BAB 3 - JANGGAL
Malam mulai larut dan pesta sudah hampir bubar ketika mereka memutuskan pulang terlebih dahulu ke rumah masing – masing. Dewi yang kebetulan searah dengan Putri dan membawa kendaraan, menawarkan Putri untuk pulang bersamanya. Terlebih Fariz yang sudah pulang lebih awal karena sakit tadi.
Putri masuk ke dalam rumahnya pada pukul 11 lebih 17 menit dan berpamitan dengan Dewi yang hanya mengantarkannya sampai ke depan pintu rumah. Gadis itu setengah mengantuk saat masuk ke dalam rumahnya yang terlihat masih cukup terang.
Dia memutuskan untuk masuk ke dalam sebelum naik ke tangga menuju kamarnya, dan apa yang dia lihat juga temukan, nyatanya sesuatu yang mengerikan hingga tak bisa di ungkapkan dengan kata – kata.
Orangtuanya terlihat tergeletak disana, bersimbah darah dan tidak bernyawa. Posisi mereka yang tergeletak dengan tubuh yang saling berdampingan dan kepala ayahnya yang miring menghadap ke arah Putri dengan bola mata memerah dan kelopak mata yang masih terbuka. Darah juga keluar dari bibir kedua orangtuanya yang sudah tak bernyawa.
Putri kini semakin kalut saat mendapati sang kakak yang justru memegang pisau dapur dan tubuh yang berlumuran darah datang mendekatinya dengan senyum yang mengerikan. Juga pengakuan mengejutkannya tentang terbunuhnya kedua orangtua mereka, di tangan sang kakak.
****
Andrew melihat lagi buku catatan kecilnya dan terus berpikir tentang apa yang Putri katakan padanya semalam. Bagaimana gadis itu terlihat begitu yakin bahwa kakaknya tak bersalah, bahkan setelah dia justru melihatnya secara langsung dan juga mendengar pengakuan sang kakak tepat di hadapannya.
“Ada apa? Ada yang aneh dengan kesaksian gadis itu?” tanya senior Andrew yang melihat raut wajah juniornya itu begitu tegang.
“Bukan… bukan soal kesaksiannya yang aneh, semua kesaksiannya sesuai dengan apa yang terekam di kamera pengawas dan juga cocok dengan kesaksian pihak lainnya.
Termasuk keberadaannya di sekolah kala kejadian tersebut terjadi. Hanya saja… keyakinannya yang membuatku bingung,” ujar Andrew.
“Itu wajar kalau seorang adik masih berusaha mempercayai bahwa kakaknya tak bersalah. Bahkan dia mungkin masih percaya kalau orang tuanya belum meninggal. Hal semacam ini wajar dan akan kau dengar pada setiap kasus pembunuhan semacam ini, mereka yang menjadi tersangka biasanya orang yang justru di kenal baik oleh korban atau bahkan saksi. Dan sering meninggalkan kesan begitu baik, hingga kata – kata ‘aku tak percaya dia bisa melakukan hal semacam ini’ akan terus terdengar,” jelas senior Andrew dengan sangat yakin.
Andrew menatap sang senior yang balas menatapnya. Tidak ada keraguan dari setiap perkataannya, hingga dia menepuk pundak Andrew lalu merangkulnya singkat.
“Kau harus terbiasa menghadapi hal semacam ini mulai sekarang Andrew. Jangan selalu terbawa perasaan pada kasus apapun yang datang padamu, kalau hatimu lemah… penjahat di luar sana akan sangat mudah mempermainkanmu,” ucapnya lagi.
Andrew yang mendengar itu memikirkan baik – baik apa yang seniornya katakan. Dan itu memang benar, mungkin ini memang hanya perasaannya yang terlalu lemah karena ini juga merupakan kasus pertamanya sebagai detektif di Divisi Kejahatan dengan Kekerasan. Terutama di Unit Khusus Investigasi ini.
**
---Satu Bulan setelah Kejadian---
Seorang pemuda berusia sekitar 20 tahunan berdiri di depan gerbang rumah Dewi dengan membawa ransel dan memakai jaket hoodie berwarna gelap, kepalanya tertutup tudung jaketnya sendiri dan dia menunduk sambil kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana jeans yang ketat. Kedua kakinya juga terlihat tak bisa diam karena terus menendang – nendang kecil dengan sepatu kets nya yang terlihat agak usang, dengan beberapa jahitan di sisi kanan dan kiri sepatu itu.
“Alan?” Dewi yang baru saja pulang dari kampus terkejut melihat kedatangan pemuda itu.
Pemuda yang di panggil Alan itu tersenyum tipis dan mendongakkan wajahnya menatap Dewi, “Putri mana?” tanyanya langsung.
**
Alan menatap gadis yang kini duduk menghadap jendela dan masih terus saja diam itu dengan lekat. Mata kelamnya yang menatap sendu tertutup poni sedikit hingga hampir tak terlihat, tangannya juga memainkan ujung lengan jaketnya.
“Kau baik – baik saja?” tanya Alan.
“Tidak,” jawab Putri tanpa sedikitpun memandang ke arah Alan.
“Maaf… aku baru bisa datang hari ini. K-kau tahu kan, aku harus berpindah - pindah tempat karena aku tak punya uang untuk menetap di satu tempat. Aku masih harus mencari pekerjaan yang bagus, untuk menghidupi diriku sendiri Puu…” jelasnya.
“Aku tahu…” jawab gadis itu masih dengan sikap tak acuh.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Mungkin nanti… aku akan mampir dan menjenguk Fariz di penjara.” Alan mulai bangkit dari duduknya dan akan pergi, namun putri yang secara mendadak membalikkan tubuhnya kini terlihat dan membuat langkah Alan terhenti.
“Kalau kau mau ke tempat Fariz. Bisa aku menitipkan sesuatu untuknya?” pinta gadis itu pada sepupunya, Alan.
“T-tentu. Akan ku berikan padanya…” ujar Alan.
Putri langsung bangkit dan mengambil sepucuk surat yang di balut dalam amplop berwarna peach dan bermotif bunga di tiap ujung sisinya. Tulisan kecilnya menggunakan pena bertinta yang memiliki glitter di dalamnya hingga terlihat berkilauan saat terkena cahaya. Begitu manis seperti sebuah surat cinta untuk kekasihnya.
“Hanya ini?” tanya Alan saat menerima surat itu.
“Iya… hanya ini, dan tolong tanyakan padanya. Kapan aku boleh bertemu dengannya, aku… percaya kalau dia bukan pembunuh Ayah dan Ibu. Jadi dia tak perlu sungkan bertemu denganku, katakan juga padanya kalau aku akan menemukan siapa pembunuh orang tua kami yang sesungguhnya. Jadi… aku harap dia menunggu untuk itu,” jelas Putri dengan mata berbinar dan sedikit berlinang air mata. Alan cukup terkejut dengan ucapan Putri kali ini, namun dia tersenyum dan menatap sepupunya itu dengan pandangan teduh.
“Akan ku sampaikan padanya, aku janji…” ujar Alan.
“Terima kasih banyak Alan…” Putri memegang tangan Alan sekilas dan mengurai senyum tipisnya.
“Kalau begitu, aku pamit dulu. Aku akan langsung pulang dan menelepon untuk mengabarimu soal surat ini…” ujar pria muda itu yang di balas anggukan oleh Putri.
**
Sudah beberapa hari sejak kunjungan Alan hari itu. namun dia sama sekali belum memberikan kabar apapun pada Putri ataupun Dewi tentang surat yang di berikan Putri pada kakak kembarnya, Fariz. Hampir tiap waktu pula Putri akan mengangkat dengan cepat tiap kali telpon rumah itu bordering dan berharap itu dari sepupunya yang mungkin lupa atau sibuk hingga belum sempat mengabarinya, namun semuanya hanya nihil saja.
Dewi yang melihat itu pun hanya bisa menghela nafas. Seperti kali ini, dimana putri berlari dengan cepat menuju telepon yang berdering kencang untuk bisa mengangkatnya pertama kali dan bertanya siapa penelepon itu. juga sekali lagi, dia melihat Putri murung begitu teleponnya di angkat.
“Kau masih menunggunya?” tanya Dewi.
“Apa menurutmu, dia bohong padaku?” kata Putri.
“Aku rasa dia hanya belum sempat kesana. Atau mungkin dia belum di ijinkan menemui Fariz kemarin, dia tidak menelepon karena dia tidak tahu cara memberitahukannya padamu…” jelas Dewi padanya.
“Begitukah?” Putri kini kembali menunduk dan murung.
“Kenapa kau tak mau melanjutkan sekolahmu saja Puu? Jangan biarkan ini jadi alasan untukmu kehilangan segalanya. Orang tuamu tak akan suka melihat putri kesayangannya hancur seperti ini,” kata Dewi lagi.
“Sebenarnya… aku ingin mengunjungi satu tempat terlebih dahulu, sebelum aku memutuskan akan melanjutkan sekolahku atau tidak, kak…” ungkap Putri.
“Oh ya? Kemana?” tanya Dewi.
****