7. Menikah dengan Tiyan
Jumat sore, Fani, Tiyan, dan si Mbok sudah berada di dalam kereta dengan tujuan Jakarta. Tiyan mencari bangku dengan nomor yang sesuai tertera di tiket. Lengan besarnya, memanggul sekarung beras, belum lagi aneka karung berisi hasil penen kebun milik ibunya yang ia jinjing dengan tangan sebelah kiri. Dada Fani mengharu biru memperhatikan gerakan gesit Tiyan, tanpa kenal lelah. Selalu senyum yang ia berikan walaupun peluhnya bercucuran.
Tiyan dan Fani duduk bersampingan, sedangkan si Mbok duduk di seberang kursi mereka. Fani memilih duduk dekat jendela karena ia suka memandangi sawah luas yang membentang saat kereta melewati area pedesaan.
****
"Mbak, saya kok deg-degan yaa? Padahal masih jauh, ini aja baru lima belas menit dalam kereta," ucap Tiyan polos.
"Kemarin aja semangatnya menggebu-gebu, sekarang kok mulai ciut," sahut Fani sambil cemberut.
"Huusst, ntar kedengeran si Mbok Mbak." Tiyan mengingatkan agar Fani mengecilkan volume suaranya. Jangan sampai ibunya tahunkalau Tiyan saat ini tengah khawatir akan bertemu dengan calon mertua.
Tiyan mengajak serta ibunya untuk melamar Fani, mereka membawa beras satu karung, singkong dan pisang kepok yang baru saja panen dari kebun milik Tiyan. Ada sesuatu yang masih disembunyikan Tiyan di dalam saku jaketnya yang terkancing. Ia akan memberikannya saat nanti sampai di rumah Fani.
****
Kedatangan Fani disambut hangat oleh sang mama dan papa, sudah lebih dari sepuluh bulan Fani tidak berkirim kabar. Orang tuanya sempat takut. Namun, Fani mengirimkan pesan singkat melalui akun media sosialnya kepada sang adik, yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Bu Yati, mama dari Fani dan Pak Asman, papanya Fani tentu menerima kedatangan tamu Fani dengan penuh suka cita, apalagi dengan aneka oleh-oleh yang dibawa mereka. Bu Yati menjamu tamu dengam sangat baik.
"Bu, maaf. Saya mau ke kamar mandi," ujar Tiyan pada calon mertua.
"Eh, iya. Di sebelah sana, Tiyan," tunjuk Bu Yati arah kamar mandi. Si Mbok sudah berada di dalam kamar untuk beristirahat sejenak.
Begitu juga Fani yang sudah masuk ke dalam kamarnya, diikuti oleh sang mama dan adiknya Feli.
"Calon suami kamu, Ni?" tanya Bu Yati.
"InsyaAllah, Ma. Ke sini mau melamar," jawab Fani dengan malu-malu. Ia baru saja mandi dan mengeringkan rambutnya saatsang mama dan adiknya Feli masuk ke dalam kamarnya.
"Alhamdulillah, akhirnya," sahut Bu Yati sembari memeluk hangat tubuh sang puteri sulung.
Fani tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dengan Munos. Itu lebih baik, ia tidak ingin orang tuanya marah, sakit hati lalu acara yang lebih penting terabaikan. Ia juga tidak menginginkan orang tuanya kenal lelaki iblis bernama Munos.
Makan malam kali ini diracik oleh kedua wanita paruh baya di dapur. Fani tengah menyapu teras, sedangkan sang papa dan Tiyan masih berada di masjid, belum kembali dari sholat magrib.
"Saya tidak menyangka, bisa masak di dapur orang Jakarta," kata si Mbok sambil menyeringai.
"Rasanya sama saja, Bu. Keluarnya asap-asap juga. Untung ga ada jinnya. He he he ...," ujar Bu Yati berseloroh.
Setelah makan malam berlangsung, semua penghuni rumah sudah berada di ruang depan rumah Fani, ada juga Pak RT dan Bu RT yang diundang oleh Pak Asman untuk menyaksikan acara lamaran Fani.
Si Mbok mencolek lengan anaknya Tiyan, yang masih saja menunduk malu tanpa berkata apa pun. Mata si Mbok membulat sempurna, memberi kode agar Tiyan lekas berbicara.
"Mm... Jadi kedatangan saya dan ibu saya ke sini hendak melamar Fani Pa, Bu, " ucap Tiyan lancar sambil memandang kedua orang tua Fani bergantian.
Mama dan Papa Fani saling pandang, hampir sepuluh bulan anaknya tak ada kabar, kini datang dengan membawa seorang lelaki biasa dan seorang wanita paruh baya dengan kebaya kutu baru yang melekat pas di badannya. Dengan maksud melamar Fani anak mereka. Orangtua Fani tidak mengetahui perihal Fani dengan Munos di masa lalu. Yang mereka tahu beberapa bulan yang belakangan ada seorang lelaki paruh baya kerap menanyakan keberadaan Fani.
"Bagaimana Pak, Bu? Apakah lamaran saya diterima?" tanya Tiyan sedikit khawatir. Apalagi wajah calon ibu mertuanya mendadak bete saat tahu pekerjaan Tiyan.
"Kami terserah Fani saja," ucap mama Fani akhirnya sambil memberikan senyum untuk Tiyan
"Bagaimana, Fan?" tanya papa Fani kepada putrinya.
Fani mengangguk.
"Alhamdulillah," ucap si Mbok dan Tiyan bersamaan, bahkan Tiyan meluruh di lantai bersujud syukur. Senyumnya dan si mbok merekah.
Si mbok mengeluarkan amplop coklat dan diserahkannya kepada orangtua Fani.
"Apa ini, Bu?" tanya Mama Fani keheranan.
"Ini tabungan Tiyan, memang akan digunakan untuk pernikahannya, jumlahnya ada empat puluh lima juta, mmm..cukupkan Bu?" tanya si Mbok ragu.
Fani dan orangtuanya kaget, sekaligus terharu, seorang kuli bangunan mampu mengumpulkan uang segitu banyak untuk acara pernikahan. Belum lagi hasil kebun pisang dan singkong yang dibawa tadi sebagai buah tangan.
Mata Fani berkaca-kaca. "Perasaan Mama, lelaki ini akan membahagiakanmu, Nak," ucap mama Fani saat mereka kini berada di kamar.
" Maafkan Fani ya Ma, tidak bisa memberikan mama menantu lelaki kaya dan tampan," ucap Fani terisak, dia sangat hapal keinginan mamanya.
"Iya sudah, mungkin ini memang jodohmu, Sayang." Bu Yati memeluk Fani erat.
"Tapi kok ya..hitam pendek gitu tho yaa seleramu, Nak," goda mama Fani sambil tertawa ringan saat mereka sudah berada di dalam kamar.
" mMama iihh...kok gitu." Fani manyun.
"Biarin gendut, jelek, hitam, asalkan sayang dan tanggung jawab sama Fani Ma," lanjutnya lagi.
"Dari pada tampan, kaya, berpendidikan tapi berhati iblis," bisiknya dalam hati, sekelebat bayangan Munos hadir di kepalanya.
Seminggu berselang, acara pernikahan Fani dan Tiyan akhirnya dilangsungkan. Kini Fani sah secara hukum dan negara berstatus sebagai istri dari Septiyan Suseno. Acara digelar dari pagi hingga sore hari. Fani tampak cantik menggunakan kebaya brukat bewarna putih dengan hiasan sanggul dan mahkota siger di kepalanya. Septiyan juga sudah disulap menjadi lebih bersih dan gagah. Wajahnya segar dan kulit coklatnya membuat Tiyan lebih terlihat seksi. Fani masih malu-malu memandang wajah suaminya.
" De, jangan liatin aku begitu, bisa pingsan Mas mu ini De," goda Tiyan sambil berbisik di telinga Fani.
"Siapa yang liatin Mas? GR aja ih!" sahut Fani sambil mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan warna merah di kedua pipinya. Semua tamu hadir ikut berbahagia, memberikan doa dan selamat. Hingga tak terasa adzan magrib berkumandang. Fani telah selesai bersih-bersih begitu juga Tiyan. Mereka melaksanakan sholat magrib berjamaah. Dikecupnya kening Fani lembut setelah selesai sholat.
"Mau Mas gendong naik ke kasur, De?" tawar Tiyan.
"Ngapain digendong Mas, kan dari sini ke situ deket," ucap Fani salah tingkah dengan tawaran suaminya.
"Maaass...." Fani kaget saat tubuhnya sudah mengudara dalam gendongan Tiyan.
Malam ini mereka lalui dengan ngobrol di ruang keluarga rumah Fani. Si mbok dan mama Fani ternyata cocok, sama-sama senang membuat aneka kue basah. Tiyan dan Fani pamit masuk ke kamar.
"Aduuhh..pengantin baru, masih jam sembilan gini udah ga tahan aja." goda mama Fani.
"Maamaa..malu ih." Fani melotot bete pada mamanya, lalu berjalan ke arah kamarnya.
"Sini Mas gendong lagi De!" bisik Tiyan.
Tak diberikan waktu menjawab, kini tubuh Fani sudah terangkat dengan mudah oleh Tiyan. Riuh suara dan tepukan dari para orangtua dan kerabat yang masih berkumpul disana.
"Kamar pengantinnya cantik De, seperti kamu," puji Tiyan saat mereka sudah berada di atas ranjang.
"Gombal," jawab Fani
Tiyan tertawa. "Sini Mas peluk De, tidurnya," ucapnya lagi. Fani tak mungkin menolak saat Tiyan memeluknya erat. Mereka saling berhadapan. Saling menatap.
"Alhamdulillah, terimakasih sayang sudah bersedia menjadi pendamping hidupku hingga akhir hayat." bisik Tiyan lalu mengecup kening Fani lembut, Fani terbuai saat tangan kasar Tiyan mengusap-usap ringan punggung Fani. Dan akhirnya mereka terlelap dalam indahnya pernikahan penuh cinta.