BAB 6
BAB 6
HAPPY READING
***
Harvey dan Poppy memilih duduk di out door, sambil menikmati suasana sore. Harvey memesan 1 cointreau bottle, dua gelas beer dan 2 french fries. Koleksi beer di sini lumayan lengkap. Ada beberapa table sudah terisi oleh para pekerja yang ingin melepas penat.
Sore begini tidak ada live music, hanya music dari sound system terdengar, itupun tidak terlalu nyaring. Tidak butuh waktu lama akhirnya makanan mereka tersaji di meja. Harvey memandang Poppy, ia tadi memang sempat mendengar percakapan Poppy dan kekasihnya tanpa sengaja. Apa ia cemburu? Tentu saja tidak, karena waktu kebersamaanya dengan Poppy lebih banyak dengannya dibanding kekasihnya itu. Untuk apa ia cemburukan? Jika ia di posisi pacar nya Poppy mungkin ia merasakan itu, yang melibatkan rasa kesal, iri, dan curiga.
“Besok kamu ijin pulang kerja jam berapa?” Tanya Harvey, ia menuangkan Cointreau ke dalam gelas, ia meletakan gelas itu di hadapan Poppy.
“Mungkin jam dua, cuma acara pertunangan aja.”
“Menurut kamu tunangan itu penting nggak?” Harvey meraih gelas yang berisi cointreau, ia meneguknya secara perlahan, sambil memperhatikan Poppy yang bergerak secara natural, ia akui dia sangat cantik bahkan lebih cantik dari mantan-mantannya terdahulu.
“Menurut saya penting sih, ya hanya untuk menentukan jarak pernikahan aja.”
“Misalnya seperti apa?” Harvey memperhatikan Poppy.
“Seperti memperkenalkan antara kedua keluarga, agar lebih dekat. Terus untuk mengatur tanggal yang baik untuk pernikahan, menentukaan konsep, agar lebih terarah, pasangan belajar pre-marriage, memantapkan hati, mempersiapkan diri, deeptalk hak dan kewajiban. Tujuan tunangan itu baik menurut saya. Ya seperti itulah.”
“Kalau kamu?” Tanya Poppy, ia meraih gelas berisi beer itu dan meneguknya, ia tahu bahwa kegiatan menemani minum seperti ini sudah beberapa kali mereka lakukan ketika tidak ada perkerjaan lagi.
“Enggak terlalu penting buat saya. Saya malah berpikiran kalau tunangan itu hanya tukar cincin tapi lebih dari itu sama-sama menunjukan status social, sama-sama berpengaruh apa tidak, dan punya kekayaan lebih dari cukup.”
“Owh ya?”
“Itu itu sih yang saya lihat dari teman-teman saya yang sudah bertunangan dan salah satunya saudara saya yang pernah menikah.”
“Kalau tunangannya teman-teman kamu. Beda kelas, high class, mana bisa di samain dengan yang lain, mainan orang old money seperti kamu beda. Prinsipnya cuma satu, is all about family’s heritage,” ucap Poppy tertawa.
Harvey ikut tertawa, ia meneguk beer nya lagi, ia tahu batasannya meminum beer seperti apa dan ia pastikan tidak akan mabuk,
“Teman-teman kamu bagaimana?” Tanya Harvey.
“Teman saya cuma Bella itu, aja dia nggak mau nikah.”
“Bella manager PR?” Tanya Harvey mencoba mengingat.
“Iya. Dia teman saya di UPH dulu. Dia sama sekali tidak ingin menikah.”
“Alasannya apa?”
“Katanya mau diglorifikasi apapun, di goreng, ditaburi bumbu penyedap, pernikahan baginya hanya dua. Hanya legalisasi hubungan badan dan seni menambah masalah.”
“Exaclty. Bener itu kata temen kamu.”
“Kamu pernah denger nggak, nikah itu enak ada yang nemenin. Mau tidur bareng nggak was-was lagi. Itu hanya sepenggal iklan yang selalu digembar-gemborkan orang yang lebih dulu menapaki pelaminan tentang enaknya menikah.”
“Kalau dipikir-pikir berapa lama sih kenikmatan sexs? Nggak mungkin kan selama film bokep, paling lama setengah jam sisanya 10 menitan. Belum lagi nanti biaya gedung sekolah anak yang mahalnya selangit, istri me time dianggap durhaka, membayar cicilan ini itu, belum lagi KDRT.”
“Saya dulu punya teman baik di kampus, menikah lalu punya anak satu. Saya bertemu dengan dia lagi beberapa waktu lalu, dia terlihat stress dengan keluarga kecilnya. Bahkan dia ngomong. “Pop kamu pikir-pikir lagi deh soal nikah, kalau saya lebih baik single seumur hidup lebih bahagia seperti dulu. No man, no problem”. Saya nggak tau sih alasan apa yang membuatnya seperti itu, menikah nggak indah yang dibayangkan.”
Harvey melipat tangannya di dada, “Saya pikir sahabat kamu dan suaminya belum matang secara finansial. Kalau sudah siap finansial apa salahnya menikah membangun rumah tangga, berkomitmen dan membesarkan anak-anak. Kalau kamu nikahnya sama saya. Kamu nggak mungkin hidupnya seperti teman kamu.”
Poppy menatap Harvey, pria itu meneguk beer nya lagi, seketika mereka sama-sama saling terdiam dan saling menatap. Harvey lalu menyungging senyum membalas tatapan Poppy.
“Why?” Tanya Harvey.
Poppy menelan ludah, kata-kata Harvey tadi seakan mengajaknya menikah, “Enggak apa-apa,” Ia mengambil gelas dan meneguk lagi beer secara perlahan. Ia juga memasukan stick kentang goreng ke dalam mulutnya.
Ia tahu bahwa lingkungan Harvey itu konglomerat yang uangnya tidak ada serinya lagi di rekening. Mereka menikah stara dengan status social. Banyak orang kaya memiliki circlenya sendiri, dan biasa mereka menikah akan meningkatkan status social mereka agar diakui.
Di mana dia akan menikah dengan orang yang sukses juga. Harga diri adalah segala-galanya, biaya gedung sekolah internasional terlihat biasa saja di mata mereka. Jadi persoalan menikah juga biasa ada hubungan bisnis agar lebih kuat.
“Kamu dan pacar kamu bagaimana? Apa berkeinginan untuk menikah?” Tanya Harvey, ia ingin tahu hubungan Poppy dan kekasihnya.
Poppy memandang iris mata Harvey, pria itu terlihat tenang, setelah beberapa kali menciumnya. Bahkan kemarin mempertanyakan bagaimana jika Nathan tahu, kalau mereka berdua pernah lebih dari pegangan tangan. Saat ini ia merasa seperti sedang menduakan kekasihnya.
“Saya masih bingung,” gumam Poppy pelan.
Bibir Harvey terangkat, menatap Poppy dengan intens, “Bingung karena menentukan antara saya dan dia?”
Poppy lalu tertawa, “Sok tau kamu.”
Harvey ikut tertawa, kali ini ia tertawa geli, “I know you, Poppy.”
“You know what?” Poppy tertawa lagi, ia meneguk beer nya, jujur ia suka melihat tawa Harvey yang lepas seperti ini, ia berjanji akan melihat tawa itu sebagai obat bahagianya.
“Oh, It's so hard to explain,” Harvey tertawa lagi, karena ia merasa bahwa Poppy sudah menerima kehadirannya.
“Kamu nonton game of Thrones nggak?” ucap Harvey, ia lalu mengganti topik pembicaraan diselingi tawa.
“Nonton dong,” ucap Poppy ikut tertawa.
“Kamu tau nggak, saya pikir awal-awal episode pertama pengenalan karakter atau pemain. Namun saya kaget di menit-menit awal episode banyak adegan kematian. Eksekusi mati Ned Stark, sampai di sini saya merenung.”
“Eh, bukan ini pemeran utamanya? Belum apa-apa sudah matiin karkater lain. Tenang saja ada Dragon Balls bisa hidup kembali. Namun dari sini saya belajar menerima kenyataan, tidak ada yang hidup kembali.”
“Ned mati, yang ini mati juga, terus ini cerita mau di bawa ke mana? Buat saya yang polos banget, kaget dong, baru pertama kali nonton giniaan. Tapi Bella teman saya intuisinya jago, bisa nembak nanti ini Red Wedding, dia terus spoiler. Saya hanya pelanga-pelengo, owh begini film nya.”
“Mau nonton bareng nggak? Udah lama sih saya nggak nonton,” Harvey mencoba menawarkan kepada Poppy.
“Boleh. Kangen juga sih, pengen nonton lagi.”
“Nonton di tempat saya,” ucap Harvey.
Poppy menatap iris mata Harvey, mereka dua orang dewasa, tahu apa konsekuensi jika berdua. Kemarin di hotel saja mereka sudah nyaris making love. Dan sekarang pria itu menawarkan di tempatnya, alih-alih nonton bersama. Ia tahu jika ia menerima ajakan itu, ia sama saja menerima umpan Harvey.
Ia melihat iris mata tajam itu, memandangnya sangat intens, entahlah ia tiba-tiba mengangguk dan sama sekali tidak menolah ajakan itu. Harusnya ia mengatakan tidak setelah pria itu menciumnya di New York kemarin.
“Mau?” Tanya Harvey lagi.
“Iya, mau.”
“Weekend ini di tempat saya,” ucap Harvey.
“Iya.”
“Mau saya jemput atau datang sendiri?”
“Saya datang sendiri saja. Enggak lucu kan, kamu bolak-balik.”
“Saya nggak apa-apa, jika direpotkan sama kamu.”
Harvey melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 18.20 menit, ia melihat langit mulai gelap. Ia meraih gelas berisi beer nya, ia meneguknya lagi.
“Saya antar kamu pulang,” ucap Harvey.
“Iya,” ucap Poppy.
Harvey dan Poppy beranjak dari kursinya, mereka melangkahkan kakinya menuju parkiran. Harvey membuka kunci central lock. Poppy mendaratkan pantatnya di kursi dan ia memasang sabuk pengaman. Ia menatap Harvey menghidupkan mesin mobil. Setelah itu mobil meninggalkan area Beer Garden.
***
Poppy menatap Harvey, pria itu sedang memanuver mobilnya. Awalnya ia tidak terlalu suka dengan sifat Harvey yang egois, menanyakan hubungannya dengan Nathan. Namun semakin ke sini, ia merasa nyaman dengan pria itu. Topik obrolan mereka semakin menarik, ia pikir dulu Harvey orangnya dingin, cool, egois, dan bossy. Setelah mengenal lebih dalam, dia semenarik itu, bahkan ia betah ngobol banyak dan bertukar pikiran. Jika bersama Nathan, pasti terselip siraman rohani, yang membuatnya ada sedikit barrier tidak bisa lepas dan bebas, seperti ia bersama Harvey.
“Kamu tau nggak kenapa semakin dewasa, orang semakin sulit jatuh cinta?” Tanya Harvey, ia memanuver mobilnya, menujur rumah Poppy.
“Karena semakin dewasa, kita semakin mengenal diri sendiri. Semakin dewasa, kita semakin tahu apa yang layak dan tidak untuk dicintai oleh rasa pribadi. Semakin tahu apa yang menjadi kebutuhan dan penyempurnaan diri. Semakin tahu seberapa banyak waktu yang terbuang nggak sekedar jatuh cinta dengan orang yang salah. Semakin tahu jatuh cinta itu nggak harus dimiliki.”
“Kita juga semakin tahu apa yang harus diperjuangkan dan apa yang harus ditinggalkan. Kita semakin tahu mana yang benar-benar mau bantu dan fake. Semakin tahu bahwa cinta itu nggak ada yang abadi. Semakin tahu ini loh realistis, enggak hanya modal cinta-cintaan seperti anak ABG. Semakin tahu betapa bajingannya mempresisikan jatidiri dan mimpi-mimpi.”
“Dan semakin paham. Dewasa ini bukan bagian terpenting mengejar cinta dan dicintai. Kita itu tahu mana rasa kagum, kasmaran, nafsu dan rasa sayang.”
“Dewasa itu intinya tentang menemukan ketenangan diri dalam segala kefanaan duniawi, cinta itu bonus.”
Harvey menyungging senyum, ia suka dengan kata-kata yang keluar dari bibir Poppy semua yang di katakan benar. Karena ia paham dan sadar, semakin dewasa hidup itu tidak hanya soal cinta.
“Saya suka kata-kata kamu,” ucap Harvey.
“Thank you.”
“Poppy.”
“Iya.”
“Terima kasih ya, kamu sudah temani saya ngebeer.”
“Iya, sama-sama. Saya juga senang ngobrol sama kamu tentang banyak hal,” ucap Poppy.
***
Tidak butuh waktu lama akhirnya mobil Harvey sudah berhenti di depan rumah perpagar tinggi itu. Ini kali kedua ia mengantar Poppy. Harvey melihat Poppy membuka sabuk pengaman. Dia membuka hendel pintu otomatis lampu dasbor menyala.
“Kamu hati-hati di jalan.”
Entah dorongan apa dengan cepat Harvey menarik pergelangan tangan Poppy. Otomatis Poppy menoleh menatap Harvey. Mereka saling memandang satu sama lain, dibalik mata hangat, terdapat pelukan dan panasanya rindu antara dua orang yang sering bertemu. Ada rasa tersimpan ketidak nyamanan dan gelisah, namun saling menginginkan cinta yang tenang-tenang saja.
Tatapan Harvey tertuju pada bibir penuh Poppy, inginnya segera melumat bibir itu lagi, namun ada sesuatu yang menahannya untuk tidak melakukannya.
“Selamat istirahat,” ucap Harvey pada akhirnya.
Poppy mengangguk, “Iya.”
Harvey melepaskan tangannya, ia membiarkan Poppy menjauhinya. Ia membuka central lock, melihat Poppy membuka pintu pagar, setelah itu Poppy benar-benar hilang dari pandangannya. Ia menjalankan mobilnya lagi meninggalkan area rumah.
***