Terluka Tapi tak berdarah
Terluka, tapi tak berdarah. Sepertinya itu
ungkapan yang tepat untukku saat ini.
Apa yang kurasakan dua tahun lalu kembali
terjadi. Iya, cinta dan luka itu satu paket.
Jangan coba-coba jatuh cinta jika kamu
tidak ingin terluka.
Tapi aku tidak pernah menduga aku akan
tetap mengalami luka yang sama setelah
apa yang kulewati selama ini.
Apa masih belum cukup rasa sakit yang kurasa? Apa masih kurang penderitaan yang kualami? Harus berapa banyak lagi luka yang
kudapat untuk bisa menjalani hidup yang
bahagia?
Habib secara terang-terangan mengakui
cintanya di hadapanku dan Salwa. Dia
bahkan menuduhku selingkuh dengan
Faisal, ayah Umar yang sebenarnya adalah
tetangga kami sendiri.
Dengan fakta yang sama sekali tidak sesuai itu, membuatku benar-benar di pojokkan.
Sakit, sakit sekali. Aku bahkan tidak bisa
menggambarkan bagaimana sakitnya hati
ini setelah kepercayaanku di hancurkan.
Tak peduli dengan semua hal, aku hanya
ingin pergi menenangkan diri jauh dari
mereka semua.
Langkah kaki gontai membawaku ke
sebuah jalan di perumahan. Ini adalah
rumah pertama kami setelah pindah ke
Bandung, letaknya tak jauh dari rumah bang
Fahri, dan untuk pertama kalinya setelah
sekian lama aku kembali menginjakkan
kaki di jalan ini lagi.
Tidak bersama Habib, tidak bersama Mira
atau Azka. Aku sendirian, membawa
sebuah kunci rumah sambil berjalan
tertunduk ke aspal dengan derai air mata.
Cuaca mendung saat itu seakan tahu
kondisiku, langit ikut menangis seketika
saat aku berjalan di bawahnya.
Perut buncit ini menemaniku berjalan,
hingga beberapa meter lagi sampai di
depan gerbang, aku pun mendongak.
Rintik hujan pagi itu membuatku sedikit
menyipitkan mata saat melihat lurus ke
depan. Tunggu, apakah aku salah lihat? Itu
Umar?
Seorang lelaki berdiri dengan
menggunakan celana jeans dan juga baju
kemeja lengan pendek, dia berdiri
menatapku, memegang sebuah payung
tembus pandang untuk melindungi dirinya
dari derasnya hujan.
Aku tertegun kaget, itu benar-benar Umar.
Umar Azwar, seorang anak
pemilik pesantren Husnul Khotimah di
Bandung.
Lelaki yang pergi ke luar negeri satu
tahun yang lalu dan sekarang ... dia ada di
depanku?
Antara percaya dan tidak, aku masih
memastikan jika aku tidak salah lihat. Tapi
itu benar-benar Umar, dia bahkan berjalan
mendekatiku sambil memanggil nama
"Arumi"
Air mata yang sudah bercampur dengan air
hujan terlihat tidak meninggalkan jejak
sama sekali di pipiku.
Hingga rasa pusing mendera, pandangan perlahan kabur dan kegelapan pun mulai memenuhi seluruh pandanganku.
"Rumi!" Teriakan itu terdengar samar di telingaku, sampai aku tidak sadarkan diri aku masih mendengar suaranya masuk ke rongga
pendengaran.
Saat tersadar aku sudah berada di rumah, berbaring di sebuah sofa berbahan kulit dengan handuk yang menutupi tubuhku.
"Hei, pelan-pelan. Mau aku bantu?" Tanya
Umar menawari bantuan saat aku hendak
duduk.
Cepat aku menggeleng, berusaha bangun
sendiri tanpa bantuannya. Masih dalam
keadaan bingung, aku melihat sekitar dan
menyadari rumah siapa yang kusinggahi.
Ini rumahku dan Habib, rumah yang sudah
berbulan-bulan kami tinggalkan untuk
pindah ke rumah bang Fahri bersama Azka
di sana.
Dan lelaki yang duduk jauh dariku, dialah
Umar. Rasanya masih tidak percaya,
melihat dia dengan wujud yang tak pernah
berubah ada di hadapanku sekarang.
Umar ... cinta pertamaku.
"Minum dulu tehnya, hangatkan dirimu."
Titah Umar sambil tertunduk.
Tidak ada hal yang kami lakukan selain
saling berdiam diri untuk beberapa saat,
Aku sendiri hanya bisa menundukkan
kepala sambil mengingat apa yang
menyebabkan aku bisa sampai di rumah
ini.
Aku pun tertawa kala mengingatnya,
Habib dan Salwa. Pengkhianat itu!
"Maaf, aku terpaksa menggendongmu
masuk ke rumah ini tanpa izin. Aku
benar-benar menyesal, tapi kamu tenang
saja. Aku tidak melakukan apa pun selain
menggendongmu dan memberi handuk
itu." Umar membuka pembicaraan dengan
raut wajah yang tampak menyesal.
"Terima kasih, setidaknya kamu telah
menolongku."
"Kalau begitu, aku permisi." Suara gemuruh
besar datang menyahuti ucapan Umar dan
membuatnya langsung kembali duduk di
tempat.
Hujan semakin deras, seolah menyuruh
Umar untuk tetap berada di rumah ini.
Kilat dan petir pun membuat listrik
seketika mati, membuat suasana rumah
sedikit remang. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak panik.
"Menginaplah dulu di sini, hujannya semakin lebat di luar sana," kataku.
"Tapi kita hanya berdua, aku takut jika
Habib—"
"Habib tidak akan tahu, lagi pula untuk
apa dia tahu? Aku sudah tidak penting lagi
baginya," ucapku menyela ucapannya
dengan sebuah senyum miris.
Umar kebingungan sendiri menanggapi
ucapanku, seperti ada hal yang ingin dia
cari tahu tapi entah bagaimana harus
memulainya.
Aku sendiri masih bingung, kenapa Umar bisa ada di Bandung? Padahal
dia di luar negeri, lalu ... itu artinya sosok yang Azka lihat selama ini benar. Umar memang ada di di kota ini.
Mungkin aku bisa menanyakan itu nanti, dan malam ini kami terpaksa bermalam di rumah yang sama karena hujan tidak kunjung berhenti.
Tenang saja, kami tidak hanya berdua disini. Ada seorang pembantu wanita berusia lanjut yang menjaga rumah ini setelah aku dan Habib pindah.
Listrik masih mati, tapi tidak dengan
lilinnya. Beberapa lilin menyala di ruang makan saat si mbok menyajikan makanan.
Aku masih diam, bengong memikirkan
nasib pernikahanku yang sudah tidak
karuan.
"Ada apa, Rumi? Apa ada masalah? Kamu bisa cerita kalau mau." Aku mendongak, menatap Umar dengan mata berkaca-kaca.
Mengenang bagaimana pedihnya pengkhianatan Habib dan Salwa yang terus-terusan menghantuiku.
"Aku ... aku baik-baik saja," jawabku
kemudian, tak mau berkata jujur karena
merasa ini adalah masalah pribadi yang
tidak seharusnya di bagikan pada orang
lain.
"Kamu tahu Rumi? Kita memang sudah
terpisah cukup lama, tapi aku masih belum
lupa bagaimana sifat dan watakmu. Jadi,
kalau ada masalah jangan ragu untuk
cerita. Aku sahabatmu, bukan begitu?"
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Sulitnya menahan tangis saat makan,
membuat mulutku tidak bisa mengunyah
dengan benar.
Tangan pun bergetar hebat, berusaha bersikap biasa tapi tidak bisa.
Rasanya begitu tertekan dengan keadaan,
di tambah lagi Umar yang terus memperhatikanku.
Dia ingin mencari tahu apa yang salah dengan wanita di hadapannya ini, tapi beruntungnya dia sama sekali tidak memaksaku untuk bercerita.
"Apa kamu tidak ingin tahu kenapa aku
bisa kembali ke sini?" Tanya Umar di
sela-sela makan, bersama si mbok juga di
sampingku.
"Kenapa?" Tanyaku pula.
"Ada bisnis yang mau kukembangkan, dan
temanku juga bekerja di bidang itu. Aku ke
ke sini karena ingin berbisnis dengannya.
Lagi pula di luar negeri tidak ada peluang
untukku berbisnis. Mungkin memang
bukan di sana rejekinya." Jawabnya.
"Kalau boleh tahu, bisnis apa itu?" Tanyaku.
"Investasi di bidang perhotelan. Aku sudah
hampir tiga bulan di sini, dan ... aku
juga sempat bertemu dengan Azka di
sekolah. Maaf, tapi waktu itu benar-benar
tidak sengaja." Ucapnya jujur.
"Iya, Azka juga pernah cerita. Tapi kamu
sepertinya sengaja menghindar, kenapa?" Tanyaku.
"Aku hanya tidak ingin kembali lagi ikut
campur dengan kehidupanmu, apa lagi
setelah mendengar apa yang terjadi pada
kedua mertuamu dalam kecelakaan
pesawat itu. Aku ... sungguh menyesal." Ucapnya.
"Ah, tak apa. Aku mengerti."
"Kalau boleh tahu, Mas ini siapa? Kok bisa
datang berdua sama Bu Arumi?" Tanya si mbok pula dengan logat jawa yang begitu kental.
"Saya sahabatnya Rumi, Mbok." Jawaban Umar membuatku terenyuh seketika.