8. Pengantin Baru
Review sedikit ya, di kisah sebelumnya Fani dan Munos hanya menikah siri.
****
Sore ini, angin berhembus sedikit kencang, tubuh lemah Munos yang memang sudah kedinginan, jadi merasa tambah menggigil. Kepalanya juga sangat berat. Padahal tadi sudah minum obat yang diberikan oleh bik Ina, namun rasanya belum ada perubahan. Sudah dua hari Munos merasa badan dan hatinya tidak enak, entah apa yang sebenarnya terjadi, dia juga tidak mengerti. Bersamaan dengan hari pernikahan Fani dan Tiyan.
"Bik," panggil Munos pada Bik Ina pagi itu, kondisi tubuhnya masih lemas, namun sudah bisa sarapan di meja makan.
"Ya, Tuan,"jawab Bik Ina segera menghampiri Munos di meja makan.
"Apa Bibik belum dapat kabar juga dari Fani Bik?" tanya Munos lemah.
"Mmm... b-belum, Tuan, Bibik ga pernah dengar kabar apapun dari Non Fani."ucap bik Ina lirih, dia pun merindukan nyonya mudanya.
"Semoga dia baik-baik saja ya Bik, saya khawatir, "ucap Munos lesu.
Sepertinya lelaki di depannya ini sudah benar-benar berubah dan menyesali semua perbuatannya. Ada rasa kasihan pada diri tuan mudanya, hampir sepuluh bulan kesana kemari mencari Fani, namun tak ada kabar, menanyakannya pada orangtuanya juga mereka menjawab tidak tahu. Selama delapan bulan juga Munos tidak pernah bertemu lagi dengan ibunya. Bu Sundari terkena serangan jantung setelah kepergian Fani, kondisinya terus menurun. Munos sangat khawatir pada ibunya, karena pada awalnya Munos termasuk anak mama, anak semata wayang yang sangat dimanja oleh Bu Sundari dan Pak Karim. Namun sebelum berhasil menemukan dan membawa Fani pada mamanya, maka Bu Sundari tak akan pernah mau menemui Munos anaknya.
Perasaannya pun terpukul, namun Bu Sundari ingin Munos sadar akan kesalahannya dan memberikan Munos pelajaran.
Beep!
Beep!
Ponsel Munos berdering di kamarnya, dengan lemah Munos berjalan masuk ke kamar dan mencari ponsel yang berdering.
Jojon memanggil
[hallo..gimana Jon?]
[Maaf Pak, saya baru dapat kabar dari teman saya katanya Bu Fani beberapa hari lalu melangsungkan pernikahan di rumahnya]
[Apaa? Kamu jangan bercanda, Jon. Kenapa baru ngabarin sekarang, bodoh!]
[Maaf Pak, saya terlambat mengetahuinya, karena saya baru saja keluar dari rumah sakit.]
[Saya ga mau tahu, kamu cari info selengkapnya soal ini, dan bawa Fani padaku, mengerti!]
[Maaf Pak, Bu Fani sudah tak di Bekasi lagi, ikut ke kampung suaminya.]
"Aaaaarrggghhh...!" Munos teriak sambil mengusap kasar rambutnya.
Darahnya mendidih mendengar kabar Fani sudah menikah lagi.
[Cari tahu dimana kampung suaminya, sekaraaang!]
Tuutt!
Sambungan telepon terputus, Munos memegang dadanya sakit.
****
"De, Mas berangkat dulu ya," pamit Tiyan pada Fani istrinya.
"Iya Mas, hati-hati di jalan, cepat pulang," ucap Fani sambil mencium punggung tangan suaminya dan memberikan senyuman serta kecupan di pipi Tiyan.
"Mmmm...apa Mas izin dulu saja hari ini yaa, kayaknya mau pacaran aja sama kamu De?" goda Tiyan yang tiba-tiba berhenti memakai jaketnya.
"Eehh...eehh, jangan. Mas, nanti Pade Warmo ngambek kalau Mas izin."
"Padahal aku masih mau pacaran lho De," ucap Tiyan sambil manyun.
"Pacarannya pulang kerja aja ya."Fani mengedipkan mata untuk suaminya.
"Cium dulu kalau gitu." Tiyan memajukan bibirnya.
Cuup
Fani mengecup pipi suaminya.
"Bukan yang itu sayaang, tapi yang ini." Tiyan memonyongkan bibirnya.
"Aaiihh...malu aahh Mas, semalamkan sudah." Fani tersipu malu, setelah menikah dua bulan, baru semalam menyambut ciuman bibir suaminya. Sebelumnya hanya pelukan dan ciuman di pipi. Beruntungnya Fani mendapatkan suami seperti Septiyan yang dengan sabar dan ikhlas mendampingi Fani, tanpa memaksa melakukan hubungan seks.
Cuupp
Tiyan gemas dan mencuri ciuman bibir istrinya. "Mas berangkat ya, De. Assalamualaikum," pamit Tiyan sambil mengerlingkan matanya pada Fani.
Semenjak menikah, Fani tidak diizinkan bekerja oleh Tiyan, Fani diikutkan kursus menjahit oleh Tiyan dan Fani menyukainya. Jadilah Fani sekarang di sini, sebuah lembaga kursus menjahit yang cukup terkenal di kota Malang. Waktu kursus hanya dua jam perhari, dari senin sampai jum'at. Fani senang menjalani aktifitasnya saat ini, Fani juga sangat menikmati perannya sebagai istri dari Tiyan, seorang kuli bangunan yang sangat mencintai dan menyayangi dirinya.
Sepulang kursus Fani mampir ke kosan lamanya untuk bertemu Ami, rasanya sudah sangat rindu, padahal baru dua bulan dia pindah dari situ.
"Jadi maksud kamu, kamu belum menunaikan kewajiban kamu sebagai istri, Fan? Serius?" Ami menatap tak percaya ucapan Fani, wanita di depannya ini hanya bisa mengangguk lemah.
"Dosa lho, Fan." Ami mengingatkan dengan raut wajah serius.
"Jangan sampai Mas Tiyan melampiaskannya pada wanita lain, iihh..amit-amit ya Allah, " ucap Ami sedikit khawatir.
"Astaghfirulloh, perkataanmu bikin aku takut, Mi," timpal Fani cemberut.
"Ya Allah Fani, kebutuhan seksual itu emang termasuk yang utama bagi seorang suami, kalau dia tidak dapat dari istrinya, maka jangan salahkan suamimu kalau dia mencari di luar." Kali ini Ami menegaskan setiap kalimatnya.
****
Kata-kata Ami tadi sore masih terngiang di telinga dan pikiran Fani. Seketika Fani menjadi sangat khawatir.
[Sayaaang, hari ini pulang jam berapa?]
Fani mengetik pesan untuk suaminya.
Lima belas menit berlalu, belum ada balasan.
[Ini sebentar lagi pulang sayang, sabar yaa]
Fani tersenyum lega membaca balasan pesan dari suaminya. Fani bergegas mandi dan memakai wangi-wangian, disisirnya rambut hitam panjangnya, dioleskannya lipgloss tipis di bibir seksinya. Setengah jam berlalu, suara motor vespa suaminya memasuki pekarangan rumah, Fani berlari membuka pintu rumah, menyambut suaminya dengan senyum merekah.
"Assalamualaikum,"ucap Tiyan pada istrinya yang sangat menggoda sore ini.
"MasyaAllah, bidadarikah yang sedang tersenyum padaku saat ini?" puji Tiyan menghampiri istrinya, lalu mengecup hangat kening istrinya. Fani memeluk Tiyan. Belum pernah seperti ini, ada apakah gerangan dengan istrinya.
"De, Mas masih bau batako lho ini,"ucap Tiyan sambil merenggangkan pelukannya, namun ditahan oleh Fani.
"Justru karena bau batako, Ade jadi pengen peluk Mas," gombal Fani.
"Wah, Mas baru tahu kalau ada bidadari pandai ngegombal, he he he ...," sahut Tiyan Tiyan sambil tertawa kecil. Lengan kekarnya, merangkul pundak sang istri, lalu membawa masuk.
"Mas mandi dulu ya, De. Lengket banget ini, mana bau semen pula."
Fani mengangguk. "Ya udah, Mas mandi saja. Ade siapkan makan malamnya, ya," ucap Fani pada suaminya.
Sehabis sholat magrib berjamaah, Tiyan memeluk Fani yang masih menggunakan mukena bewarna merah mudanya.
"Mas mau traktir kamu De, kita makan di luar yuk!" ajak Tiyan sambil berbisik pada Fani.
"Tapi masakannya sayang Mas, Ade sudah masak enak," jawab Fani.
"Masakan Ade dipanaskan saja, kita makan besok untuk sarapan, bagaimana?" usul Tiyan sambil tersenyum.
"Mau ndak?" kali ini hidung Tiyan menempel pada hidung Fani.
Fani mengangguk pasrah, sepulang dari luar nanti ia baru memanaskan sayur yang sudah ia masak.
Menikmati suasana malam kota Malang, adalah kesukaan Fani semenjak selalu diajak keliling oleh Tiyan. Menikmati setiap jajanan pinggir jalan yang banyak pengunjungnya. Tiyan mengarahkan motornya pada sebuah restoran mewah. Fani menautkan kedua alisnya, tak biasanya Tiyan mengajaknya ke tempat mahal seperti ini.
"Turun yuk, De!" ajak Tiyan saat telah memarkirkan motornya.
"Mas, kok ke sini?" Fani bertanya keheranan.
"Kata Pade Warmo restoran di sini makanannya enak, harganya terjangkau, jadi Mas penasaran," jelas Tiyan.
"Oh begitu." Fani mengangguk Faham.
Mereka masuk disambut senyuman dari pelayan restoran mewah tersebut.
"Kita duduk di sini, De."Tiyan menarik lembut lengan istrinya, untuk duduk di kursi yang telah tertulis reservasi. Fani menurut.
Setelah memesan beberapa makanan, Tiyan dan Fani mengobrol ringan sambil menunggu makanan datang. Banyak hal yang menjadi topik pembicaraan mereka, Tiyan paling suka memperhatikan bibir istrinya saat menjelaskan sesuatu. Sehingga meskipun harus mendengarkan cerita sang istri ber jam-jam, tak masalah baginya. Asal bisa memperhatikan bibir sang istri naik - turun, manyang-monyong ndak jelas. Ha ha ha...
"Bener Mas, masakannya enak," puji Fani ditengah kunyahannya.
"Kamu suka, De?" tanya Tiyan serius.
" Suka banget sayang, terimakasih suamiku," ucap Fani tulus dan memberikan kecupan jauh untuk suaminya, lalu melanjutkan menghabiskan hidangan yang dipesan.
Pelayan restoran datang dengan membawa nampan mewah berisi cake ulang tahun. Fani tercengang keheranan.
"Selamat ulang tahun istriku sayang ke 30 tahun."
Tulisan diatas cake tersebut. Fani menatap berbinar ke arah suaminya.
"Selamat ulang tahun sayangku, istriku, belahan jiwaku, calon ibu anak-anakku, bidadari surgaku,"ucap Tiyan dengan semangat.
Fani terharu, air matanya menetes, bahkan dia sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ternyata suaminya mengingatnya dan membuat kejutan kecil ini.
Fani yang duduk di samping Tiyan, langsung memeluk suaminya dengan erat. "Terimakasih banyak suamiku sayang, cintaku, surgaku," Fani mengecup pipi suaminya.
"Maaf Mas ga bisa siapin yang mewah untukmu, De."
"Ya Allah Mas, segini aja Ade udah seneng banget." Fani takjub.
"Ini De, kadonya." Tiyan menyerahkan kotak berbungkus kertas kado.
" Ya ampun Mas, makasih sayang."Fani menerima kotak kado tersebut, dan mengecup kembali pipi suaminya. Tiyan tersenyum puas melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah istrinya. Dalam hati ia berharap semoga kebahagiaan selalu ada dalam rumah tangga mereka.
"Buka, De!"pinta Tiyan.
Dengan tak sabar Fani membuka bungkusan kado itu, sebuah kotak berukuran sedang, senyum di wajah Fani tak hentinya mengembang. Di dalam kotak berukuran sedang ada kotak kecil lagi, Fani membukanya. Mata Fani terperanjat, saat membukanya.
"Maass...ini." Fani memeluk kembali suaminya.
"Maaf De, Mas ga bisa kasih apa-apa," bisik Tiyan di telinga istrinya.
"Mas tapi ga perlu seperti ini, ini bagus banget Mas," puji Fani menatap kalung emas cantik dengan inisial nama F dan T.
"Kamu suka ga, De?" tanya Tiyan menatap senang wajah wanitanya.
Fani mengangguk kencang. "Tolong pakaikan Mas!" pinta Fani lalu menyerahkan kalung cantik tersebut kepada suaminya. Tiyan memakaikannya, "Kamu cantik De, aku beruntung mempunyai istri seperti dirimu,"puji Tiyan sambil melayangkan kecupan mesra di kening Fani.
"Tidak Mas, saya yang beruntung memilikimu Mas, jangan pernah tinggalkan Ade ya Mas!" Fani meneteskan air mata bahagianya.
Tiyan mengangguk pasti. "Itu buka lagi yang satunya!" pinta Tiyan dengan mata menuju pada bungkusan putih di dalam kotak berukuran sedang tadi. Fani membukanya.
"Apa ini Mas? Inikan lingerie." Fani keheranan melihat kain tipis berenda bewarna maroon, masih tidak paham maksud suaminya.
Tiyan nyengir kuda. "Dipakainya nanti kalau Ade sudah merasa siap," bisik Tiyan dengan suara serak.
****