Ringkasan
Kehidupan Putri bersama keluarganya mulai membaik setelah sang ayah, Haris, di nyatakan lulus saat mengikuti interview sebagai news anchor di sebuah perusahaan penyiaran di Inggris. Mimpi sang ayah yang akhirnya terwujud, membuat Haris memboyong serta seluruh keluarganya termasuk si kembar, Fariz dan Putri untuk pindah ke Inggris dan memulai kehidupan baru mereka di tempat itu. Masalah besar kini muncul mengusik ketenangan hidup mereka, karena pada malam kelulusan si kembar, dan selepas Putri pulang dari merayakan kelulusannya di sekolah saat itu, dia justru menemukan kedua orang tuanya telah tewas dengan tragis dan bersimbah darah di rumah mereka. Dan yang lebih mengejutkan, Putri juga melihat langsung kakak kembarnya, Fariz, yang memegang pisau hadiah miliknya di tangan dengan tubuh yang bersimbah darah. Tak sampai di situ, Putri juga mendengar langsung pengakuan Fariz, bahwa dirinya lah yang telah membunuh kedua orang tua mereka malam itu.Putri yang begitu mempercayai kakak kembarnya, berpegang teguh bahwa sang kakak tak bersalah atas tewasnya kedua orangtua mereka. Gadis itu bertekad untuk mencari dan menemukan kebenaran atas kasusnya dengan menjadi Detektif.Mampukah Putri menemukan kebenaran kasusnya dan membebaskan kakak kembarnya? atau dia harus menerima kenyataan bahwa kakak kembarnya, memang seorang pembunuh.
BAB 1 - NIGHTMARE
---London Inggris, Rabu 18 Juni 2014---
“Aaaaaarrrkkkhhh!!!”
Teriakan yang memekakakkan telinga itu terdengar cukup kencang hingga membuat siapapun mungkin akan terkejut hingga keluar dari kediaman mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi. Teriakan yang asalnya dari sebuah rumah bergaya minimalis khas Eropa dengan cat berwarna putih dan sedikit nuansa abu – abu di beberapa titik. Pintu utama yang masih terbuka cukup lebar membuat suara teriakan itu semakin nyaring terdengar. Hingga Dewi yang baru saja akan melewati gerbang rumahnya untuk kembali masuk ke dalam mobil dan pulang kini menjadi berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah itu.
Di dalamnya, Putri terlihat sudah terjatuh di area dapur rumahnya dan terduduk dengan mata yang membelalak menatap kedua orang tuanya yang sudah tak bernyawa tergeletak di sana. Darah yang ada dimana – mana dan juga luka di sekujur tubuh orang tua Putri membuat gadis itu rasanya begitu syok dan bingung akan apa yang dia perbuat saat ini. Dia hanya bisa menatap dan menangis, dan di tengah tangisannya kini muncul satu sosok yang begitu membuatnya terkejut berjalan di sana. Tepat di hadapan Putri.
Fariz…
Kakak kembarnya yang berjalan dan muncul dari balik pintu dapur dan membawa pisau di tangan kanannya dengan tubuh yang penuh dengan lumuran darah hingga hampir menutupi separuh wajahnya. Dia menatap tajam ke arah adiknya yang masih terkejut itu lalu tersenyum.
“Kau datang di saat yang tepat, adikku…” gumamnya.
“A-apa… apa yang t-terjadi kak? K-kenapa?!” putri kini berteriak dan memegangi kepalanya sendiri.
“Seperti yang kau lihat. Aku baru saja menyingkirkan mereka…” jawab Fariz dengan begitu santai dan tak lupa senyum dan ekspresi datar yang dia perlihatkan saat ini di wajahnya.
“K-kenapa… kenapa kau membunuh, orang tua kita? Apa salah mereka padamu! Apa yang membuatmu begini!!!” pekik gadis itu lagi sambil terus menangis.
Fariz hanya diam dan tersenyum remeh ke arah adiknya yang kemudian jatuh tak sadarkan diri karena keterkejutan yang begitu besar hingga tak kuat melihat apa yang ada di depan matanya. Pandangan mata gadis itu kini gelap dan tubuhnya merosot jatuh.
Sementara di belakangnya, tanpa di sadari oleh keduanya. Ada Dewi yang juga melihat semua kejadian itu dan sama terkejutnya dengan Putri, namun nampaknya gadis itu masih lebih kuat dan masih mampu berpikir lebih rasional dalam keadaan kalut, terbukti dengan dia yang langsung menelepon layanan darurat kepolisian untuk segera memanggil bantuan ke rumah kediaman sahabatnya tersebut, sesegera mungkin.
**
Putri yang mulai sadar kini terbangun dan sudah berada di kamar tetangga dekat rumahnya dengan di temani Dewi yang terlihat terus menatap wajahnya dengan raut wajah cemas. Gadis itu berusaha bangkit dan menatap sekeliling, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi sambil berharap bahwa apa yang baru saja dia lihat hanya mimpi belaka dan bukan kenyataan.
Namun, gerakan Dewi yang langsung memeluknya sambil membisikkan kata ‘kau harus tabah menerima semua ini’ membuat gadis itu sadar bahwa apa yang dia lihat dan alami baru saja semuanya adalah nyata. Sangat nyata hingga membuat tenggorokannya tercekat dan air matanya kembali mengalir deras tanpa bisa di bending lagi. Kepalanya bahkan terasa sakit mengingat apa yang di hadapinya beberapa jam yang lalu. Lampu kelap kelip berwarna biru dan merah pun menembus jendela kamar tempatnya berbaring sekarang.
Suara ramai yang ada di sekitarnya, dan beberapa langkah kaki yang terdengar berlarian di luar sana juga menjadi tanda ada sesuatu yang besar dan menghebohkan terjadi. Dan itu semua terjadi di dalam rumahnya sendiri.
Dewi meregangkan pelukannya dan mengusap air mata Putri perlahan.“Aku disini, bersamamu… jangan cemas…” katanya dengan suara bergetar.
“Fariz…” kata itu yang pertama kali keluar dari bibir Putri yang akhirnya kembali menangis tersedu dan membuat Dewi kembali menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Aku yakin ada penjelasan untuk segalanya dan aku yakin, semuanya akan baik –baik saja. Percayalah, aku disini… kau tidak sendirian…” ujar gadis itu menguatkan sahabat yang sekaligus di anggap sebagai adiknya sendiri itu dengan suara yang begitu tulus. Air mata Dewi bahkan ikut mengalir saat memeluk Putri.
Putri hanya bisa mengangguk lemah dan kembali mencoba menenangkan dirinya.
“Dimana dia?” tanya Putri merujuk pada keadaan Fariz.
“Polisi langsung membawanya. Dan…” Dewi berhenti sejenak, saat daun pintu itu terbuka lalu memunculkan satu sosok pemuda di sana. “Detektif ini ingin menemuimu dan berbicara denganmu,” ujar Dewi.
“Detektif?” Putri memicingkan mata dan menatap sosok pemuda yang di panggil detektif oleh sahabatnya itu dengan lekat.
“Bagaimana kondisimu? Aku tak akan memaksamu untuk bertanya soal apapun saat ini, aku hanya ingin memeriksa keadaanmu lebih dulu,” ujarnya.
Dewi yang seolah mengerti dengan situasi yang ada kini memilih pamit keluar menemui sang pemilik rumah dan mengambilkan sahabatnya minuman hangat. Setidaknya itu mungkin sedikit membantu menenangkan putri saat ini.
Sementara si pemuda detektif itu mulai menarik kursi belajar yang ada di sudut ruangan dan duduk di sana. Tatapan matanya teduh namun juga menyelidik, membuat Putri rasanya agak risih untuk membalas tatapannya.
“Kakakku tak mungkin membunuh orang tua kami,” tukas Putri tiba – tiba.
“Nona Putri…” sela si detektif.
“Aku tahu apa yang mau kau katakan padaku. Tapi aku yakin sepenuhnya bahwa kakakku tidak bersalah, pasti ada sesuatu. Entah apapun itu yang membuat semuanya seperti ini,” kata Putri lagi.
“Saya tidak akan mengatakan apapun soal keyakinan anda Nona. Saya cukup mengerti apa yang baru saja anda hadapi, pasti juga masih sangat sulit untuk di cerna. Maka dari itu…” si detektif itu kemudian berdiri, dia merogoh saku baju kemejanya dan menyodorkan selembar kertas segiempat kecil dengan logo kepolisian di ujung kanan atas kartu itu. “Itu kartu nama saya. hubungi saya jika anda sudah siap untuk menceritakan semuanya, selagi kami juga menyelidiki apa yang tengah terjadi,” ujar detektif muda itu dengan nada tenang.
Begitu putri menerima kartu nama si detektif dan membacanya sekilas, dia kemudian menatap si detektif itu dengan sorot mata sedihnya. Ketakutan dan keterkejutan masih nampak jelas disana. Membuat hati si detektif muda itu rasanya ikut trenyuh dengan apa yang menimpa gadis di hadapannya saat ini.
“Jangan perlakukan kakakku dengan buruk. Dia orang baik, tanya saja baik – baik padanya. Dia pasti… akan mengatakan semuanya dengan jujur…” lirih Putri.
“Saya mengerti. Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit si detektif sebelum akhirnya keluar dari kamar dan berpapasan dengan Dewi yang membawakan dua gelas minuman di tangannya.
Tatapan mata Dewi yang terkejut melihat detektif itu yang ternyata selesai lebih cepat dari bayangannya itu hanya di balas senyuman oleh si detektif.
***