Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

BAB 4

Happy Reading

***

Poppy mengikuti langkah Harvey masuk ke dalam office. Ia segera menyiapkan kopi dan roti untuk Harvey. Ia tidak tahu kenapa Harvey datang secepat ini, padahal jika lihat schedule bahwa pria itu tidak ada meeting pagi. Ia meletakan tas di meja kerjanya, ia lalu bergegas ingin membuatkan Harvey kopi.

Harvey memandang Poppy menuju ke arah pantry, ia tahu wanita itu ingin membuatkannya kopi.

“Poppy.”

“Iya, pak,” ucap Poppy.

Harvey memandang penampilan Poppy, seperti biasa dia terlihat sangat menarik dengan penampilan dewasanya. Dia tahu bagaimana cara berpakaian yang baik. Wajahnya sangat enak di pandang dan makeup nya tidak berlebihan. Bibir penuhnya berwarna nude, ia akui bahwa mereka pernah berciuman panas, basah dan menyeluruh. Ingin sekali ia mencium bibir itu lagi.

“Saya ingin brunch di luar, kamu temani saya,” ucap Harvey tenang.

“Baik pak. Sekarang atau nanti?” Tanya Harvey.

Harvey melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.30 menit, “Setengah jam lagi. Karena jam makan siang saya mau bertemu dengan rekan bisnis saya.”

“Baik pak.”

“Untuk tanda tangan berkas, bawa ke meja saya.”

“Baik pak,” ucap Poppy.

Poppy menatap Harvey masuk ke dalam ruangannya. Ia lalu masuk ke meja kerjanya. Ia mengambil map berisi beberapa berkas dari divisi lain. Kemarin ia sudah memeriksa laporan ini satu persatu, namun ia mengecek lagi, takut terjadi keselahan. Beberapa menit ia memeriksa, ia cukup teliti akan hal ini.

Setelah itu ia masuk ke dalam ruangan Harvey, ia menatap pria itu sedang duduk di meja kerjanya. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Poppy tersenyum dan lalu menyerahkan berkas itu kepada Harvey.

Poppy mendekati kursi kosong di depan meja kerja Harvey, ia duduk dan lalu menyerahkan map itu kepada Harvey.

“Ini pak berkasnya.”

“Sudah kamu periksa?”

“Iya, sudah pak.”

Harvey mengeluarkan berkas itu dari map, ia mengambil pulpen dan lalu lalu menandatangani berkas-berkas itu. Setelah itu Harvey menyerahkan kepada Poppy. Poppy kembali ke ruangannya, membawa berkas-berkas di tangannya.

Ia duduk di kursinya, ia mendengar suara ketukan dari arah luar, ia menatap Bella di sana, ia berikan senyum terbaik kepada sahabatnya itu, dia mengenakan rok pensil hitam dan kemeja putih. Wanita itu lalu duduk di kursi.

“Ini berkas untuk pak Harvey.”

“Tanda tangannya sekarang?”

“Besok juga nggak apa-apa,” ucap Bella, ia memandang sahabatnya.

“Gimana mood bapak?”

“Yah, biasa aja sih. Bentar lagi mau brunch.”

“Tumben, biasa breakfast di kantor. Ngajak lo juga?” Tanya Bella.

“Iya tuh nggak tau angin apa. Kerjaan lo banyak?” Tanya Poppy.

“Lumayan, nanti lo makan siang sama siapa?”

“Sendiri sih, nanti siang pak Harvey mau ketemu rekan bisnisnya gitu.”

“Yaudah nanti kita makan siang bareng aja. Jarang-jarang gua lunch sama lo.”

Bella beranjak dari kursinya, “Yaudah gua balik dulu ya, nggak enak lama-lama di sini, ada boss.”

Poppy tersenyum, “Iya.”

Poppy melihat kepergian Bella. Ia memasukan berkas dari Bella ke dalam map. Beberapa menit kemudian ia memandang Harvey berada di depan pintu ruangannya. Ia otomatis bergerak mengambil tas nya, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00. Ya ampun, ternyata waktu cepat sekali berlalu.

Harvey memandang Poppy sudah berdiri di sampingnya, “Sudah?”

“Iya, sudah pak.”

“Kita mau brunch di mana pak?” Tanya Poppy, ia mengingat bahwa roti yang ia beli tadi masih di dalam paperbag, sayang sekali tidak di makan.

“Yang dekat dari sini saja. Pasola.”

“Baik pak.”

Poppy dan Harvey melangkahkan kakinya menuju lift, lift membawa mereka menuju lantai basement. Mereka menggunakan mobil ke sana, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Poppy memperhatikan Harvey yang hanya diam, ia suka Harvey, karena dia sangat cool. Walau diam seperti itu, membuat jantungnya tidak karuan. Seketika ia teringat kata-kata dari Nathan, bahwa dia menginginkan pertunangan. Ia harus membicarakan ini dengan orang tuanya kelak, bahwa Nathan akan melamarnya.

***

Beberapa menit kemudian, mereka kini duduk di salah satu table kosong. Suasana restoran sangat contemporary, elegan dan eksklusif. Tidak terlalu ramai, namun hampir semua table terisi, mungkin karena jarak table dan table lainnya berjauhan sehingga nampak lengang.

Ia menatap pemandangan-pemandangan sekitar SCBD yang menurutnya magnificent. Mereka memesan menu ala carter berupa wood smoked wagyu beef briket. Kata servernya daging ini melalui proses masak selama 8 jam, yang di masak dengan rubbing coffee black honey bumbu rujak. Katanya daging sapinya benar-benar empuk. Mereka juga memesan signature mango mille feuille. Tidak lupa kopi untuk mereka berdua.

Harvey mengambil gelas berisi air mineral, ia meneguknya, sambil menatap Poppy di hadapann. Tidak lama kemudian kopi mereka datang. Ia menarik nafas, ia memasukan gula sedikit ke dalam kopi, sambil memperhatikan ekpresi Poppy.

Semakin dewasa ia semakin tidak ingin basa basi, kalau menjadi hubungan langsung to the point saja. Antara take it or leave itu, jika Poppy merasa resah karena ciuman mereka. Mungkin wanita itu menjauh, buktinya sekarang wanita itu tetap stay kepadanya.

Ia melihat kemarin rumah orang tua Poppy, ia yakin dia bukan wanita yang kekurangan apapun, dia bisa saja tidak bekerja, orang tuanya dan saudaranya bernama Aksa pengusaha yang baik. Bisa saja membantu bisnis keluarganya, bukan menjadi sekretarisnya.

“Kamu cantik hari,” ucap Harvey, itu lah yang ada di dalam pikirannya saat ini.

“Thank you.”

Harvey menyesap air kopinya secara perlahan, ia masih memperhatikan Poppy, “Orang tua kamu kerja apa?” Tanya Harvey penasaran, mengingat bahwa Poppy itu bukan gadis biasa menurutnya.

“Punya usaha toko kain di tanah abang.”

“Bisnis yang menjanjikan,” ucap Harvey, akhirnya Harvey tahu kalau orang tua Poppy seorang pengusaha.

“Kenapa nggak bantu usaha keluarga saja?”

“Saya bekerja dengan kamu, sebenarnya ingin belajar bagaimana membuat bisnis semakin maju. Dan saya berusaha bekerja dengan baik, lalu setelah itu saya membantu bisnis keluarga. Saya nggak selamanya menjadi sekretaris kamu.”

“Selama kamu bekerja dengan saya, kamu sudah bekerja cukup baik. Saya suka dengan kerjaan kamu.”

Poppy tersenyum, “Terima kasih pak.”

“Saya boleh bertanya.”

“Tanya apa pak?”

“Bagaimana kalau kamu memiliki pacar yang kurang pintar dari kamu?” Tanya Harvey, ia menatap server datang membawa makanan mereka. Kini pesanan mereka sudah lengkap.

Poppy tertawa, ia memandang Harvey, “Why? Kenapa kamu tanya itu, padahal kamu pasti tahu jawabannya.”

“Tanya basa-basi aja, agar kita ada obrolan,” ucap Harvey ikut tertawa.

“Pasti bakalan saya skip lah, buat apa ngobrol sama pria nggak nyambung, banyak emosinya,” ucap Poppy tertawa.

“Terus,” tanya Harvey, ia memakan hidangan utama.

“Kalau saya pribadi, kalau cari pasangan atau calon suami yang sepadan. Saya pastikan pria itu sefrekuensi sama saya. Apakah level pendidikannya sama, pola pikirnya sama, itu penting banget sih menurutnya.”

“Saya nih, kalau cari pasangan udah redflag banget kalau soal pandangan. Saya selalu jatuh cinta dengan pria lebih pintar dari saya. Saya dulu sempat dekat dengan pria yang kurang pintar tapi baik, karena selama saya berinteraksi dengan dia, kalau dia menyelesaikan masalah, selalu berfikir, “Kok bisa ya dia seperti itu” ujung-ujungnya saya yang toxic.”

“Pria yang punya pengetahuan yang luas itu punya nilai plus buat saya. Bisa jadi motivasi saya buat belajar. Saya gampang banget sih jatuh cinta sama pria yang pengetahuannya luas, apalagi ngajarin saya tanpa merendahkan.”

“Kalau kamu?”

“Kurang lebih sama dengan kamu. Saya suka dengan wanita yang ngobrol nyambung dengan saya, seperti kamu.”

Poppy tersenyum, ia memasukan daging ke dalam mulutnya, ia menatap Harvey dan Harvey memandangnya balik. Pria itu tersenyum kepadanya, senyumnya sangat manis, bahkan lebih baik dari Nathan, apalagi soal ciuman. Harvey jauh lebih hebat, ia ingin tahu bagaimana pria itu di ranjang, apakah dia bisa membuatnya orgasme berkali-kali. Oh Tuhan, kenapa dirinya bisa berpikiran untuk tidur bersama Harvey. Ia ingin sekali menghantukan kepalanya ke dinding.

“Oiya pak.”

“Apa?”

“Jumat, ini saya izin pulang awal.”

“Ada apa?”

“Saudara saya akan bertunangan, jadi saya ikut prepare.”

“Iya, nggak apa-apa. Berarti besok?”

“Iya.”

“Terima kasih pak.”

“Sama-sama.”

Harvey dan Poppy makan dengan tenang, mereka ngobrol ringan tentang masalah apa saja, dari pekerjaan hingga masalah hal penting di kantor. Semua di bicarakan dengan baik. Pada dasarnya mereka senang ngobrol bersama.

“Poppy.”

“Iya.”

“Soal yang di New York kemarin, saya minta maaf, karena sudah cium kamu dengan lancang.”

“Iya, tidak apa-apa.”

“Terima kasih. Habisin makanan kamu.”

“Baik pak.”

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel