Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

HAPPY READING

***

Setelah brunch Poppy dan Harvey kembali ke kantor. Ia duduk di meja kerjanya, mungkin pekerjaan sekretaris seperti dirinya sering dianggap remeh oleh sebagian orang. Mereka berpendapat bahwa tugas sekretaris sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa job desc sekretaris sebatas mencatat dan memfotokopi dokumen. Nyatanya anggapan itu salah besar.

Awalnya ia masuk ke perusahaan ini memang ia dapat informasi dari sahabatnya Bella yang dulu merupakan satu kampus dengannya, dia sudah bekerja di perusahaan ini selama dua tahun. Dulu ia sempat pesimis di terima perusahaan ini yang ia anggap tidak bisa, karena saat melamar saingannya cukup berat.

Tanpa ia duga ternyata dirinyalah yang terpilih menjadi sekretaris. Atasnya itu bernama Harvey pria berumur 35 tahun, sebagai direktur utama sekaligus chief executive officer di sini dan statusnya masih single. Awal ia bekerja di sini, Harvey itu dikenall sangat cool, dan pendiam, bahkan dulu ia grogi hanya sekedar untuk berbicara. Ia memaklumi karena masih baru.

Ia pikir menjadi sekretaris itu akan pulang on time, tapi nyatanya salah. Ia selalu pulang malam. Jam kerjanya masuk jam 08.00 – 17.00, tapi jangan harap ia bisa pulang on time. Hari pertama dulu kerja, oke ia bisa pulang on time karena penyesuaian diri. Namun di hari kedua hingga sekarang ia pulang paling cepat 19.00 dan paling lama 21.30. Bisa dihitung ia kerja berapa jam sehari.

Sebenarnya ia bisa saja pulang on time, namun prinsip atasnya bilang dia nggak boleh pulang sebelum dia pulang. Jam istirahat tidak menentu, ia memastikan atasannya itu makan terlebih dahulu. Ia setiap hari selalu bertanya, boss nya itu mau makan hari ini.

Kadang ia merasa tidak sopan hanya sekedar bertanya, “Pak, mau makan apa hari ini?” secara langsung. Jadi biasa ia hanya bertanya lewat WA dan dibalas sangat lama sekali. Hal itulah yang membuatnya telat istirahat. Belum lagi kalau bos nya itu orangnya sangat perfectionis dan higienis tidak mau maakan di tempat yang sembarangan.

Yang membuatnya kalap biasa sang bos ingin memesan tiket pesawat dadakan, misalnya dia mau berangkat sore, tapi ngasih taunya jam 12 sian,g terus minta kelas bisnis bukan ekonomi. Itu pesawat tidak bisa ia atur olehnya karena seat itu di pesan melalui online, siapapun bisa kehabisan tiket tanpa memandang status.

Jika sudah malam, dulu Harvey itu sering chat jam 11 malam, hanya untuk nanya sebuah kerjaan. Jadi mulai saat itu jam 9 malam ia mulai mematikan data dan tidak pernah membuka WA, karena itu jam istirahatnyya.

Ia selalu pusing menentukan jadwal meeting, biasa seharian isinya Harvey itu full meeting. Tidak jarang dokumen yang perlu di tanda tangani menumpuk di mejanya. Belum lagi dari divisi lain yang mengharuskannya cepat meminta tanda tangan beliau. Jadi ia memberi jadwal jika meminta tanda tangan, harus H-1 karena ia memberi berkas kepada Harvey jam sembilan pagi.

Apalagi jadwal yang ngaret dan berantakan, biasa ia merasa bersalah, kalau meeting internal karyawan dan manager bisa memaklumi. Jika meeting exsternal klien dan vendor, tapi untung saja biasa ada vendor yang mengerti.

Orang tuanya tidak pernah complaint ia pulang bahkan lembur. Karena ini merupakan proses dirinya untuk maju ke depan. Sementara kekasihnya Nathan selalu tidak suka, ketika ia mengambil job ini, karena image sekretaris selalu negative, padahal seperti itu.

Sekarang ia sudah menyesuaikan diri sebagai sekretaris dan ia sangaat menikmatinya. Bahkan saat ini Harvey atasanya ia anggap temannya saja. Ia bisa ngobrol apa saja dengan Harvey, tidak jarang mereka makan siang bersama. Padahal dulu awal-awal bekerja di sini, pria itu menatapnya saja tidak mau.

“Poppy.”

“Iya, pak.”

“Saya pergi dulu ketemu klien.”

“Baik pak.”

“Kamu jaga kantor. Nanti jam dua saya kembali.”

“Baik pak.”

Poppy memandang Harvey pergi meninggalkan ruangannya. Setelah itu ia melangkah keluar mencari keberada Bella sahabatnya. Masuk ke ruangan public relations, ia menatap Bella di sana. Sahabatnya itu tersenyum, dan ia duduk di kursi kosong.

“Pak Harvey udah keluar?” Tanya Bella.

“Iya, udah.”

“Lo mau lunch di mana?” Tanya Poppy.

“Di mana ya, yang enak?”

“Gue temenin lo aja deh, gue masih kenyang soalnya, tadi udah brunch sama pak Harvey.”

“Yaudah makan di pantry aja, males mau keluar.”

Bella meninggalkan pekerjaanya sementara. Mereka lalu melangkah menuju pantry office, karena di perusahaan ini disediakan makan siang untuk karyawan. Poppy membuat teh hangat untuk menemani Bella makan siang.

Mereka duduk sambil memandang ke arah view kota Jakarta. Bella membuka kotak makannya, ia memandang Poppy, masalahnya kemarin pulang dari New York, Poppy belum cerita apa-apa, dan bagaimana pengalaman dia di sana bersama Harvey.

“Lo sama Nathan masih?” Tanya Bella, karena ia tahu sahabatnya pacaran dengan pria yang super rilegius seperti Nathan, isi IG nya semua siraman rohani. Oke, ia akui bahwa itu baik untul ketenangan jiwa.

“Masih.”

Bella tertawa, “Apa enaknya pacaran sama Nathan, Pop.”

“Dia good boy Bella. Dia calon suami yang baik.”

“Good boy, alim nggak menjamin untuk kamu bahagia kan? I know, Nathan oke, kerjaanya mapan, dia baik, dia sangat alim, bahkan gua bilang dia terlalu naif, sampe kayak gitu. Kaku banget gitu deh, nggak gua banget.”

“Ya, kan beda sama lo. Gue merasa terlindungi kalau sama dia.”

“Mungkin karena ada dia, lo dapat siraman rohani.”

“Kayaknya sih,” Poppy tertawa.

“Btw, lo belum cerita pas di New York kemarin. Lo sama pak Harvey gimana? Terus si Nathan marah lo pergi berdua sama Harvey?”

Poppy menarik nafas, ia memandang Bella yang sedang makan denagn tenang, “Ya, mau gimana lagi, kan gua kerja. Orang tua gue aja fine-fine aja gue pergi ke New York. Nathan marah sih, lumayan buat dia ngambek dua hari karena gue pergi ke New York. Tapi yaudalah, mau gimana lagi.”

“Terus.”

“Kalau sama Harvey, gue di sana kerja lah, ketemu beberapa klien, tanda tangan kontrak terus balik lagi ke Jakarta.”

“Sekamar nggak sama pak Harvey?”

Poppy menyungging senyum, ia menepuk bahu Bella, ia tahu Bella pasti menanyakan hal ini,

“Awalnya sih iya, karena kita perginya mendadak juga. Kebetulan hotel yang kita samper sisa satu kamar. Apalagi itu udah malam kan. Nunggu sampe besok siang baru ada kamar kosong. Terpaksa malam itu berdua.”

“Terus-terus,” Bella semakin penasaran.

“Yah, terus nggak ngapa-ngapain.”

“Boong banget,” sahut Bela.

Poppy hanya tertawa, ia sebenarnya malu cerita jika ia dan Harvey waktu di New York mereka ciuman panas dan mengebu-ngebu.

“Oke, gue jujur kalau gue sama pak Harvey kemarin sempat kissing, mungkin karena kebawa suasana dingin dan di kamar hotel. Tapi nggak sampe making love, sadar dua-duanya, yaudah nggak ngelakuin itu lagi. Besoknya kita pisah kamar.”

“Wow, udah gua duga sih,” Poppy cekikikan.

“Gimana? Hot?”

Poppy tertawa, “Lumayan hot. Udah ah, jangan bahas pak Harvey.”

“Kenapa?”

“Malu gua.”

“Ih lo, malu-malu cat deh. Gitu aja malu, gua yang sering tidur bareng sama cowok gua, biasa aja.”

“Seluruh gedung ini, pasti gosipin pak Harvey lah, secara doi oke, pemilik perusahaan, pasti mereka bakalan penasaran, cewek mana sih yang bisa luluhin si pak Harvey yang super cool itu.”

“Yang pasti bukan gua,” timpal Poppy.

“Tapi lo ideal banget gitu sama pak Harvey. Serasi kalau jalan bareng, satunya ganteng satunya cantik parah.”

“Muji gua mulu lo.”

Poppy dan Bela tertawa bersama.

“Oiya, Bel.”

“Kenapa?”

“Nathan ngajak gue tunangan. Menurut lo gimana?” Tanya Poppy.

“Ya terserah lo sih, lo yang jalanin.”

Poppy meneguk teh hangatnya, ia, “Gua sebenernya masih bingung, bimbang gitu. Gue nggak ngerti sebenernya kenapa. Padahal dulu gue pengen nikah sama cowok modelan Nathan. Tapi semakin ke sini, kayak ada barrier gitu.”

“Berati lo nggak cinta sama Nathan Pop.”

“Masa sih?”

Bella menarik nafas, memandang sahabatnya, “Apa enaknya sih pacaran dengan cowok modelan Nathan, masih konservatif gitu. Pemikiran kuno, cewek harus stay di rumah, harus jadi ibu yang baik, taat Ibadah. Kalau gua mah, males pacaran model Nathan. Enggak cocok di applikasikan jaman modelan kayak gini.”

“Nathan nggak asyik, nggak nikmat, dan sama sekali nggak seru,” ucap Bella, ia memasukan nasi ke dalam mulutnya.

“Gue merasa aman aja gitu deket dia, gue marasa terlindungi. Dia perhatian, dia agamanyaa baik, dia nggak macam-macam, dan dia nggak nakal intinya. Susah loh dapatin cowok modelan kayak Nathan.”

“Tapi ngebosenin,” ucap Bella.

“Exaclty,” ucap Poppy tertawa.

“Pak Harvey jam berapa balik kantor.”

“Jam dua.”

Bella melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 13.00, jam makan siang berakhir, ia sudah harus balik lagi ke kantor, takutnya Harvey tiba-tiba datang namun sekretarisnya masih nongkrong di sini. Bisa berabe urusannya.

***

Beberapa jam kemudian, jika sudah menjelang sore seperti ini, ia tidak terlalu banyak kerjaan. Ia tahu bahwa bos nya itu sudah berada di ruangannya. Mungkin sibuk sedang mengerjakan sesuatu, setelah memberinya pekerjaan dari beberapa klien. Poppy melihat ponselnya bergetar, “Nathan Calling”. Ia lalu menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga.

“Iya, Nat.”

“Kamu lembur lagi hari ini?” Tanya Nathan.

Poppy melihat jam yang melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.40 menit, “Kayaknya nggak. Kamu lembur?” Ucap Poppy karena sudah jam segini, Harvey belum memberinya tugas apapun. Kalau begini ia biasa pulang on time.

“Iya.”

“Yaudah aku pulang sendiri aja nanti.”

“Kamu hati-hati pulangnya, jangan ke mana-mana lagi.”

“Iya, Nat.”

Poppy mematikan sambungan telfonnya, ia mendongakan wajahnya memandang ke arah pintu, ia menatap Harvey di sana. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di sana. Ia yakin pria itu mendengar percakapannya dengan Nathan tadi.

“Kamu mau temanin saya minum beer?”

Alis Poppy terangkat, “Beer?” Tanya Poppy.

“Beer Garden,” ucap Harvey.

“Sekarang pak?” Tanya Poppy, ia melihat Harvey memegang tas kerjanya.

“Iya. Kita sekalian pulang.”

“Baik pak.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel