BAB 4
HAPPY READING
***
Jelita dan Ernest sudah selesai sarapan, Jelita membawa piring kosong secara sistematis, namun Ernest menahannya,
“Sudah saya saja. Kamu duduk saja Lita.”
“Jangan, saya saja. Saya sudah menumpang di sini, jadi saya tahu diri, saya tidak akan merepotkan kamu,” sanggah Jelita.
“Masukan saja ke mesin pencuci piring Lita,” ucap Ernest ia melangkah mendekati Jelita yang berada di depan wastafel, ia membuka mesin pencuci piring dan Jelita meletakan piring kotor di sana.
Jelita memandang Ernest yang berada tepat di sebelahnya. Ia melihat postur tubuh Ernest yang tinggi dan tegap. Ia tidak percaya bahwa tubuhnya hanya sebatas sebahu Ernest. Padahal ia merasa bahwa Ernest tidak terlalu tinggi jika diukur seperti ini, perbedaan mereka sangat kentara. Ia perkirakan kalau tinggi pria itu sekitar 185 cm, kalau ukuran orang Indonesia dia termasuk raksasa.
Jarak mereka sangat dekat bersebelahan tanpa sengaja ia mereka saling menatap satu sama lain. Jantung Jelita berdegup dengan kencang ia tidak tahu perasaan apa ini, kenapa jantungnya maraton tidak karuan. Anja mengigit bibir bawah, ia mendongkan wajahnya memandang Ernest dengan jarak dekat seperti ini ia dapat melihat struktur wajah itu. Oh Tuhan, kenapa pria itu tampan sekali. Ia tidak tahu ia bersyukur atau tidak terjebak di rumah pria tampan seperti Ernest. Ia berharap bahwa Ernest tidak mendengar debaran jantungnya.
“Kamu tunggu di sini, saya ganti baju dulu sebentar,” ucap Ernest, ia perlu mengganti pakaiannya sebelum mengantar Jelita ke hotel.
“Iya.”
Jelita melihat Ernest masuk ke dalam kamarnya, ia memilih untuk melihat-lihat rumah Ernest secara keseluruhan. Rumahnya sangat asri, ia melihat ke tangga dan mendongakan kepalanya ke atas, ia ingin tahu apa yang ada di atas.
Ia juga melihat ada sebuah tangga menuju lantai bawah, ia baru tahu ternyata rumah ini ada ruangan lagi di bawah tanah. Tangganya menggunakan karpet berwarna abu-abu, namun ruangan itu gelap, karena tidak dihidupkan lampunya.
Rumahnya terlihat sangat misterius sama seperti pemiliknya. Ia melangkah menuju ruang keluarga, di sana ada lemari, di sana ada foto berbingkai, ia mendekati foto itu. Ternyata itu adalah foto Ernest, berada di dalam pesawat lengkap dengan seragamnya. Lihatlah betapa tampannya dia saat posisi seperti itu.
“Kamu lihat apa?”
Jelita terperanjat ia lalu menoleh ke belakang, ia memandang Ernest yang sudah berada di sampingnya. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu sudah berada di sini.
Jelita secara reflek mengambil frame itu, “Saya lihat foto kamu,” ucap Jelita gelapan.
Ernest tersenyum, ia melihat ekspresi Jelita, “Itu foto saya waktu di Dubai, saya pernah bekerja di Emirates, saat itu saya menjadi copilot senior.”
“Kamu lihat ada garis tiga di bahu baju saya.”
“Hemm jadi kalau lihat pilot itu berdasarkan garis bajunya.”
“Iya, berdasarkan flight hour dan working experience. Saat itu saya sudah mencapai mendekati 3000 flight hour.”
“Luar biasa.”
“Lalu saya ke London, terima tawaran kerja sebagai British Airways.”
“Sekarang posisinya apa menjadi copilot senior?”
“Tidak, saya sudah lebih dari 5000 jam terbang dan saya sekarang captain.”
Jelita bergeming, ia menatap Ernest, entah kenapa hatinya tiba-tiba berdesir. Otaknya mengirim sinyal ke kelenjar adrenal yang berfungsi mengeluarkan hormone seperti adrenalin, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan kuat.
“Sekarang kita ke hotel kamu, ambil koper kamu.”
“Iya.”
Ernest dan Jelita lalu keluar dari rumah, ia melihat ke arah depan, rumah Ernest tepat berada di tepi jalan, rumahnya ini seperti rumah Eropa pada umumnya, saling berdempetan. Ia mendongakan ke atas, ia melihat bangunan rumah ini terdiri dari tiga lantai.
“Hai, tuan Ernest!”
Otomatis Ernest dan Jelita menoleh ke arah sumber suara, ia melihat seorang pria separuh baya mengenakan topi kulit, menggunakan celana jogger berwarna hitam dan kaos. Dia membawa anjing corgi nya dengan hernes,
“Hai, pak Harry. Kamu sedang berolahraga membawa anjingmu?” Tanya Ernest, pak Harry ini adalah tetangga samping rumahnya dia tinggal bersama istrinya.
“Iya, saya dan Blacky baru saja berkeliling untuk berolahraga.”
Tatapan pak Herry teralihkan kepada sosok wanita cantik yang berada di samping Ernest.
“Hai Blacky!” Ucap Ernest menyapa anjing, dan Blacky menggonggong menyapanya balik, biasa blacky dititipkan kepadanya Jika pak Harry dan istrinya pergi.
“Pacar kamu cantik. Saya baru melihatnya, kalian pasangan yang sangat serasi,” serunya lagi.
Ernest melirik Jelita, wanita itu hanya bergeming di sampingnya, tetangganya pikir bahwa wanita ini adalah kekasihnya,
“Dia bukan kekasih saya, kita hanya teman,” Ernest mencoba menjelaskan agar tidak salah paham, dan ia juga tidak mau membuat Jelita tidak nyaman.
“Saya pikir dia pacar kamu.”
“Kamu mau pergi?”
“Iya, saya ada urusan.”
“Kamu hati-hati di jalan.”
“Iya.”
Ernest melihat pak Harry masuk ke dalam rumahnya, Ernest mengeluarkan kunci mobil. Ia menghidupkan central lock. Ia memandang Jelita berada di sampingnya, lalu mereka masuk ke dalam. Ernest menghidupkan mesin mobil, ia memasang sabuk pengaman.
“Setelah dari hotel, apa langsung mau ke KBRI?” Tanya Ernest.
“Apa tidak merepotkan kamu?”
“Tidak, sama sekali tidak merepotkan.”
“Yasudah lebih baik kita habis mengambil koper di hotel, langsung ke kantor polisi terdekat, meminta surat kehilangan. Menceritakan kronologi dan formulir yang harus dilengkapi.”
“Apa itu lama?”
“Tidak lama, itu hanya sebentar,” ucap Ernest.
Semenit kemudian mobil meninggalkan area rumah. Ernest memanuver mobilnya, ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Sementara Jelita melihat ke arah jendela sambil menikmati pemandangan kota London.
“Apa kamu suka tinggal di London?” Tanya Jelita penasaran.
“Sejauh ini, suka. Saya ini tipe pria yang memang senang tinggal di suatu tempat dan saya jarang mengeluh ketika berada di tempat baru. Saya sangat menikmati kehidupan saya. Sebelumnya saya pernah tinggal di Singapur, Hongkong, Dubai, dan sepertinya pelabuhan terkahir saya di sini.”
“Kenapa?”
“Karena di sini dekat dengan kota impian saya. Suatu saat, saya akan menghabiskan masa tua.”
“Di mana.”
“Edinburgh.”
Jelita tersenyum, “Iya, Edinburgh memang indah. Saya pernah ke sana satu kali dan kotanya memang benar-benar indah. Itu juga kota impian saya.”
“Kamu mau ke Edinburgh?”
“Tidak bisa sekarang Ernest. Barang-barang saya tidak ada, saya juga tidak ada visa, paspor, uang sepeser saja tidak ada.”
“Ah ya, saya hampir lupa. Sebaiknya urus dulu biroraksi kamu. Karena jika tidak diurus susah ke mana-mana.”
Tidak lama kemudian akhirnya mereka tiba di hotel InterContinental London. Jelita melakukan chek out mengambalikan kunci akses kepada receptionis, sementara kopernya berada di tangan Ernest. Jelita melirik Ernest, pria itu dengan sigap membantunya. Ia bersyukur dipertemukan orang baik di kota ini. Jika tidak ada Ernest ia mungkin akan berakhir menjadi homeless.
Beberapa menit kemudian Ernest memasukan kopernya ke bagasi, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju kantor polisi terdekat. Ia memperhatikan Ernest yang sedang menyetir, lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangannya terlihat, gerak natural itu menambah ketampanannya. Apalagi tubuhnya bersandar dengan rileks di kursi. Suara alunan music John Mayer mengisi perjalanan mereka.
“Bagaimana, hari pertama kamu di London?” Tanya Ernest melirik Jelita.
“Hari pertama saya di sini, saya duduk di sebuah restoran. Saya duduk santai di Popina saya merenungi nasib saya di sana. Kamu tahu? Tiba-tiba ada homeless menghampiri saya meminta sumbangan. Namun saya tidak memberinya, karena memang saya baru baru tiba. Lalu dia berbicara kasar dan mengucapkan kata-kata tidak senonor kepada saya.”
Ernest tertawa, “Wah, saya tidak percaya kamu mengalami hal buruk ketika tiba di kota ini.”
“Di tambah malamnya saya mabuk lalu kehilangan seluruh barang berharga saya di dalam tas. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya akan menjadi homeless seperti mereka. Saya melihat di sini banyak sekali homeless, melebihi dari Jakarta. Mungkin itu akan membuat turis tidak nyaman.”
“Saya juga sering melihat homeless di grocery market, banyak homeless yang suka menodong untuk meminta uang seperti kejadian kamu. Namun yang saya lihat homeless itu bukan orang imigran seperti India, Pakistan, atau Bangladesh, tapi orang berkulit putih yang menggunakan narkoba.”
“Saya sering berjalan ke Leeds, saya bertemu homeless di sana, banyak yang duduk di tepi jalan, tengah jalan. Saya merasa kasihan, namun orang Inggris berjalan begitu saja tanpa melihat, tanpa berbicara dan tanpa memberikan mereka apa-apa. Ada yang memberikan mereka uang, namun tetap saja digunakan untuk membeli narkoba.”
“Kamu jangan heran kalau di Kota ini banyak homeless.”
“Kenapa?”
“Karena mereka banyak memilih tidak bayar sewa rumah supaya bisa mengirit hidup di jalan, dan meminta-minta untuk mendapatkan makanan dan alkohol. Jadi kamu hati-hati jika berpergian.”
“Iya, kamu benar, setelah kejadian ini sepertinya saya harus hati-hati, takut juga keluar sendiri.”
Ernest tersenyum, “Tenang saja, ada saya di sini bersama kamu.”
“Terima kasih Ernest.”
“Iya, sama-sama Lita.”
***
Ernest sudah berbaik hati melapor surat kehilangan ke kantor Polisi terdekat setelah itu mereka mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia, pihak KBRI memberinya Surat Perjalanan Laksana Paspor, sebagai fungsi paspor sementara. Jelita merasa lega karena Ernest sudah membantu mengurus semua dokumen-dokumennya yang hilang.
“Ernest, terima kasih sudah membantu saja,” ucap Jelita.
“Ah, sudah tidak apa-apa. Saya sudah bosan mendengar kamu mengatakan terima kasih kepada saya.”
“Tapi tetap saja saya berterima kasih sudah membantu saya.”
Ernest lalu menghentikan mobilnya di depan rumah. Ia membuka sabuk pengaman begitu juga dengan Jelita, mereka keluar dari mobil menuju pintu utama. Ernest memperhatikan Jelita, dia wanita yang ia temui di PUB akhirnya kini bersamanya. Ia akan menghabiskan hari-hari dengan wanita itu di sini entah sampai kapan.
Mereka masuk ke dalam rumah, ia membantu Jelita membawa koper ke dalam, “Kamu mau di kamar mana? Di sini ada tiga kamar kosong. Kamu mau atas atau bawah?” Tanya Ernest menatap Jelita.
“Lebih baik di atas saja,” ucap Jelita mengingat kalau kamar Ernest ada di bawah.
“Oke,” Ernest mengangkat toper Jelita menuju tangga.
“Ernest.”
“Iya, kenapa?” Tanya Ernest sambil menaiki tangga atas.
“Di tangga bawah itu ruangan apa?”
“Owh, itu ruang tamu, ruang keluarga juga, hanya saja tidak ada kamar.”
“Begitu ternyata.”
“Kamu mau melihatnya?”
“Iya, boleh.”
“Setelah ini kita ke bawah. Biasa saya sering bersantai di bawah sambil nonton TV.”
“Iya,” ucap Jelita ia mengikuti langkah Ernest masuk menuju tangga atas.
Jelita mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, ruangan atas di domonasi warna putih, tampak luas. Jendela berukuran besar menghadap jalan tertutup horden putih. Ada beberapa lukisan mempermanis ruangan ini.
“Kamar di sini ada empat, kamu tinggal sendiri?”
“Iya, saya memang membelinya dengan kondisi seperti ini. Saya beli dengan harga di bawah pasaran, karena pemilik sebelumnya adalah orang tua teman saya. Kebetulan orangt tuanya pindah ke Brussels, dan teman saya ini menetap di Dubai.”
“Pilot juga teman kamu?”
“Iya.”
“Katanya ada beberapa orang dari Indonesia tinggal di sini. Namun saya tidak pernah melihatnya, mungkin karena saya kerja, jadi jarang bertemu.”
“Siapa?”
“Katanya saya belum pernah berkenalan, rumah mereka tidak jauh dari sini.”
Ernest membuka pintu kamar, dan mempersilahkan Jelita masuk ke kamarnya. Ia memperhatikan kamar, kamar ini berwarna abu-abu terang, hanya terdapat tempat tidur queen size, lemari, meja kerja. Ada rak berisi beberapa buku, mempermanis ruangan ini. Secara keseluruhan kamar ini sangat nyaman menurutnya.
“Kamar ini untuk kamu. Namun kamar mandinya ada di luar.”
“Tidak apa-apa, ini kamarnya sangat nyaman menurut saya.”
Ernest melihat jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12.30 menit, ia memandang Jelita, “Kamu lapar nggak?” Tanya Ernest, karena ini sudah masuk jam makan siang.
“Lumayan.”
“Kamu mau makan apa?” Tanya Ernest.
Jelita menatapp Ernest, sejujurnya ia sudah banyak sekali merepotkan pria itu, sementara dirinya tidak memberi apa-apa, apalagi ia orangnya tidak enakkan,
“Lebih baik masak saja, saya akan memasakan kamu. Kamu pasti rindu dengan masakan Indonesia kan?” Ucap Jelita.
“Kamu memangnya bisa masak?”
“Saya memang tidak sering masak, namun saya harus dituntut bisa masak di keluarga saya.”
“Isi kulkas saya tidak terlalu banyak. Mungkin besok kita bisa berbelanja.”
“Yasudah, masak apa yang ada di dalam kulkas kamu saja.”
Ernest tersenyum, ia keluar dari kamar diikuti oleh Jelita di sampingnya, “Kamu bisa masak apa saja?”
“Masakan Indonesia saja, walau di rumah saya jarang masak tapi saya bisa melakukannya.”
Jelita menuju dapur, ia memperhatikan ruangan rumah Ernest, ia benar-benar merasa nyaman di sini. Entahlah ia merasa tenang di sini dibanding di rumahnya sendiri, karena terlalu banyak aturan menurutnya. Ia merasa kalau di sini lebih bebas, dan menjadi dirinya sendiri.
“Di kulkas kamu ada apa saja?”
“Buka saja, kamu di sini jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri, Lita.”
Lita tersenyum, ia mengakui di sini ia sangat nyaman, bahkan lebih nyaman dari di hotel menurutnya, “Kamu tidak kerja?” Tanyaa Jelita penasaran.
“Kebetulan saya mendapat jatah cuti tahunan selama 14 hari hingga pekan depan.”
“Owh ya? Kalau pilot itu bagaimana sih kerjanya? Apa seperti karyawan pada umumnya, misalnya delapan jam kerja?”
Ernest tertawa, “Pilot itu nggak tidak seperti orang-orang yang kerja kantor Lita.”
“Cara kerjanya seperti apa?”
“Dia menggunakan sistemnya Daily Working time. Ada dinas namanya air duty time dihitung dari pesawat lepas landas hingga mendarat. Ada juga flight duty time di mana dihitung dari awal absensi sebelum jadwal pertamanya.”
“Kalau flight hingga jauh-jauh itu bagaimana?”
“Kalau dijelasin sih panjang, emangnya kamu mau dengerin saya sampai habis.”
“Dipersingkat saja, intinya saya tahu kalau kamu kerja berdasarkan jadwal terbang.”
“Iya, kira-kira seperti itu.”
Ernest memandang Jelita, wanita itu membuka kulkas, “Kamu mau masak apa?” Tanya Ernest.
Jelita melihat ke dalam kulkas, ia melihat ada daging ayam frozen, daging giling, ada wortel, tuna kaleng, bebe, beberapa telur dan roti gandum.
“Kamu ada beras?”
“Tidak ada.”
“Oh Tuhan, kamu orang Indonesia. Bisa-bisa nya tidak merindukan nasi.”
Ernest tertawa, “Saya kalau kangen nasi, saya pergi ke restoran Turki, di sana menyediakan nasi basmati.”
“Jadi kamu mau makan apa?”
“Apa saja yang bisa saya makan.”
“Ada mie?”
“Ada, mie instan.”
“Yaudah, kita makan mie saja. Sebenarnya saya merindukan makanan Indonesia.”
“Supermarket tutup jam lima. Masih ada waktu sih kalau mau belanja.”
“Jauh?”
“Tidak jauh, bisa jalan kaki dan pakai mobil kalau kamu mau.”
“Yaudah, belanja sekarang saja bagaimana?”
“Iya.”
***