BAB 6
HAPPY READING
***
Ernest memilih duduk di kursi, ia memperhatikan Jelita yang sedang memakan. Ia tidak tahu kenapa ia tiba-tiba ingin mencium wanita itu. Ia hanya takut tindakannya itu membuat Jelita salah paham, jadi ia mengurungkan niatnya. Ia memandang Jelita menaruh dua jenis makanan, berupa beef teriyaki nasi putih dan, sayur brokoli. Masakan sederhana namun tampak segar.
Jelita melihat Ernest menuangkan air mineral ke dalam gelas. Mereka duduk saling berhadapan, Ernest mengambil sendok dan garpu, ia mencicipi masakan Jelita. Masakannya sangat enak walau sederhana.
“Bagaimana?”
“Enak,” ucap Ernest lalu tersenyum.
Ernest memandang Jelita, “Di rumah kamu sering masak?”
“Tidak pernah sama sekali, saya tidak dibiarkan menyentuh dapur oleh orang tua saya. Asisten di rumah yang full masak. Saya belajar masak, karena tuntuan orang tua, sejenis kursus saja, hal-hal basic.”
“Kamu masih tinggal sama orang tua?”
Jelita mengangguk, “Iya, masih, kenapa?”
“Saya pikir kamu tinggal sendiri.”
“Orang tua saya, tidak mengijinkan saya tinggal sendiri, pernah tinggal sendiri dulu waktu saya kuliah di Singapur itupun full ada asisten yang ikut saya.”
Ernest sekarang tahu bahwa Jelita mengenyam pendidikan sarjana di Singapur, “Kuliah jurusan apa?”
“Humaniora.”
“Oiya, saya hampir lupa. Kenapa kemarin kamu di PUB sendiri?”
Jelita menarik nafas, ia menyelesaikan makannya. Ia menatap Ernest, yang sedang berada di hadapannya,
“Kemarin saya menunggu sepupu saya, namanya Lidya, kebetulan dia sedang melanjutkan S2 di sini, saya dan dia, janjian untuk bertemu, tapi justru ketika saya tunggu dia tidak kunjung datang. Akhirnya saya memilih menunggunya di PUB, dan lalu saya tidak ingat apa-apa.”
Ernest ingat bahwa kemarin ia melihat ada banyak panggilan tidak terjawab oleh Lidya. Ia tahu kalau wanita bernama Lidya itu ada keluarga Jelita. Ia yakin Lidya pun panik ternyata Jelita tidak berada di tempat. Ia bergerak secara stematis mengambil piring kosong di meja, dan memasukan ke dalam mesin pencuci piring.
Ernest melirik Jelita yang berada tidak jauh darinya, “Kamu istirahat ya setelah ini. Kamu pasti capek banget setelah kita bolak-balik kantor polisi, dan KBRI.”
“Iya, saya juga mau beresin pakaian saya juga.”
Ernest dan Jelita menjauhi dapur, kini mereka sudah berada di bawah tangga, “Saya ke atas dulu.”
“Iya. Kalau kamu butuh bantuan kasih tau saya, kamar saya ada di situ, kamu pasti tahu.”
“Iya.”
Ernest menatap Jelita menaiki tangga, sementara dirinya langsung masuk ke dalam kamar setelah tubuh Jelita menghilang. Ia masuk ke dalam, melangkah menuju kamarnya, ia membuka pakaiannya, ia menuju ke lemari berangkas, ia melihat ada beberapa barang berharga milik Jelita di dalamnya, ia membuka satu persatu berkas itu. Ia melihat dokumen-dokumen penting miliik Jelita, bahkan ada kartu nama tempat usaha miliknya. Ia tidak tahu, sampai kapan ia menyimpan dokumen-dokumen ini.
Ernest lalu melangkah menuju tempat tidur, ia mengambil ponselnya di nakas, ia memesan tiket opera dan Grand National lewat online. Ia akan mengajak wanita itu pergi keluar pekan ini. Ia benar-benar akan menikmati hari-harinya dengan putri bangsawan itu. Bidadari mana yang Tuhan turunkan kepadanya hingga ia bisa tinggal bersama anak bangsawan.
Ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia melihat nama “Sunny Calling” pada layar ponselnya, ia lalu mengangkat panggilan itu,
“Iya, Sunny,” ucap Ernest di balik layar ponselnya.
“Hari Ernest. Apa kamu sibuk hari ini?” Tanya Clara.
“Iya, saya sibuk.”
“Ah, sayang sekali. Padahal saya tadi ingin mengajak kamu pergi, katanya kamu sedang cuti.”
“Iya, saya sedang cuti dan saya ada beberapa urusan. Kamu tidak bekerja?”
“Bekerja, orang tua saya mengundang kamu datang ke rumah untuk makan malam. Apa kamu bisa?”
Ernest terdiam beberapa saat, Sunny adalah warga korea yang sudah menetap di London. Ibunya berwarganegara Korea dan ayahnya Letnan angkatan udara Inggris. Ia kenal dengan ayahnya Sunny, namanya tuan Carlo ketika di bandara dua tahun lalu. Tuan Carlo lalu mengenalkan putri cantiknya bernama Sunny, dia bekerja di sebuah bank sebagai manager. Ia sempat dekat, saling memberikabar, namun semakin ke sini, dia tidak begitu menarik di matanya.
Entahlah, namanya juga sedang pendekatan, masih dalam pencarian jodoh, buat dirinya semua kenalan wanita tanpa kemunafikan, ia selalu menilai apakah obrolan mereka nyambung atau tidak, apakah ia memiliki chemistry atau tidak, ketika makan apa makannya berbunyi keras. Mereka memang sudah sempat dinner di kencan pertama, namun ia merasa tidak memiliki prospek yang cocok untuk lanjut 2nd date.
“Maaf Sunny, mungkin lain kali saja. Saya sedang kedatangan tamu di rumah. Saya tidak enak meninggalkan dia.”
“Apa dia keluarga kamu?”
“Bukan, teman saya dari Jakarta. Maaf ya, saya tidak bisa.”
“Iya, tidak apa-apa Ernest. Mungkin lain kali saja.”
Ernest lalu mematikan sambungan telfonnya, ia menaruh ponselnya di meja. Lebih baik ia tidur saja, memikirkan bagaimana kehidupannya dengan putri bangsawan bernama Jelita.
***
Malam harinya, Jelita duduk di kursi, ia meletakan peralatan makeupnya di meja. Ia tadi menyusun pakaiannya di dalam lemari. Pakaian yang ia bawa tidak terlalu banyak, hanya beberapa helai saja untuk liburan. Ia melihat penampilannya di cermin, ia menyisir rambutnya dengan tangan, ia memandang ke arah jendela, menatap langit sudah gelap.
Aksi melarikan dirinya dari keluarga, akhirnya ia terdampar di sini bersama pria berkawarganegaraan yang sama, seperti dirinya. Untung saja pria itu sangat baik membantunya, jika tidak ia sudah menjadi gelandangan. Ah, ya, ia hampir lupa kalau ia harus menghubungi kedua orang tuanya, agar terlalu mengkhawatirkannya. Ia harus meminjam ponsel Ernest, mengirim pesan kepada mas Arya.
Tok … tok …
Jelita menoleh ke arah sumber suara, ia mendengar suara ketukan dari pintu, ia melangkah mendekat dan membuka hendel pintu. Ia menatap Ernest di depan pintu kamarnya, dia mengenakan celana jins dan kaos berwarna hitam.
“Kamu belum turun ke bawah?”
“Kenapa?”
“Saya dari tadi nunggu kamu di bawah, tapi kamu tidak kunjung turun. Ini sudah malam, kamu tidak makan?” Tanya Ernest, ia melihat penampilan Jelita dia mengenakan dress berwarna navy tanpa lengan. Rambut panjangnya tergulungg hingga ke atas
“Kamu mau makan apa? Nanti saya masakin untuk kamu,” ucap Jelita, ia sudah menumpang di sini jadi ia harus ada timbal balik. Ia tahu bagaimana adab menumpang di rumah orang, seumur hidupnya, baru kali ini ia tinggal dengan orang lain, selain orang tuanya.
Sejak kecil ia memang membiasakan diri untuk menjaga kesopanann saat bertemu di rumah orang. Tentu saja, jika di sini ia harus bantu-bantu apa yang menjadi kebutuhan Ernest, ia tidak ingin hanya numpang tinggal saja. Karena ia sudah terlalu banyak merepotkan Ernest di sini.
“Apa kamu tidak lelah setelah merapikan kamar?”
“Tidak, sama sekali tidak Ernest.”
Jelita lalu keluar dari kamar, ia menuruni tangga bersama Ernest, ia dapat mencium aroma parfume dari tubuh pria itu, aroma parfum tubuh Ernest beraroma aqua, ringan, tidak menyengat dan segar.
“Oiya Ernest, saya boleh pinjam ponsel kamu? Saya akan menghubungi kantor mas Arya, saya yakin mas Arya juga sibuk nyariin saya.”
“Iya, boleh.”
“Kalau di Jakarta, di sana jam berapa?” Tanya Jelita.
Ernest melihat jam di tangannya, saat ini jam sudah menunjukan pukul delapan malam, “Jam 3 subuh, Jakarta cepat tujuh jam dari London.”
“Mungkin mas Arya sudah tidur. Lebih baik saya telfon jam 11 malam saja, karena mas Arya biasa selalu bangun pagi buat olahraga.” ucap Jelita.
“Tapi kalau mau dicoba hubungi sekarang tidak apa-apa, siapa tahu belum tidur kan,” ucap Ernest.
“Saya ambil ponsel dulu di kamar,” ucap Ernest.
Jelita melihat Ernest pergi meninggalkannya dan dia masuk ke dalam kamarnya. Jelita terdiam beberapa saat, jika ia menghubungi mas Arya, ada kemungkinan mas Arya akan melacak keberadaanya di sini, lalu menyuruhnya pulang dan ia menikah. Tapi ia juga tidak ingin membuat keluarganya terus khawatir kepadanya. Dengan satu nomor pasti akan ketahuan, nama, alamat, hingga tempat tinggal. Apalagi ayahnya orang berpengaruh di Jakarta. Nama Ernest pasti sudah tercatat di KBRI dan sangat mudah dikenali. Dia satu-satunya pria yang berkarir di maskapai apalagi seorang kapten Pilot, urusan apapun pasti di bawah KBRI. Ah, ia jadi bingung sendiri, apakah ia harus memberitahu atau tidak.
Semenit kemudian Jelita melihat Ernest membawa ponsel di tangannya, pria itu melangkah mendekatinya.
“Ini ponsel saya, kamu bisa hubungi saudara kamu.”
Jelita menatap Ernest, “Saya tidak yakin untuk menghubungi mas Arya.”
“Kenapa?”
“Kalau saya telfon, pasti mereka tahu nomor ponsel kamu, lalu melacak keberadaan kamu dan dengan mudahnya mencari alamat kamu.”
“Katanya kamu mau telfon ke nomor kantornya.”
“Tapi tetap saja bisa dilacak, Ernest.”
“Jadi kamu tidak mau menghubungi keluarga kamu?”
“Saya hanya takut kalau, mereka tahu nomor ponsel kamu, mereka akan tahu nama lengkap kamu, kerjaan kamu apa, di mana kamu tinggal.”
“Ya tidak apa-apa, agar orang tua kamu tidak khawatir, Lita.”
“Tapi saya tidak mau pulang Ernest, saya tidak mau dinikahkan oleh mereka!”
Ernest melihat tatapan Jelita, padahal beberapa detik yang lalu wanita itu ingin menghubungi keluarganya, lalu berubah pikiran tiba-tiba, tidak ingin menghubungi lagi.
“Saya hubungi sahabat saya saja, namanya Ester, tetangga saya, kita berteman sudah sejak lama.”
“Kamu hafal nomor whatsapp nya?”
“Iya, saya hafal, dia sahabat saya, kita ke mana-mana selalu bersama,” ucap Jelita.
Ernest menyerahkan ponselnya kepada Jelita. Jelita mengambil dari tangan Ernest, ia melihat ponsel pria itu tidak terkunci. Jelita memasukan nomor ponsel Ester ke dalam ponsel itu, lalu terhubung oleh whatsapp. Ia memencet tombol hijau pada layar, ia berharap bahwa Ester belum tidur jam segini. Ia mendengar suara terhubung, ia menunggu beberapa detik, sambil memandang Ernest yang berada di hadapannya.
Beberapa menit kemudian akhirnya ponsel itu terangkat, “Halo,” ucap seorang wanita dengan suara khas bangun tidur.
“Es, ini gue Jelita,” ucap Jelita.
Ester lalu terperanjat mendengar nama Jelita di balik ponselnya, “Jelita! OMG! Ini lo!” seru Ester, ia kemarin mendengar dari orang tua Ester kalau Jelita melarikan diri dari rumahnya. Jelita kabur Karena hendak dijodohkan dengan pria pilihan orang tuanya..
“Iya ini gue,” ucap Jelita.
“Sumpah demi apa! Lo di mana?” Tanya Ester, rasa kantuknya seketika hilang mendengar nama sahabatnya, karena ia kasihan kepada orang tua Ester yang tiidak berhenti mencari putri satu-satunya yang kabur dari rumah secara mendadak.
“Gue di London.”
“Seriusan!”
“Iya, seriusan. Tapi gue aman kok, enggak kenapa-napa. Nyokap bokap gue ada nyariiin gue nggak?”
“Sumpah! Ada dong! Panik orang tua lo! Kenapa sih, pakek kabur segala!”
“Ya gimana dong, kan gue udah bilang nggak mau nikah. Eh tetap aja kekeh dijodohin.”
“Lo di mana? Sama siapa? Ponsel lo aja nggak bisa dihubungi. Gue ikut-ikutan panik!”
“HP, dompet, sama seluruh dokumen gue kecopetan. Hilangnya waktu sampai di London.”
“Oh Tuhan! Trus gimana? Lo sama siapa sekarang? Lo nggak kenapa-napa kan?”
“Iya, gue nggak kenapa-napa. Untung ada nolong gue sih, orang Indonesia juga.”
“Siapa?”
“Namanya Ernest, dia pilot British Airways.”
“Pilot! Sumpah demi apa! Ganteng nggak?”
“Pelan-pelan tau ngomongnya, kedengeran dia, dia di samping gue,” bisik Jelita ia melihat Ernest berada di sampingnya mendengar percakapannya.
“Yah, mana gue tau. Ini nomor dia?”
“Iya, ini nomor Ernest. Gue pinjam bentar. Intinya gue cuma mau ngasih tau lo, sampaiin sama bokap dan nyokap gue, kalau gue itu nggak kenapa-napa. Gue aman-aman aja.”
“Syukurlah kalau gitu. Oke, nanti aku sampein sama lo,” ucap Ester.
“Tapi lo jangan kasih tau ya nomor ini sama nyokap dan bokap gue.”
“Memangnya kenapa?”
“Takut gue dicariin, gue takut balik ke Jakarta.”
“Tapi gue nggak jamin sih Jel, kalau lihat nyokap bokap lo, sedih tau! Denger kamu hiilang gini, mereka pasti nggak bisa tidur mikirin lo!”
“Tapi Es.”
“Yang penting lo sekarang baik-baik aja, itu aja.”
“Yaudah deh kalau gitu. Gue matiin ya Jel, nggak enak nih pakai hape orang.”
“Iya, iya. Dah …”
Jelita lalu mematikan sambungan telfonnya, ia memandang Ernest yang berada di sampingnya, ia tahu kalau pria itu mendengar seluruh percakapannya.
“Ini udah,” ucap Jelita.
Ernest mengambil ponsel itu dari tangan Jelita, ia memandang iris mata bening itu, “Tidak apa-apa orang tua kamu tahu tentang saya, tidak apa-apa kalau kamu nggak mau pulang ke Jakarta. Itu semua bisa dikompromikan,” ucap Ernest.
Jelita mengangguk, “Kamunya nggak kenapa-napa?”
“Enggak, kamu tenang saja. Kasihan orang tua kamu nyariin, panik, nggak bisa tidur.”
“Iya, tau.”
Ernest tersenyum melihat Ester, ia melipat tangannya di dada, “Kamu mau masak apa?” Tanya Ernest.
“Spagehtti aja ya.”
“Ok, ada yang bisa saya bantu?”
“Enggak usah. Kamu duduk aja.”
Ernest lalu melangkah menjauh, ia meninggalkan Jelita. Ia memilih duduk di kursi, sambil memperhatikan wanita itu memasak di dapurnya. Dulu dapurnya jarang sekali ia sentuh, sekarang ada Jelita yang menguasainya. Dia sangat cekatan dalam memasak, walau masakannya sangat sederhana. Ia senang wanita itu di sini, karena dengan dia ada di sini, hidupnya menjadi lebih berwarna. Ia melihat wanita itu bergerak secara natural, dia sangat cantik, lebih tepatnya mirip bidadari. Semoga keluarga Jelita tidak menghakiminya, karena wanita itu tinggal di sini. Terlebih dia memiliki seorang saudara laki-laki, yang sudah jelas sangat protektif dengan adiknya
***