Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Mas Tiyan 2

Di sinilah Fani sekarang berada, dalam bilik sebuah rumah sakit, menunggu lelaki itu terbangun dari tidurnya. Sedih melihat kondisi sang lelaki dengan tangan digips karena terjatuh saat bekerja, sehingga mengakibatkan patah pada tulang tangannya. Harum-harum obat-obatan dan disinfektan, membuat Fani teringat kembali kejadian hampir setahun yang lalu. Kepalanya menggeleng keras, tidak! Ia tidak ingin kembali mengingat kejadian kelam yang pernah ia lalu bersama iblis berkedok manusia yang bernama Munos.

"Eegh..." Tiyan melenguh, terbangun dari tidurnya. Pelan ia  membukanya mata menatap sekeliling. Lamunan Fani buyar, saat mendengar lenguhan Tiyan.

Fani menatapnya dengan senyuman.

"Eh Mbak Fani, kok bisa ada di sini?" tanya Tiyan sedikit kaget sambil berusaha duduk.

"Pelan-pelan saja Mas, sini saya bantu," ucap Fani lembut sambil membantu Tiyan duduk.

"Mas bagaimana sekarang kondisinya?" tanya Fani khawatir.

"Saya ga papa Mbak, terimakasih sudah mau menjenguk saya," ucap Tiyan sambil sesekali meringis menahan sakit pada lengan kanannya.

"Saya bingung, Mas Tiyan ga ke toko dua hari, saya kirain Mas Tiyan..mmm...marah sama saya." Fani menunduk merasa bersalah.

"Kenapa harus marah, Mbak? itu haknya Mbak, sayanya yang terlalu berani, maaf ya Mbak, udah bikin Mbak ga nyaman sama saya," ucap Tiyan.

"Saya harap Mbak Fani masih mau berteman dengan saya," ucapnya lagi dengan suara lemah.

"Kamu bicara apa sih Mas Tiyan, justru aku yang minta maaf sudah berkata yang menyinggung." Fani tersenyum tulus.

"Sedang apa tho, kok maaf-maafan terus, kayak Idul Fitri saja," celetuk si mbok yang tiba-tiba masuk. Fani dan Tiyan menoleh dan tersenyum kepada wanita paruh baya itu.

"Sudah lama, Nduk?" tanya Si Mbok

"Baru, Mbok," jawab Fani menunduk sungkan lalu mencium punggung tangan Si mbok.

"Mbok sudah kenal dengan Mbak Fani?" tanya Tiyan heran.

"Sudah, Mbok mu ini yang susulin Fani ke kosannya," ucap mbok sambil merapikan pakaian kotor Tiyan.

"Ohh, makasih Bunee...," ucap Tiyan sambil menyunggingkan senyum manis kepada ibunya.

"Gimana ndak disusulin, wong lagi tidur yang disebut Mbak Fani...Mbak Fani, gitu," cerita si Mbok.

"Masa Mbok?"tanya Tiyan kaget, wajahnya merah karena malu.

"Untungnya apa Mbok mu ini bohong."  Tiyan menggaruk kepalanya salah tingkah.

"Kalau sudah tak bisa menahan rindu, segera lamar saja Mbok ikhlas, Mbok setuju," ucap Mbok sambil berjalan menuju pintu keluar.

"Ya sudah Mbok ke bawah dulu ya beli teh manis." Mbok pamit.

Fani sedari tadi terdiam mendengar setiap ucapan ibu Tiyan. Wajahnya menunduk malu, dengan dada berdebar, apalagi Tiyan kini melihatnya intens.

"Mbak, kok diem?" tanya Tiyan

"Eemm..itu...," gugupnya.

"Sudah ndak usah dipikirkan ucapan si Mbok ya."

"Lagian kalau mau melamar Mbak Fani,  saya harus sehat dulu, saya yakin kalau dalam keadaan seperti ini melamar, pasti di tolak, ya kan Mbak?" goda Tiyan sukses membuat semburat merah di kedua pipi Fani.

****

Enam bulan berlalu, Tiyan dan Fani semakin dekat. Tanpa ikatan hanya saja mereka merasa seperti saudara, setiap malam Tiyan rajin menjemput Fani dari toko sepulang bekerja. Sesekali Tiyan menraktir Fani jajanan pinggir jalan kota Malang, membawanya jalan-jalan ke kampung warna-warni dan destinasi wisata lainnya yang berada di kota Malang. Tiyan juga berlaku sopan pada Fani dan tidak pernah lagi menyinggung soal lamar melamar. Biarlah mengalir seperti adanya, mereka seperti ini juga sudah sangat nyaman.

Suatu malam.

"Mbak Fani sudah makan belum?" tanyanya saat mereka baru keluar dari toko tempat Fani bekerja.

"Belum Mas, sedang tak berselera," ucapnya lemas.

"Mbak kenapa? Sakit ya?" Tiyan khawatir lalu meminggirkan motor vespanya di pinggiran toko cat yang sudah tutup.

"Kalau sakit kita mampir ke klinik saja ya," ucapnya lagi sambil membuka sedikit kaca helmnya.

"Tidak apa Mas, mungkin kecapean aja " jawab Fani tak semangat.

"Ya sudah, di depan ada warung bubur ayam kita makan dulu, setelah itu mampir ke apotik beli obat ya Mbak," ujar Tiyan.

Fani mengangguk, mereka pun melanjutkan perjalanan, tak jauh berkendara ada warung bubur ayam yang cukup ramai pengunjung. Tiyan memarkirkan motornya di sana, lalu mereka memesan masing-masing satu porsi bubur. Tiyan makan dengan lahap sesekali Fani memperhatikan Tiyan yang saat makan selalu hening. Gurat tangan dan wajahnya begitu tegas, lelaki ini tidak tampan, kulitnya coklat, hidungnya mancung, tetap nyaman dipandang walaupun tubuhnya sedikit gempal dan tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki.

"Mas Tiyan lapar ya? Makannya lahap banget," tanya Fani saat mereka sudah duduk  menikmati semangkuk bubur ayam di udara malam yang cukup dingin.

"Kalau tukang bangunan kayak saya gini, semangkok bubur cuma buat cemilan Mbak," sahutnya sambil tertawa kecil.

"Nanti sepulang dari antar Mbak, pasti saya makan lagi di rumah bisa sepiring bahkan dua piring nasi beserta lauk pauknya," ucapnya.

"Pantas saja melebarnya ke samping Mas," ledek Fani lalu tertawa renyah. Tiyan mencebikkan bibirnya.

"Masih ga enak badankah, Mbak?" tanya Tiyan sambil memperhatikan wajah Fani.

"Sudah sembuh begitu ketemu kamu Mas," goda Fani sambil menyeruput teh manisnya.

"Wah..ge er deh saya." Tiyan menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Saya kangen Mama dan Papa Mas," ucap Fani mendadak sendu, matanya sudah berkaca-kaca.

"Oh, jadi lagi rindu orang tua," ucap Tiyan prihatin.

"Saya antar mau, Mbak?" tanya Tiyan kembali serius.

"Saya mau melamar Mbak Fani secara resmi untuk yang kedua kali," ucap Tiyan sambil tersenyum manis.

Huukk!

Huuk!

Fani tersedak teh manisnya, Tiyan dengan sigap menepuk-nepuk pundak Fani dengan wajah khawatir.

"Mmm...kamu yakin ga bakal aku tolak lagi?" tanya Fani kemudian, kali ini dengan berani menatap Tiyan.

Tiyan menunduk malu, mengalihkan pandangannya menatap jalan raya karena wajahnya memerah seketika. "Jangan liatin saya seperti itu Mbak, nanti saya bisa meleleh lho.l," ucapnya polos.

Fani dan Tiyan pun terkekeh geli.

"Mas Tiyan kan belum tahu siapa saya, bagaimana latar belakang saya dan masa lalu saya," ucap Fani.

"Yang saya tahu, saat ini saya menyayangi Mbak Fani dan mencoba menerima segala kekurangan dan kelebihan Mbak Fani, karena saya sadar saya juga bukan siapa-siapa dan saya juga banyak dosa dan salahnya di masa lalu, apalagi saya hanya seorang kuli bangunan," jelas Tiyan dengan suara teduhnya. Seteduh semilir angin malam yang menyapu kulit mereka. Hati Fani berdesir, ada rasa haru menyeruak di dadanya, tatkala mendengar ucapan yang keluar dari mulut Tiyan.

Fani menautkan kedua alisnya. "Mungkin ini saatnya aku cerita yang sebenarnya pada Tiyan," gumam Fani dalam hati.

"Mas Tiyan mau dengar sedikit kisah masa lalu saya?" tanya Fani serius.

"Dengan senang hati, Calon," ucapnya malu-malu.

"Ish... belum apa-apa sudah sangat percaya diri," gerutu Fani sambil memajukan bibirnya. Tiyan jadi tertawa melihat ekspresi Fani barusan.

"Oke, saya siap mendengarkan," ucap Tiyan serius.

Selama hampir dua jam, Fani menceritakan semua kejadian kelam yang dia alami, diiringi dengan isakan pedih saat mengingat kejamnya suaminya dan betapa Fani terpukul saat kehilangan janin kembarnya. Tiyan mendengarkan dengan seksama, tanpa sanggahan tanpa komentar, hanya mendengarkan, menatap iba wanita di depannya.

"Saya memang bukan orang kaya dan berpendidikan tinggi, namun saya berjanji akan membahagiakan Mbak Fani dengan sepenuh jiwa raga saya dan kemampuan saya, asal Mbak Fani percaya pada saya dan sudi menerima hati dan niat saya," ucap Tiyan bersungguh-sungguh

"Tapi...mmm..saya tidak berani..mm..itu...saya masih trauma berhubungan suami istri," ucap Fani jujur. Membayangkannya saja sudah bikin seluruh otot ditubuhnya hampir lepas.

Tiyan tersenyum simpul. "Saya tak akan menyakiti Mbak, saya akan tunggu sampai Mbak siap, karena pernikahan tidak melulu urusan ranjang, tetapi cinta, kasih sayang, kesetiaan, perhatian dan tanggung jawab adalah yang utama.

"Bagaimana Mbak? Kapan jadinya kita ke Bekasi?" tanya Tiyan begitu antusias.

"Hari jum'at ini, apa kamu yakin mau ikut Mas?" tanya Fani lagi.

"Yakin seratus persen," ucapnya tegas.

****

" Wah, Selamat ya Fani. Akhirnya kamu menemukan seseorang yang mencintai kamu dengan tulus," ucap Ami sambil memeluk Fani pagi ini.

"Tapi aku sebenarnya takut kalau mas Tiyan berubah."

"Huusst..ga boleh suudzon!" potong Ami cepat.

"Kamu yakin sama dia ga? Kalau yakin, ikhlaskan hati dan perasaan kamu Fan, saatnya kamu bahagia," ucap Ami lagi.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel