BAB 5
HAPPY READING
***
Jelita dan Ernest tadi baru saja habis dari dari Sainsbury yang terletak tidak jauh dari rumah Ernest, tepatnya di pasar Covent Garden. Jaraknya hanya sekitar dua kilometer. Ia melihat banyak store lokal seperti Oxford Cirtus, Bond Street dan Harrods. Di tambah banyaknya toko-toko vintage, toko barang mewah. Kalau di Eropa toko-toko akan buka dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Jelita dan Ernest masuk ke dalam Supermarket, supermarketnya besar dann besar, terdiri dari restoran , shopping park dengan lima restoran, tepatnya di tepi jalan besar.
Banyak toko-toko ternama berjejer sepanjang jalan, seperti Louis Vuitton dan Tiffany & Co. Ini sudah jam makan siang, banyak sekali pengunjung yang datang, bahkan ada beberapa restoran penuh.
Mereka masuk ke dalam supermarket itu, ia membeli barang-barang yang diperlukan seperti beef, ayam, tuna kaleng, roti dan bumbu masakan, sayangnya bumbu asia terbatas di toko ini, itu juga kebanyakan bumbu berasal dari Thailand. Ia hanya membeli beberapa saja, ia melihat Ernest membeli beer Anheuser-Busch InBev. Setelah itu Ernest membayar tagihan di kasir. Ernest memasukan barang belanjaanya ke dalam bagasi, mereka lalu pulang.
Ernest memanuver mobilnya, ia memperhatikan jarak mobil dengan mobil lain. Katanya bangunan pasar ini didirikan tahun 1830 umurnya lebih dari 180 tahun, bangunan semuanya masih berdiri tegak, dan kata Ernest ini merupakan pasar terpopuler di London.
“Kamu pernah nonton opera nggak?” Tanya Ernest ia membuka topik pembicaraan, karena ia tanpa sengaja melihat iklan opera house di tepi jalan.
“Pernah sekali di Broadway di Times Square, tepatnya di New York dua tahun lalu, pergi sama teman saya. Di sini ada Opera?”
“Ada di The Royal Opera House? Sejujurnya saya belum pernah nonton. Mungkin karena jiwa seni saya kurang.”
“Uh dasar ya, tapi seru kok.”
“Gimana kalau kita nonton besok?”
“Seriusan! Kamu mau ajak saya nonton?”
“Iya, serius. Itu tadi saya lihat bennernya di tepi jalan. Saya akan membeli tiketnya secara online.”
“Kamu baik banget.”
“Saya melakukan ini, agar kita sama-sama bisa nikmati liburan. Jujur awalnya saya bingung masa libur saya, akan saya bawa ke mana. Saya tidak tahu ini takdir atau bukan, saat liburan saya tiba, akhirnya saya bertemu kamu, dan jadinya saya tidak sendiri.”
“Saya juga ingin nonton Grand National di Liverpool.”
Alis Jelita terangkat, ia lalu memandang Ernest, “Grand National itu kompetisi balap kuda yang terkenal itu?”
“Iya. Kamu pernah ke sana?”
“Belum pernah.”
“Jujur saya ingin nonton. Kebetulan saya salah satu penggemar bermain kuda dulu sebelum jadi pilot.”
“Owh ya?”
“Iya, kuda salah satu hewan favorit saya selain kucing. Menurut saya, berkuda bukan perkara menunggang hewann. Sejak umur 9 tahun saya sudah diperkenalkan kuda milik kakek saya di perternakan kuda. Sempat berhenti karena saya saat itu saya sekolah di Amerika, ikut ayah saya. Hanya beberapa tahun. Lalu balik lagi ke Jakarta berkuda lagi.”
“Di mana perternakan kuda milik kakek kamu?”
“Di Kawasan Limo, Depok.”
“Jangan bilang itu Artha? Milik kakek kamu.”
“Iya, itu milik kakek saya.”
“Saya pernah ke sana.”
“Owh ya? Ngapain.”
“Jelas berkuda Ernest, untuk apalagi saya ke sana.”
Ernest tertawa, “Saya bertahun-tahun di sana, ikut memilihara kuda bersama kakek saya, dan saya menyadari kalau kuda bagian dari saya. Bagian paling penting yang harus saya ketahui adalah antara ketertarikan emosi antara keduanya.”
“Iya, kamu benar. Saya juga sebenarnya senang berkuda. Menurut saya kita berkuda bukan hanya sekedar perkara duduk di punggung hewan gagah itu, tapi perlu terjalin emosi di antara keduanya.”
“Kamu mau menonton kompetisi kuda bersama saya?”
“Iya, tentu saja Ernest, saya sama sekali tidak menolaknya. Itu tujuan saya ke London kan.”
Ernest tersenyum penuh arti, liburannya kali ini benar-benar akan dipenuhi oleh Jelita. Ia melirik Jelita wanita itu tersenyum kepadanya, senyumnya sangat cantik dan menawan. Ernest meneruskan perjalanannya hingga ke rumahnya.
***
Beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di rumah, Jelita membantu Ernest membawa barang-barang belanjaan masuk ke dalam rumah karena belanjaan mereka tidak sedikit. Jelita meletakan barang belanjaan di atas meja kitchen, ia menyusun bahan-bahan kering seperti beras, bumbu dapur ke tempatnya. Ia menaruh beberapa produk berdasarkan katagori yang sejenis. Untuk minuman ia kelompokan ke dalam lemari pendingin.
Dapur Ernest ini sudah rapi, ia menaruh bahan-bahan seperti daging ke freezer, lalu terakhir bahan-bahan kering ia taruh ke dalam lemari.
“Kamu yang bersihkan rumah sendiri?” Tanya Jelita ia memandang Ernest yang berada di sampingnya, pria itu menyusun segala perelengkapan dapur.
“Iya, kadang-kadang. Tapi kalau sudah kotor sekali, saya menggunakan jasa pembersih yang ada di online.”
“Ada?”
“Iya ada, bayar service nya perjam sekitar 45 poundsterling.”
“Lumayan mahal juga ya.”
Ernest menyungging senyum, “Itu perjam pertama, dan melewati itu saya harus membayar 55 poundsterling setelahnya.”
“Berarti setiap kamu ingin membersihkan rumah, harus membayar mahal itu semua.”
“Ya mau gimana lagi, biasa saya selalu berpergian ke Barcelona, Dublin, Ibiza, Jersey, Frankfrut, Florence, Madrid, New Castel, Palma, yang biasa mengharuskan saya menginap di suatu tempat, kadang pulang-pulang saya ingin tenang, justru rumah keadaan berdebu.”
“Saya menitip pesan kepada pak Harry tetangga saya untuk membuka kunci rumah saya untuk para pembersih rumah datang.”
“Jadi pak Harry tetangga kamu ada kunci akses masuk ke sini.”
“Iya, ketika saya berangkat ke luar kota atau perjalanan Internasional yang tidak memungkinkan saya pulang. Saya selalu menitipkan kunci rumah saya kepada mereka. Mereka mengatakan kepada saya, kalau saya lebih baik menikah saja, agar rumah saya tidak kelamaaan kosong.”
“Terus kamu jawab apa?” Tanya Jelita.
“Saya jawab, semoga dipertemukan dengan jodoh saya segera,” Ernest terkekeh, ia melihat Jelita menaruh daging slice beef,
“Bukannya pilot dan pramugari biasa pacaran ya?”
Ernest terdiam beberapa detik, “Ada benarnya, kadang tidak juga. Pilot dan pramugari seperti saya jarang bisa selalu bekerja di pesawat yang sama terus menerus. Kita system kerjanya rolling, sehingga susah untuk timbul benih-benih cinta seperti dikatakan orang-orang di luar sana.”
“Namun ada juga sebagian bisa menjalin asmara, karena timbul ketertarikan itu ada. Namun saya sendiri tidak pernah menjalin asmara dengan pramugari. Entahlah, saya juga tidak mengerti, pernah dekat, namun sebatas dekat lalu saya menjauh.”
“Kenapa? Bukannya pramugari itu cantik-cantik.”
“Kita memang bekerja dituntut untuk berpenampilan rapi, wangi, teratur, disiplin. Namun tetap saja, namanya hati, tidak bisa dipaksa kan.”
“Jadi kamu selama ini tidak pernah menjalin dengan satu profesi.”
“Tidak pernah.”
Jelita memperhatikan Ernest, ia melihat struktur wajah itu, “Kamu tampan Ernest. Sangat tidak mungkin ada yang tidak suka, apalagi kamu kapten.”
Tersenyum mendengar kata tampan dari bibir Jelita, “Terima kasih kamu sudah mengatakan saya tampan Lita.”
Jelita melirik Ernest dan ia tertawa, “Ya, saya mengakui kalau kamu memang tampan. Sudah lah, lupakan,” ucap Jelita, wajahnya lalu bersemu merah, bohong sekali jika ada wanita mengatakan Ernest jelek. Wajahnya bak dewa Yunani, mungkin lebih mirip Apollo yang merupalan dewa tertampan dari para dewa.
“Iya, saya tahu. Kalau menurut saya tidak cocok dengan kepribadian saya bagaimana? Percuma kan?”
“Iya kamu benar, ini tentang hati bukan fisik,” ucap Jelita.
“Apa susah nerbangin pesawat?”
“Kamu mau belajar nerbangin pesawat?”
“Iya, saya mau tau.”
“Biasa saya lihat pilot ada dua, duduk di kanan dan kiri, kamu sebelah mana?” Tanya Jelita, ia menatap Ernest.
Ernest memandang Jelita, ia menatap iris mata itu, Ernest mengubah posisinya menjadi sebelah kiri, mereka berdampingann dan jaraknya sangat dekat. Jelita menoleh memandangnya,
“Ibaratnya posisi saya di sebelah kiri dan kamu kanan,” ucap Ernest memberi intruksi.
“Kira-kira posisi seperti ini. Saya captain posisinya sebelah kiri dan co-pilot sebelah kanan.”
“Kenapa sebelah kiri?” Tanya Jelita.
“Dulu sebelum ada GPS pada masa-masa awal dipopulerkan menggunakan pesawat, pilot hanya mengendalikan landmark atau tanda-tanda daratan untuk navigasinya. Meski saat ini sudah modern, bisa dikontrol, baik itu posisi kiri dan kanan, namun kebiasaan itu tetap dipertahankan.”
“Saya pernah lihat kalau tombol pesawat itu banyak banget, itu bagaimana?” Tanya Jelita.
“Paling banyak tombol itu, di co-pilot, tepatnya disebelah kanan, namun itu tombol tidak terlalu penting maksud saya bukan kebutuhan utama seperti saklar lampu, lampu-lampu lain, starter relay. Yang penting-penting itu ada di kiri, seperti kunci kontak, GPS, indicator air speed, altitude, altimeter, trun and bank, directional gyro, kalau saya jelasin panjang.”
Jelita memandang Ernest, ia tersenyum kepada pria itu, “Jujur saya senang, kamu membagikan pengalaman kamu ketika di pesawat bersama sama. Ini benar-benar informasi yang baru untuk saya. Saya pikir kamu sangat cerdas hingga berada di posisi ini.”
Ernest tertawa, “Biasa saja Jelita.”
“Saya harus mengakui kaau profesi pilot seperti kamu itu sangat keren Ernest,” Jelita melihat Ernest tertawa, tawanya sangat khas, tidak berlebihan, dan membuatnya sangat tampan.
“Kalau perjalanan jarak jauh bagaimana? Misalnya dari Jakarta ke London butuh waktu 17 jam hingga 18 jam perjalanan di udara,” ucap Jelita.
“Pertanyaan yang sangat bagus,” seru Ernest tertawa.
Ernest menatap Jelita, “Jaman sekarang itu sudah autopilot, hampir semua pesawat di dunia ini sekarang autopilot sudah modern. Di mana pesawat bisa terbang dengan sendirinya, tapi bukan berarti peran pilot tidak tergantikan.”
“Saya dulu sering perjalanan jauh seperti Singapura – Los Angeles yang terbang 17 jam non-stop. Tentunya tidak berdua saja pilotnya. Ada empat pilot yang bertugas, sistemnya shift biasanya berganti setiap 3 – 6 jam, selagi dua pilot lainnya beristirahat.”
“Kamu sering perjalanan ke mana?”
“Sampai sekarang saya melakukan perjalanan Internasional. Ah ya, mungkin tidak banyak orang tahu tentang pilot yang jarang terekspose. Mengisi dokumen ketika landing, ngecek fuel apakah sesuai dengan prediksi atau tidak, posisi pesawat, seperti paperwork lah, kadang malah lebih sibuk ngurusin dokumen daripada ngurusin pesawat.”
“Pernah nggak sih kamu ketemu pesawat lain ketika di atas.”
“Kalau perjalanan saya dari Eropa ke US mungkin ada. Tapi kalau saya pribadi jarang bahkan tidak pernah.”
“Bukannya tadi autopilot, itu bisa di stel star-finish nggak? Maksud saya control sampai tujuan.”
“Bisa, bisa banget. Cuma ada hal-hal sifatnya tidak bisa diperkirakan, seperti badai, terus awan cumulonimbus atau berganti landasan.”
Jelita dan Ernest sadar bahwa posisi mereka saat ini sangat dekat, bahkan bahu mereka menempel, ada pergerakan signifikan, yang membuat mereka terdiam entah dorongan apa, tiba-tiba Ernest mengurung tubuh Jelita. Kedua tangannya berada antara meja. Jelita hanya bergeming, ia menelan ludah, ia merasakan hembusan nafas Ernest berada di permukaan wajahnya. Jantungnya maraton tidak karuan,
“Setelah landing, saya istrirahat di hotel memulihkan tenaga untuk trip selanjutnya,” ucap Ernest pelan melanjutkan ucapannya.
“Terus,” ucap Jelita pelan.
“Melakukan perjalanan selanjutnya, kembali ke negara di mana saya tinggal.”
“Kamu pasti capek ,,,.”
“Tidak ada pekerjaan yang tidak capek, terlebih saya pilot. Keselamatan pesawat ada di tangan sang penerbang. Tanggung jawab terbesar saya adalah membuat penumpang nyaman dan menjaga keselamatan mereka.”
Debaran jantung semakin Jelita tidak karuan, karena posisi mereka semakin dekat, bahkan hembusan nafas terasa di bawah permukaan wajahnya. Ernest melihat bibir Jelita, bibirnya penuh dan sensual, ia ingin tahu bagaimana menyentuh bibir itu. Mereka saling terdiam beberapa detik, dan saling menatap satu sama lain.
Jelita sadar bahwa tangan Ernest sudah berada di tengkuknya, ia lalu menyadari bahwa pria itu sudah bersiap untuk menyatukan bibir mereka berdua,
“Saya mau masak,” ucap Jelita pelan membuyarkan lamunan mereka.
“Maaf tadi saya menyentuh kamu.”
“Tidak apa-apa.”
***