Memaksa pulang
Hujan masih terus mengguyur, malam yang semakin larut dan hawa dingin yang menusuk tulang rupanya tak bisa membuat Arumi tidur.
Padahal mata sudah bengkak, dengan sedikit lingkaran hitam di bawahnya, tapi semua masalah yang terjadi sekarang membuat Arumi benar-benar tidak bisa tertidur dengan
nyenyak.
Arumi berdiri termenung di depan jendela
kamar yang tertutup, menatap ke luar dan
memperhatikan rintik hujan yang jatuh.
Sampai detik ini Umar masih menginap di
rumahnya, karena hujan deras di luar sana
membuatnya terjebak.
Mobil? Dia belum punya mobil, kendaraan yang biasa dia gunakan hanyalah taksi atau ojek online saja.
Arumi membiarkan Umar tidur di kamar tamu lantai bawah, sementara Arumi di kamar utama lantai atas.
Sampai detik ini Arumi juga masih
belum mendengar telepon dari rumah,
baik itu dari Mira, Habib atau siapa pun.
Ponsel memang sengaja Arumi tinggalkan di
rumah, jadi sangat tidak mungkin kalau
mereka bisa menghubunginya.
Namun kemungkinan itu terbantah saat Arumi
melihat mobil Habib datang ke halaman
depan, dengan sorot lampu yang begitu
terang.
"Mas Habib?" Buru-buru Arumi turun ke bawah, memastikan bahwa itu benar-benar Habib atau bukan.
Sampai saat Arumi bertemu si mbok, barulah ia paham kenapa Habib bisa sampai ke sini.
Pastinya lelaki itu menghubungi si mbok, dan dia yang sudah memberitahu keberadaanya pada Habib.
"Maaf, Bu. Saya ndak tega dengar pak
Habib nangis di telepon. Katanya beliau
khawatir sama Bu Rumi." Ujarnya dengan
wajah penuh penyesalan.
Belum sempat Arumi membalas
perkataannya, Habib sudah membuka
pintu dengan kasar.
Menimbulkan efek bantingan hingga menggetarkan kaca rumah.
Pandangan mereka bertemu, Arumi yang berdiri di ruang tamu bisa melihat dengan jelas sosok lelaki berjambang yang
berdiri di ambang pintu itu.
Tanpa aba-aba, Habib langsung masuk dan
memeluk Rumi.
Tubuhnya sedikit lembab karena terkena air hujan di luar, saat berjalan dari mobil ke pintu.
Arumi hanya membiarkannya memeluk sebentar, setelah itu Arumi melepaskan dengan paksa dan mendorong tubuh Habib agar menjauh.
"Tidak usah peluk-peluk! Aku bahkan
merasa jijik di peluk olehmu setelah apa
yang kamu lakukan, Mas!" Decih Arumi.
"Jangan bicara seperti itu, Rumi. Mas mohon,
pulanglah! Rizky dan Azka butuh kamu,
mereka mencarimu sejak tadi siang!"
"Suruh mereka bersabar, esok pagi akan
kujemput untuk tinggal di sini," balas Arumi
pula.
Dahi Habib mengerut pertanda bingung,
suara gemuruh di luar sana bahkan tidak
bisa membuatnya terkejut karena terlalu
serius bicara dengan Arumi.
Matanya mengeluarkan setetes air asin, entah itu hanya gimik atau memang dia tidak mau Arumi pergi.
"Kenapa harus tinggal di sini? Kenapa kamu
tidak pulang saja ke rumah? Mereka
menunggumu di sana," tanya Habib lagi
dengan suara gemetar.
"Apa kamu bilang? Pulang? Untuk apa?
Untuk melihat kemesraanmu dan Salwa?"
Arumi tertawa hambar.
"Aku heran padamu, Mas. Setelah setengah tahun lebih kita menikah, kamu masih sabar
menghadapiku dan berusaha meyakinkan
agar aku bisa membalas cintamu. Dan dari
setengah tahun itu kamu membenci Salwa
sampai titik tertinggi kebencian yang
kamu punya. Tapi kenapa setelah tiga
bulan kamu menikah dengannya, cinta itu
tumbuh dengan begitu mudah?!" Arumi menggeleng tak mengerti dengan jalan
pikiran Habib.
"Ternyata kamu memang mudah jatuh cinta, ya? Pantas saja, kamu langsung menerima perjodohan kita hanya dengan melihat fotoku. Karena memang pada dasarnya kamu mudah jatuh cinta pada sembarang wanita!" Hardik Arumi lagi sambil menunjuk wajah Habib.
Untuk pertama kalinya Arumi berani
menunjuk wajah tegas lelaki ini. Habib
hanya menutup wajahnya, menyesali
perbuatan yang jika memang dia masih
punya rasa malu.
Andai saja abi dan umi masih hidup, mungkin Arumi tidak akan serapuh ini karena ada mereka yang menopangnya.
Tapi apalah daya Arumi? Arumi hanya wanita
biasa yang tidak punya kekuatan spesial
apa pun. Bahkan marah-marah seperti ini
saja sudah membuat perutnya terasa sesak
sampai tidak sanggup berdiri.
Habib berusaha menjaga keseimbangan Arumi dengan memegang lengan, tapi Arumi
menepisnya dengan kasar lalu menatapnya
sinis.
"Rumi, maafkan, Mas. Tapi kamu harus
pulang, Rizky masih butuh kamu!"
"Ada Mira, aku yakin dia bisa mengurus
Rizky dan Azka malam ini." Sahut Rumi dengan cepat.
"Rumi—"
"Mas! Tolong!" Bibir Arumi gemetar, mata
merah berkaca-kaca dengan perasaan
yang sudah tak karuan rasanya.
"Aku ingin sendiri, menenangkan diri tanpa
melihatmu atau Salwa. Semakin sering aku
melihat kalian, semakin sakit hatiku!"
Si mbok kelihatan ingin membantu Rumi, tapi
dia tidak berani ke luar dan hanya
bersembunyi di balik tiang.
Pasalnya Arumi sudah tidak kuat berdiri, perutnya keram, sampai-sampai hampir oleng dengan pandangan yang kabur.
Habib tidak tahu itu, dia justru memaksa Rumi
ikut pulang bersamanya dengan menarik
lengan kanan.
Arumi sudah berusaha menolaknya, tapi tenaga yang lebih besar darinya tidak bisa kulawan.
Ditambah lagi perut yang semakin keram, membuat Arumi semakin lemah dan lemas.
"Mas, aku tidak mau!"
"Ayo, Rumi. Kita pulang, ini semua bisa
dibicarakan baik-baik. Yakinlah!" Ucapnya.
"Tidak, Mas. Aku ingin sendirian di sini, aku
mohon berikan aku waktu untuk sendiri.
Aku …"
Ah, rasa keramnya membuat Rumi bahkan
tidak sanggup bicara. Sampai Arumi
menyenggol gucci hias yang ada di dekat
pintu hingga jatuh.
Bunyi yang di timbulkan membuat Umar terbangun dan ke luar mencari Rumi.
Habib tidak melihatnya sampai lelaki itu
meneriaki nama Arumi. Lagi-lagi si mbok yang
menyuruh-nyuruh Umar untuk segera
menolong Rumi agar lepas dari cengkraman
Habib, membuat lelaki yang masih
memegang lengan Rumi ini tertegun diam.
"Lepaskan dia!" Ujar Umar menarik tangan
Habib dari Rumi.
"Kamu disini?" Tanyanya.
"Dengar, aku tidak tahu masalah kalian
apa, tapi jika Rumi tidak mau ikut pulang
bersamamu, tolong jangan memaksanya!" Ucap Umar tanpa menjawab pertanyaan
Habib.
Mata Habib menatap Rumi dan Umar secara
bergantian, menghadirkan teori-teori aneh
di kepalanya sampai pandangan sendu itu
berubah menjadi curiga, menelisik dan
juga mengernyitkan dahi.
Dia berpikir, bahwa diamnya Arumi di rumah ini karena ingin berduaan dengan Umar.
"Oh, jadi ini alasannya. Bagus, kalian
memang cocok!" Ujarnya lalu pergi begitu
saja menuju mobil.
Tubuh Rumi jatuh ke bawah dengan posisi
tengkurap, Umar tidak berani
menyentuh Rumi karena dia tahu mereka bukan mahram.
Maka si mbok lah yang buru-buru
datang membantu. Habib sempat terdiam
di dalam mobil, menyeka air mata saat
melihat ke luar jendela dengan posisi Rumi
yang sudah lemas.
Umar ikut menatap mobil Habib yang
perlahan ke luar halaman, ada kekesalan
yang di pendam lelaki itu sampai
tangannya mengepal kuat.
Arumi tidak tahu apa yang Habib pikirkan, buruk atau baik yang jelas Arumi sudah tidak peduli lagi.
"Bu, ayo masuk dulu! Kita istirahat di
dalam. Itu pasti perutnya keram!" Ujar si
mbok membantu Rumi berdiri.
"Argh! Mas Habib!" Rintih Rumi masih menyebut namanya.
Umar tertegun, membiarkan Rumi dan si
mbok masuk ke rumah sementara dia
masih berdiri di luar.
Terlintas lah sebuah kenangan yang dulu pernah terjadi antara dirinya dan Salwa, masa pertengahan pernikahan mereka.
Ini serasa deja vu baginya, dan Umar mulai berpikir jika inilah yang Rumi rasakan saat itu.