Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hujan

Didalam ruang UKS, setelah Sinta dan yang lainnya pergi… Mika dan Alvaro hanya saling terdiam dengan canggung.

Mika terlihat masih enggan membuka mulutnya, untuk menyapa lelaki yang kini menemaninya didalam ruangan itu.

Dan Alvaro terdiam karena masih mempertimbangkan diri, haruskah dia meminta maaf sekarang atau nanti saja? Itulah yang dia pertimbangkan.

Alvaro melirik Mika yang saat ini sedang terdiam, dengan handphone ditangannya.

Entah apa yang perempuan itu lakukan dengan ponselnya, tapi hal itu cukup mengganggu Alvaro dengan gelar kapten di tim basket sekolah mereka.

Alvaro akhirnya berdiri dari tempatnya, dan merebut ponsel Mika. Dia memasukan ponsel itu kedalam sakunya dan menatap Mika yang kini menatapnya dengan tajam.

"Apa-apaan sih Al!" tegur Mika padanya yang sudah merebut ponsel itu.

"Kalau sakit, jangan main Handphone. Tidur!" jawab Alvaro, yang niatnya baik kepada perempuan itu.

Tapi tension yang tercipta di antara mereka sebelumnya, menjadikan niat baiknya terartikan secara salah oleh Mika.

Dia mengira bahwa saat ini, laki-laki yang tengah berdiri dihadapannya sangat mengatur dirinya.

Meski dia berterima kasih karena Alvaro memilih untuk menemaninya disini, bukan berarti laki-laki itu bisa mengaturnya dengan menyita ponselnya.

Mika memang tidak membalas ucapan Alvaro, dia hanya melipat kedua tangannya didepan dada dan terdiam.

Dan diam… adalah kemarahan yang paling ditakuti oleh Alvaro di dunia ini.

Karena menurutnya dengan diam, dia tidak akan mengetahui apa kesalahan yang suda dia perbuat.

Dan akan semakin menyiksa dirinya dengan ribuan spekulasi yang datang kedalam pikirannya.

Alvaro terus menatap Mika yang enggan meliriknya. Alvaro membuang nafasnya perlahan, mempersiapkan dirinya untuk menyelesaikan semua ketegangan yang ada di antara mereka berdua.

"Mik…" Panggil Alvaro pada perempuan yang marah itu.

Mika tidak bergeming, dia seolah-olah tidak mendengar panggilan dari Alvaro yang cukup keras itu. Sehingga Alvaro kembali memanggilnya,

"Mik!" Kali ini Mika menoleh, tapi dengan tatapan tajamnya yang dia arahkan pada Alvaro.

Tatapan yang menurutnya akan menusuk-nusuk laki-laki dihadapannya itu.

"Maaf ya…" Tanpa diduga oleh perempuan itu, Alvaro mengatakan maafnya.

Selama ini… Selama mereka saling mengenal dan berseteru, tidak ada satupun kata maaf yang pernah Alvaro ucapkan padanya.

Karena pada akhirnya, Mika lah yang selalu mengatakan kata maaf terlebih dulu.

Mika kebingungan, dia merasa bahwa pendengarannya sudah mengelabui dirinya.

"A-apa?" tanya Mika berjengit bingung, dia menghadapkan tubuhnya pada Alvaro untuk melihat apakah laki-laki itu benar-benar mengatakan maaf padanya, atau semua yang dia alami hanya sebuah ilusi.

"Maaf, tadi pagi, Gue gak bermaksud kasar dan buruk." Alvaro kembali mengulang maafnya, dan menjelaskan atas apa dia meminta maaf.

Dia terlihat sangat tulus saat mengatakan hal itu, dan Mika hanya menganggukkan kepalanya pelan, seraya memalingkan wajahnya untuk tidak menatap Alvaro yang terlihat semakin tampan. Karena Alvaro meminta maaf padanya.

'Pantes, banyak perempuan yang langsung maafin saat dia melakukan salah.' ucap Mika dalam hati.

Alvaro tersenyum mengetahui permintaan maafnya sudah diterima, dia pun mengambil kursi untuk duduk semakin dekat dengan ranjang dimana Mika berbaring.

Dia duduk untuk menatap perempuan itu, tapi sebuah angin kencang tiba-tiba berhasil membuat pintu terbuka lebar dan membanting tembok dengan kencang.

Hingga suara keras itu cukup membuat keduanya terkejut.

Alvaro dan Mika menatap ke arah pintu dengan panik saat angin itu berhasil masuk, membuat seisi ruang UKS berantakan.

Kertas-kertas catatan kesehatan siswa berterbangan, dan tirai pun berkibar.

Alvaro segera berdiri dari duduknya untuk bergegas menutup pintu.

'Cleck!' Alvaro memilih untuk mengunci pintu UKS, karena knok pintu yang sudah rusak akibat kejadian tadi.

Mika terdiam dengan jantung yang berdetak kencang, dia melirik ke arah kanan untuk melihat kondisi ruangan itu.

Semuanya berantakan, kertas-kertas berserakan, tirai-tirai menyangkut dibesinya, bahkan patung skeleton pun terjatuh dari tempatnya berdiri.

Sungguh angin yang sangat kencang!

Mika melihat kearah luar yang terlihat amat gelap, membuatnya semakin takut dan menatap Alvaro yang sekarang memunguti satu per satu kertas yang berserakan.

"Al." Panggilnya pada laki-laki itu, Alvaro mendongak untuk menatap Mika yang masih duduk diranjang UKS.

"Apa Mik?" tanya Alvaro dan melanjutkan kegiatannya memungut kertas-kertas itu.

Mika segera turun dari kasurnya dan berjongkok disamping Alvaro sambil menutup kedua telinganya, dan memejamkan mata dengan erat.

Awalnya Alvaro mengerenyit bingung saat melihat Mika seperti itu, tapi setelah dia mendengar suara ledakkan kencang dari langit.

Dia sadar, bahwa saat ini Mika sedang ketakutan karena petir. Alvaro menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan menyimpan kertas-kertas itu di atas lantai.

Tangannya memeluk kedua bahu Mika untuk membantunya berdiri, dan kembali naik keatas ranjang.

Kemudian Alvaro berjalan ke arah jendela untuk menutupnya dengan gorden, sehingga Mika tidak bisa melihat petir diluar sana.

Sebelum Alvaro menutup gorden itu, dia melihat kearah luar yang kebetulan adalah lapangan basket.

Zzzrrhaaassss!

'Hujannya sangat kencang. Bagaimana kita bisa latihan basket sore ini kalau hujannya kaya gini?'

Alvaro yang memang mempunyai rencana untuk latihan basket hari inipun merasa kecewa, karena hujan yang besar tiba-tiba mengguyur wilayah mereka.

Padahal tadi pagi langit begitu cerah, bahkan tidak ada yang menyangka bahwa hujan akan datang.

Itulah misteri langit, yang tidak pernah ada satupun dari manusia yang mengetahuinya.

sekalipun badan meteorologi yang mempunyai peran memperkirakan cuaca.

Terkadang kita sudah ditipu oleh alam, atau memang segala sesuatu tidak ada yang pasti dan hanya bisadi perkirakan.

Setelah menutup gorden itu, Alvaro kembali merapikan kertas-kertas.

"Hujan deres, Mik. Lo pulang sama siapa hari ini?" tanya Alvaro basa-basi, sambil dia terus memunguti satu per satu kertas itu.

Mika berdehem untuk membasahi tenggorokannya yang kering, lalu dia menjawab pertanyaan dari Alvaro.

"Si…sinta, Gue pulang sama Sinta hari ini." jawab Mika.

Alvaro terdiam saat mendengar jawaban itu, dia melirik pada perempuan yang kini menatapnya dengan heran.

"Gak dijemput ortu?" tanya Alvaro lagi, Mika menggelengkan kepalanya tanda bahwa orang tuanya tidak akan menjempunya hari ini.

Dan Alvaro pun memilih untuk diam saat dia sudah kehabisan topic, untuk dia tanyakan pada Mika.

Setelah semua kertas itu terkumpul, Alvaro menyimpannya kembali ke atas meja.

Alvaro melihat keadaan ruangan itu, dan berjalan kesalah satu ranjang untuk menarik tirai-tirai yang menyangkut dan merapikan posisi ranjang.

kemudian dia melirik kearah patung skeleton yang terjatuh.

Untuk sejenak Mika bisa melihat Alvaro menghela nafasnya sebelum mengangkat patung skeleton itu untuk berdiri diposisi semula.

Trak! Mika tersentak, karena suara dari tangan patung skeleton itu yang terlepas dan terjatuh keatas lantai.

Alvaro yang sudah berhasil membuat patung itu kembali berdiri, segera mengambil tangan itu dan menaruhnya dibahu skeleton, karena dia tidak bisa memasangkannya kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel