Membentak
Habib pulang dalam keadaan marah, dia
tidak senang melihat keberadaan lelaki
dari masa lalu istrinya kembali datang ke
kehidupan mereka.
Bahkan satu kenyataan pahit membuat dia membanting barang secara asal, mereka bermalam dalam satu atap yang sama.
Habib hampir ingin menyerah, mengikhlaskan semuanya kembali pada jalan yang seharusnya.
Tapi dia lupa, pengorbanannya selama ini sudah terlalu jauh sampai hampir menguras habis waktu dan tenaga, tidak mungkin dia
mengikhlaskan istrinya begitu saja.
Salwa melihat Habib yang baru pulang
dengan keadaan basah kuyup, sepertinya
dia tidak menggunakan payung saat ke luar dari mobil menuju pintu rumahnya.
Buru-buru Salwa menghampiri suaminya dan
memberikan handuk kering.
"Bagaimana? Apa mbak Rumi sudah ketemu?" Tanya Salwa dengan raut wajah cemas.
Habib tidak menjawab, dia hanya meringis
menahan tangis yang hampir pecah.
Melihat orang yang dia maksud tidak ikut
datang bersama Habib, Salwa pun
akhirnya tahu sendiri jawaban dari
pertanyaannya.
Dia berusaha mengeringkan tubuh Habib
dan mengelapi rambutnya yang basah
menggunakan handuk kering.
Habib tak kuasa menahan diri, dia bahkan tidak ragu untuk menangis di pelukan Salwa kala mengingat kejadian tadi.
Salwa juga dengan siap menyambut Habib
dalam pelukannya, tinggi badan mereka
yang tidak terlalu jauh membuat Salwa
bisa dengan mudah mengelus kepala lelaki
bertubuh gagah itu.
Dia bahkan memainkan rambut Habib sambil di gosok handuk.
"Kita masuk, yuk! Aku akan siapkan teh
untuk Mas Habib," ajak Salwa.
Tanpa perlawanan, Habib pun menurut.
Sementara itu, Arumi yang baru saja
kehilangan rasa sakit hanya terdiam di
tempat tidur sambil menerima elusan
pelan dari si mbok di perutnya.
Katanya Arumi kontraksi, tapi sudah tidak apa-apa karena sudah di urut.
Sebenarnya Rumi belum pernah mengurut
perut, tapi si mbok juga bukan orang
sembarangan.
Dia sudah biasa menghadapi situasi seperti ini, jadi dia pasti paham apa yang terjadi pada Rumi.
Rumi menyandarkan kepala di bantal yang
terselip di punggung, rasanya seperti
mimpi ia bisa pisah rumah seperti ini
dengan Habib.
Malangnya, dia harus bertemu Umar di saat yang tidak tepat pula.
Apa yang ada di pikirannya? Apa yang
kira-kira dia pikirkan tentangku dan
Umar? Seketika perasaan menyesal
meremang di benak Rumi, seperti ada sebuah dosa yang sudah ia lakukan dan membuat Habib kecewa.
"Mbok, ini tehnya." Ujar Umar dari luar
pintu kamar, dia sama sekali tidak berani
masuk karena tahu bahwa Rumi bukan
mahramnya.
Tak peduli di kamar ada si mbok atau
tidak, yang jelas Umar tidak akan mau
berada dalam satu ruangan bersama Rumi.
Malam yang dingin ini semakin
menjadi-jadi, hanya segelas teh saja yang
bisa menghangatkan tenggorokan.
"Istirahat ya, Bu. Besok kalau masih sakit
perutnya, Mbok panggilkan dokter." Ujar si
mbok setelah menutupi seluruh tubuh Rumi
dengan selimut.
Entah kapan Arumi tertidur, saking sedihnya
hati sampai tidak sadar bahwa Rumi bangun
di jam sembilan pagi.
Kamarnya sudah di penuhi sarapan, bahkan makanan yang tidak pernah si mbok buat juga ada di meja samping tempat tidur.
Sandwich? Si mbok tidak bisa membuat
sandwich, dia hanya orang tua yang ahli
dalam memasak masakan yang berempah.
Jarang-jarang si mbok membuat makanan
ini, atau mungkin dia sudah pandai
mengolah roti isi?
"Umar mana, Mbok?" Tanya Rumi saat turun ke bawah.
"Oh, mas Umar sudah pulang sejak subuh
tadi pagi. Saat hujan reda, dia langsung
berangkat."
"Tidak mau berpamitan dulu padaku?"
Tanya Rumi Penasaran.
"Katanya dia tidak mau mengganggu Bu Rumi tidur. Kasihan, Ibu sepertinya kelelahan. Mas Umar sempat bertanya sebenarnya
ada apa antara Bu Rumi dan pak Habib, tapi
saya tidak menjawab apa-apa." Syukurlah, si mbok tidak menceritakan
apa pun pada Umar.
Karena Rumi tidak mau kalau sampai Umar tahu dan itu akan membuatnya kembali berharap pada Rumi.
Bukannya Rumi suudzon, tapi selama satu
tahun tidak bertemu, dia benar-benar
tidak saling bertukar kabar.
Bahkan sampai detik ini Rumi masih
penasaran, apakah dia masih mencintai Rumi
atau tidak.
Jika iya, Rumi tidak boleh sampai memberinya harapan lagi. Itu hanya akan
berujung sakit hati bagi semua orang,
bukan?
"Ngomong-ngomong, siapa yang membuat
sandwich di kamarku?" Tanya Rumi pula.
"Itu dari mas Umar, bagaimana rasanya?
Enak?" Jawab sekaligus tanya si Mbok.
"Ah, enak." Hanya itu yang bisa Rumi katakan.
Terlepas dari semua masa lalu mereka dan
kejadian tadi malam, sandwich buatannya
sama sekali tidak bersalah.
Memang enak, dan Rumi mampu memakannya sampai habis.
Pembicaraan dua orang itu terganggu saat ada suara ketukan pintu dari depan.
Arumi tidak tahu siapa, tapi dia hanya berniat untuk menyambut kedatangannya, sementara si mbok sibuk mencuci piring kotor.
Seulas senyum yang baru saja hendak
terbit, kini kembali memudar saat melihat
siapa tamu yang datang.
Buru-buru Rumi tutup kembali pintu yang baru terbuka setengah, tapi tamu itu menghalangi
gerakan Rumi dengan tangannya.
"Kita perlu bicara," ujarnya.
"Apa lagi yang mau kita bicarakan? Aku
rasa kita tidak perlu bicara lagi selamanya."
Tukas Rumi kembali menutup pintu.
Sekuat apa pun Rumi berusaha, tapi wanita
berhijab di hadapannya ini tidak
membiarkan Rumi melakukannya.
Dia tetap menahan pintu, bahkan mendorongnya agar terbuka lebar sampai Rumi kewalahan menahan.
Salwa tidak memberi Rumi pilihan lain, selain
membiarkan pintu terbuka.
Melirik ke kiri, terdapat mobil yang biasa Habib gunakan, di kursi kemudi ada dia yang masih duduk sendirian.
Kenapa jadi dia yang marah? Padahal seharusnya Rumi yang marah.
"Mau bicara apa?" Tanya Rumi.
"Rizky, dia demam. Aku tidak bisa
menghubungi mbak Rumi karena
handphone-mu di tinggal di rumah. Hanya
kamu yang bisa menenangkan Rizky, Mbak.
Kasihan dia, sejak semalam rewel terus.
Kasihan mas Habib, dia tidak bisa
mengurus Rizky sendirian." Jujur, Rumi juga tidak tenang meninggalkan
Rizky.
Tapi untuk kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini, tentu akan membuatnya semakin tersiksa batin.
Salwa memaksa Rumi untuk pulang, tapi Rumi menolak.
"Lebih baik kamu pulang, bawa suamimu dan jangan pernah temui aku lagi!" Ucap Rumi
mengusirnya.
Masih terasa bagaimana rasa sakitnya
ketika mendengar pengakuan Habib, rasanya seperti hujan anak panah yang
menghujam seluruh punggung hingga
hanya menyisakan tetesan darah yang
mengalir deras.
"Mbak, kamu tidak boleh egois! Rizky
membutuhkanmu!" Ucap Salwa.
"Apa kamu bilang? Egois? Aku egois?"
Tanya Rumi menunjuk dada.
"Dengarkan aku baik-baik, yang egois itu kamu! Kamu telah merebut semua cinta yang kupunya. Abi dan Umi, calon mertua, Umar, dan bahkan sekarang Habib juga kamu rebut!
Lalu siapa yang egois? Aku?!" Balas Rumi.
"Mbak, ini bukan masalah cinta tapi—"
"Salwa! Kurang baik apa aku selama ini
padamu? Apa aku punya dosa yang sama
sekali tidak kusadari sampai kamu tega
berbuat seperti ini pada kakakmu sendiri?
Aku sadar, aku bukan anak kandung Abi
dan Umi, tapi aku kakakmu. Aku sayang padamu, tapi kenapa kamu berbuat seperti
ini padaku? Kenapa?!" Arumi tidak tahan,
frustasi akan semua hal buruk yang terjadi
dalam hidupnya sampai mengeluarkan
suara yang begitu lantang.
Teriakan itu juga di iringi dengan gerakan
tangan yang memukul-mukul kepala.
Arumi Benar-benar frustasi, hilang akal sampai
tidak bisa mengendalikan diri.
Salwa berusaha menghentikan tangan Rumi, tapi dia tanpa sengaja terdorong sampai jatuh ke teras.
Habib buru-buru ke luar dari mobil dan
membantu Salwa. Lihatlah betapa
khawatirnya wajah lelaki itu, bahkan jauh
lebih khawatir dari pada saat Arumi kesakitan
tadi malam.
"Arumi! Kamu keterlaluan!" Bentak Habib
untuk pertama kalinya. Dada Rumi berdesir hebat.