Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

BAB 3

HAPPY READING

***

“Lita,” ucap Ernest.

Jelita lalu menoleh menatap Ernest, ia tidak percaya bahwa pria itu memanggilnya Lita. Jujur baru kali ini ada seseorang menyematkan namanya dengan kata Lita. Seluruh teman-temannya bahkan keluarganya memanggilanya dengan nama Jelita dengan lengkap. Bahkan ia sendiri tidak kepikiran untuk melebeli namanya dengan sebutan Lita. Nama Lita terdengar sangat baik di telinganya, ia merasa sangat special dengan penyebutan nama itu.

“Iya,” ucap Jelita.

Ernest menatap mata bening itu, ia melangkah masuk ke dalam walk in closet ia mengambil handuk bersih, dan lalu menyerahkan kepada Jelita, “Ini handuk untuk kamu.”

“Terima kasih,” ucap Anja, ia mengambil handuk itu dari tangan Ernest. Ia lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Anja membersihkan tubuhnya terlebih dahulu, ia memejamkan sambil menikmati air hangat membasahi tubuhnya. Jujur ini merupakan pertama kalinya ia mandi di rumah seorang pria, dan mungkin ini yang pertama ia satu atap dengan laki-laki sepanjang hidupnya di dunia. Padahal ia sudah diajarkan

Ia harus memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini. Semua barang-barang berharganya hilang entah kemana, mungkin karena mabuk dan ada pencuri yang mengambil kesempatan mengambil benda berharga miliknya. Apalagi ia turis asing menjadi incaran mereka. Dulu ia pernah menimpa kejadian hal yang sama ketika ia berlibur ke Italia selama liburan Seminggu.

Beberapa jam tiba di Italia karena sebelumnya dari Brussel. Ia chek-in di penginapan, lalu bergegas ke Koloseum, saat mau keluar dari stasiun metro seberang Koloseum, hendak mengambil payung dan sadar bahwa tas nya sudah terbuka. Dompet juga sudah tidak ada.

Tapi untungnya dulu di Roma tidak banyak barang yang hilang, hanya dompet dan casing hp. Karena ia menyimpan HP nya di saku jaket, barang-barang berharga di mantel dalam. Tapi kartu bank masih ada di dompet, ia lalu dengan segera membolkir semua kartu bank. Satu hal yang ia suka kinerja KBRI di Italia, karena pengurusan birokrasi di KBRI diberikemudahan.

Namun anehnya, saat ini semua barang-barang berharganya hilang bahkan ponselnya juga hilang, hal yang paling ia butuhkan jika terjadi apa-apa. Tapi ia bersyukur kalau Ernest menyelamatkannya, jika tidak mungkin ia sudah dibunuh atau di lempar ke sungai Thames malam itu juga.

Ia berharap bahwa Ernest adalah pria baik-baik, ia penasaran sekaya apa Ernest, hingga bisa memiliki rumah di London. Apa dia sudah menikah? Sepertinya belum, karena jika sudah menikah ia tidak mungkin tidur di kamar pria itu. Apa pekerjaan pria itu? Mengingat property di London itu sangatlah mahal.

Jelita keluar dari kamar mandi, ia terpaksa mengenakan pakaiannya lagi tanpa ganti, ia melihat blazer panjangnya di dekat lemari. Ia melangkah mendekati mantelnya, ia juga membuka tasnya lagi. Ia mengenakan makeup tipis, ia juga menyisir rambutnya.

Setelah rapi, ia lalu keluar dari kamar. Ia mengobservasi rumah Ernest, rumahnya sangat rapi bergaya Eropa, ia melihat jendela berukuran besar hingga pencahayaan sangat baik, khas Eropa. Di sana juga ada cerobong asap untuk penghangat ruangan. Rumah ini dominasi dengan warna putih dan abu-abu muda. Rumahnya memang tidak terlalu besar, namun sangat nyaman. Ada sofa, berwarna senada dengan horden, ia melihat tangga menuju lantai atas. Rumah ini ternyata dua lantai.

Jelita melihat Ernest di sana, pria itu ternyata ada di dapur, di tangannya memegang sebuah piring, pria itu menatapnya dan tersenyum. Senyumnya sangat tampan,

“Sudah selesai mandi?”

“Iya, sudah.”

“Breakfast dulu ya.”

“Iya,” ucap Jelita ia melangkah mendekati meja makan.

Ernest mempersilahkan Jelita duduk di meja makan yang terdiri dari empat kursi, ia duduk memperhatikan piringnya. Ini English breakfast yang terdiri dari sosis, telur, kacang panggang, jamur dan roti panggang.

“Ini kamu buat sendiri?” Tanya Jelita.

“Iya.”

“Saya tidak menyangka kalau kamu bisa memasak.”

“Masak yang sederhana, kebetulan ini sarapan yang ada di pesawat, saya memeng menyetok beberapa, buat saya makan kalau lagi buru-buru, tinggal saya masukan ke microwave saja. Lalu saya tambahin telur saja.”

“Kamu kerja di pesawat?” Tanya Jelita ia duduk di hadapan Ernest.

“Iya, saya pilot British Airways.”

Jelita terdiam beberapa detik, ia memandang Ernest. Tadi ia mempertanyakan apa pekerjaan pria itu, ternyata dia seorang pilot. Semua orang tahu kalau pilot merupakan pekerjaan paling bergengsi di dunia ini, gajinya sudah pasti sangat fantastis, ditambah bekerja di maskapai Inggris. Pantas saja ia bisa memiliki property di sini.

“Ini rumah kamu?”

“Iya.”

“Sewa atau beli?”

“Beli. Kenapa?”

“Saya tidak menyangka kamu bisa beli property di London. Bukannya property di sini sangat mahal.”

Ernest tertawa, ia meraih air mineralnya, dan lalu meneguknya,

“Saya masih mampu membelinya dengan uang saya secara cash.”

“Kamu pasti kaya banget.”

Ernest tertawa, “Kamu ada-ada saja.”

Jelita ikut tertawa, “Kamu sudah lama menjadi pilot?” Tanya Jelita penasaran.

“Lumayan, sudah sekitar lima belas tahun.”

“Lama juga ya. Jadi umur kamu sekarang berapa?”

“Tiga puluh enam. Kalau kamu berapa?” Tanya Ernest, ia memotong sosisnya dan memasukan ke dalam mulut.

“29 tahun, tahun ini 30.”

“Biasa kalau orang Indonesia umur 30 tahun itu sudah nikah.”

Jelita tertawa, “Kamu benar.”

Ernest memicingkan matanya menatap Jelita, “Kenapa kamu bisa berada di London? Apa kamu pergi sendiri?” Tanya Ernest penasaran.

Jelita mengangguk, “Iya, saya pergi sendiri.”

“Lain kali kamu jangan pergi sendiri, itu terlalu beresiko. Setidaknya kalau ke Eropa pergi sama teman atau keluarga. Kalau terjadi apa-apa kepada kamu, bagaimana?” Ucap Ernest.

“Iya, saya tahu. Saya kemarin ada masalah, dan itu yang membuat saya kabur ke London.”

Alis Ernest terangkat, “Ada masalah apa?” Tanya Ernest penasaran.

Jelita menatap Ernest dengan serius, ia terdiam beberapa detik untuk berpikir, apakah ia harus menjawab pertanyaan Ernest atau tidak. Ia memandang sekali lagi Ernest, sepertinya pria itu ingin tahu prihal apa yang telah terjadi.

“Begini, saya ini sebenarnya masih keturunan lima putri keraton Yogyakarta. Nama depan saya Gusti Raden Ajeng Jelita Wijarena, salah satu gelar anak perempuan yang belum menikah. Suatu keistimewaan saya mendapat gelar itu. Karena memang ayah saya generasi kelima itu berasal bangsawan dan ibu saya juga sama.”

“Saya sudah menduga kalau kamu pasti keturunan Sultan Yogyakarta,” ucap Erenest.

“Terus lanjutkan cerita kamu, kenapa hingga sampai di sini.”

Jelita menarik nafas beberapa detik, “Kamu tahu kan bagaimana keturunan bangsawan seperti saya, yang masih kental dengan adat dan tradisi. Keluarga-keluarga ayah saya yang berada di Yogyakarta masih menempatkan posisi pertama di tanah kelahirannya. Mempertahankan kesultanan dan tradisi itu tetap masih berjalan hingga sekarang.”

“Acara-acara penting di sana, saya selalu hadir. Saya termasuk di dalamnya terlibat sebagai anggota kesulatanan. Kemarin terakhir saya berada di kediaman ayah saya di Yogyakarta. Keluarga besar saya memberitahukan bahwa saya akan dijodohkan dengan seorang pria, keturunan bangsawan juga profesinya sebagai dokter, dia umurnya dua tahun lebih tua dari saya.”

“Saya selama ini tidak pernah sekalipun membantah ucapan ayah saya dan bahkan sudah menjalankan tradisi dengan baik. Saya juga tidak menyalahkan gelar saya. Mungkin jika di Yogyakarta itu terasa istimewa memiliki gelar.”

“Kalau di Jakarta tentu saja tidak. Saya bekerja seperti biasa seperti orang normal pada umumnya, mengurusi administrasi, keuangan, kelembagaan, dan saya punya yayasan yang menangani korban kekerasan pada perempuan.”

“Saya kecewa dengan keputusan ayah saya yang menjodohkan saya dengan pria yang sama sekali saya tidak kenal. Mungkin saya kenal dengan orang tuanya, tapi tidak dengan anaknya.”

Ernest paham apa yang menjadi permasalahan Jelita hingga tiba di sini, “Jadi karena kamu dijodohkan lalu kamu kabur ke London.”

“Iya, kira-kira seperti itu.”

“Orang tua kamu pasti lagi bingung nyariin kamu.”

“Iya, saya tahu. Tapi saya tidak mau menikah secapat ini. Saya juga tidak suka dengan Prabukusuma,” ucap Jelita.

“Jadi pria yang dijodohkan dengan kamu itu namanya Prabukusuma?”

“Iya. Kamu tahu kan, bagaimana rasanya dijodohkan dengan pria yang jelas-jelas saya tidak suka.”

“Iya, saya paham. Oke tidak apa-apa, kamu boleh menolak.”

“Kamu tidak tahu keluarga saya Ernest. Ayah saya itu keras.”

“Tapi sebaiknya kamu nanti informasikan kepada keluarga kamu terlebih dahulu, di mana keberadaan kamu. Agar keluarga kamu tenang di sana. Bilang saja kamu aman di London menenangkan diri. Informasikan ini kepada keluarga terdekat kamu. Saudara kamu mungkin.”

“Mas Arya maksud kamu?”

“Siapa mas Arya?”

“Saudara saya.”

“Oke, boleh dia saja. Kamu ingat nomor ponselnya?”

“Tidak. Tapi saya bisa contact ke rumah sakit mas Arya kerja, atau kliniknya.”

“Itu lebih baik, setidaknya memberi kabar. Arya itu dokter?”

Jelita mengangguk, “Iya, dia dokter.”

Ernest menatap Jelita, masalahnya yang bersamanya ini adalah putri keraton yang dijodohkan oleh orang tuanya lalu kabur ke London. Pernikahan kesultanan agak ribet menurutnya, ia menatap Jelita. Ia sangat menyayangkan dia merupakan putri bangsawan. Ia jadi bingung bagaimana jika ia terlibat dalam konflik keluarga bangsawan. Selama ini ia tidak pernah terbesit sedikitpun untuk mengenal dari putri keluarga kesultanan apalagi dari negaranya sendiri. Pantasan saja cara makan, cara berbicara dia terlihat berbeda, anggun, tenang, tidak gegabah, berbicara penuh hati-hati tidak menggunakan emosi walau keadaan panik, mungkin karena dia sudah diajarkan menner yang baik sejak kecil.

“So, jadi kamu bagaimana?” Tanya Ernest.

“Bukannya kamu tadi mau nampung saya di sini, hingga berkas-berkas selesai?”

Ernest mengangguk, “Awalnya begitu,” ia melihat iris mata Jelita dengan tatapan penuh harap.

“Ya sudah kalau kamu maunya di sini bersama saya,” gumam Ernest.

Ernest menatap Jelita lagi, “Habisin makanan kamu.”

“Iya.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel