan memaafkan Bapak!" Mira sudah tidak tahan, sejak tadi Habib

hanya bersantai bersama Salwa, tidak melakukan apa pun bahkan ketika Rizky

menangis dia hanya berusaha menenangkannya dari luar box.

Padahal Mira sedang sholat kala itu, seharusnya Habib lebih sigap bukan

klemar-klemer begini.

"Ya sudah, ayo!"

***

Rumi membalik posisi tidur berulang kali, miring ke kanan, miring ke kiri, telentang,

bahkan sampai hampir tengkurap pun

sudah.

Tapi tetap tidak bisa tidur, hanya bisa duduk sambil bersandar pada bantal dengan mata terbuka.

Perasaannya ada yang mengganjal, seperti

ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan

membuatnya tetap terjaga sampai jam

sebelas malam.

Hampir tengah malam, dan Rumi belum bisa tidur? Astaghfirullah, seharusnya Rumi sudah nyenyak di alam mimpi sejak dua jam yang lalu.

Tapi entah kenapa pikirannya selalu

mengarah pada Rizky, kata-kata Azka tadi

siang membuat Rumi semakin kepikiran saja.

"Dede Rizky demam tinggi sejak kemarin

malam, Ammah. Dia tidak mau makan,

kasihan sekali. Azka sampai harus

begadang untuk membantu mbak Mira

menjaganya," ucap bocah itu saat Rumi hampiri di meja makan.

"Benarkah? Memangnya ammun Habib

ke mana?" Tanya Rumi.

"Ammun Habib ada, tapi dia ketiduran.

Kata mbak Mira kelelahan setelah bekerja." Batin Rumi langsung terenyuh melihat seperti

apa Habib sekarang.

Kenapa dia begitu lalai? Seharusnya dia ada untuk Rizky, itu juga anaknya. Ya, Allah!

"Azka tidak tidur karena menjaga dede Rizky? Apa tidak mengantuk di sekolah?" Azka menggeleng polos.

Dia baru saja menghabiskan suapan terakhir dari makan siangnya. "Dulu Azka juga sering begadang untuk membantu bunda mengurus Ayah. Kadang ayah ingin pergi ke kamar mandi, tapi tidak kuat berjalan, jadi Azka yang

membantunya." Tutur Azka.

"Bunda yang mengajari Azka?" Tanya Rumi.

"Iya. Bunda bilang, Azka harus jadi anak

yang kuat, biar bisa membantu ayah dan

bunda. Nanti kalau Ammah perlu bantuan, panggil Azka saja!" Salut dengan bagaimana cara mbak Anisa dan bang Fahri mendidik Azka.

Dia benar-benar tumbuh menjadi anak lelaki

yang kuat, bahkan dia jauh lebih kuat

dari Rumi.

Untuk sekarang hanya dia sumber kekuatan Rumi, mengingat ada darah bang Fahri yang

mengalir di tubuhnya, membuat Rumi yakin

bahwa dia akan tumbuh sama seperti

ayahnya.

Siapa pun yang menjadi istrinya nanti, pasti akan sangat bangga punya suami seperti Azka. Ah, khayalan Rumi ketinggian!

"Mbok? Mbok, sudah tidur, ya?" Tanya Rumi

mengetuk pelan pintu kamar si mbok yang

letaknya di sebelah dapur.

Kecemasan Rumi terhadap Rizky membuatnya nekat turun ke bawah dan membangunkan si mbok.

Niat hati ingin meminjam ponselnya untuk menelepon Mira, tapi sepertinya dia sudah tidur pulas, Rumi pun mengambil ponsel itu diam-diam dari kamarnya.

Maaf Mbok, aku meminjamnya sebentar,

nanti kuganti pulsanya kalau sudah dapat

uang dari Habib, cicit Rumi membatin.

Feeling seorang ibu itu selalu kuat, begitu

kata orang-orang. Dan Rumi hanya ingin

membuktikan feelingnya saja.

Semoga saja salah, tapi jika memang benar Rizky sakit, Rumi akan langsung menyusulnya.

Tidak ada jawaban. "Ke mana Mira? Kenapa

handphone-nya di tinggal?" Gumam Rumi

sendirian di depan kamar si mbok.

Beberapa kali menghubungi, akhirnya ada

juga jawaban. Perasaan Rumi sedikit bahagia

mendengar tombol hijau yang di tekan di

ujung panggilan.

"Halo, Assalamualaikum, Mir. Ini saya, Rumi."

'Wa'alaikumsalam, Bu. Ada apa?'

"Rizky, bagaimana dia? Apa demamnya

sudah turun?" Tanya Rumi.

Mira terdiam cukup lama, seperti memikirkan sesuatu dan membuat Rumi sekali lagi memastikan bahwa sambungan telepon terhubung.

Ah, angka di layar saja berjalan, itu artinya sambungan telepon mereka tidak terputus.

'Anu, Bu. Baby Rizky demamnya tidak

turun sejak tadi pagi, sekarang baru di

bawa ke rumah sakit. Keadaannya

memburuk, bahkan dia belum makan sejak

pagi. Selalu muntah-muntah." Jawab Mira setelah terdiam cukup lama.

"Astaghfirullah, kenapa baru di bawa ke

rumah sakit? Ke mana Habib?" Tanya Rumi lagi.

'Pak Habib bilang demamnya akan segera

turun, tapi saya khawatir. Jadi saya desak

pak Habib untuk membawa baby Rizky ke

rumah sakit. Tapi baru sekarang, itu pun

karena saya paksa.' Jawab mira dengan jujur.

Rumi mendengus kesal, benar-benar

keterlaluan dia. "Saya ke sana sekarang!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel