Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

BAB 4

HAPPY READING

***

Aslan dan Rose makan dengan tenang, mereka melihat ke arah layar TV. Di sana menyiarkan tentang peningkatan covid-19 marak dan bisa dikatakan kalau di Italia, kasusnya berlipat-lipat ganda. Pada saat ini kasus baru mencapai 9.172 kasus dan 463 kematian. Itu merupakan angka yang sangat fantastis dan mencekam. Di sana menyiarkan bahwa kota Pandova paling banyak terinfeksi covid-19.

Aslan memasukan nasi ke dalam mulutnya, ia menatap Rose. Wanita itu mengambil air mineral dan meneguknya. Ia mengakui kalau wanita di hadapannya ini sangat cantik. Mereka sama-sama turis, yang awalnya hanya untuk berlibur melepas penat, namun apa yang terjadi, justru mereka tertimpa pandemi. Virus-virus yang di siarkan semakin hari semakin mencekam bahkan aturan-aturan pemerintah semakin ketat.

Sebenarnya ia tidak masalah terjebak di sini, mengingat kalau ia terjebak di apartemen berdua dengan wanita cantik. Ia laki-laki yang merupakan makhluk visual, dan mengakui kalau mereka menyukai wanita cantik apapun itu alasannya. Dia tidak hanya cantik namun juga sangat cerdas.

“Menurut kamu, kenapa kasus di Italia semakin banyak?” Tanya Aslan, ia mengambil gelas yang berisi air mineral dan lalu meneguknya.

Rose menyelesaikan makannya, ia menatap Aslan, “Karena italia adalah tujuan wisata utama di Eropa. Di sana menerangkan kalau kasus pertama di Italia itu berasal dari Jerman, dan gerakannya sangat cepat seperti migrasi menyebar ke seluruh Eropa.”

Aslan menyungging senyum, ia juga mendengar bahwa pasien pertama yang terkenal virus corona itu bersal dari Jerman.

“Kenapa sekarang begitu banyak kematian?” Tanya Aslan lagi, ia tahu bahwa Rose itu dokter yang cerdas.

“Kalau yang saya perhatikan kalau yang mati itu rata-rata usia di atas 45. Orang Italia rata-rata banyak yang berumur di atas itu, sekarang ia lihat pemerintah mulai kewalahan menangani virus, jadi tidak semuanya mendapat perawatan yang layak.”

Aslan tahu sekarang pemerintah banyak menutup perusahaan, memberlakukan WFH, agar orang tetap di rumah. Sekolah tutup hingga Mei mendatang, tidak ada penerbangan, 11 provinsi di Italia di karantina, beberapa perlatan medis, rumah sakit penuh.

Sekalipun angka kematian sangat rendah, anggap saja virus itu dapat menyebar dengan cepat. Bukan tentang kematian tetapi tentang ketidak nyamanan yang ditimbulkan. Mereka semua tidak bebas keluar, tidak bisa berkumpul dengan orang lain, jika mereka merasa sakit, mereka harus menghubungi pihak berwenang setempat bukan rumah sakit.

Masyarakat dihimbau untuk menjaga kebersihan sebersih mungkin dan latih untuk membuat system kekebalan tubuh menjadi lebih kuat. Jika ke supermarket hanya boleh satu anggota keluarga saja. Ia melihat berita banyak orang melarikan diri melalui kereta api dan pergi ke selatan demi resiko menghindari virus corona. Namun tindakan itu pasti memiliki resiko menyebarkan virus lebih banyak lagi.

Ia pikir orang-orang yang melarikan diri itu sangat egois, jangan pernah melakukan itu, karena vaksin belum ditemukan. Di Italia saat ini saja hanya memiliki 5000 peralatan terapi itensif, dan pemerintah menyarankan agar tidak fokus menyembuhkan orang berusia di atas 60 tahun dan sebaiknya mengutamakan anak-anak. Maka dihimbau tetap di rumah, karena dengan begitu mempercepat pemberhentian virus. Jika terus menulari orang lain, maka mengalami resesi yang mendalam.

Rose memandang Aslan, “Kita tidak bisa ke mana-mana, tetap stay di sini. saya tidak tahu, seberapa lama kita di sini.”

“Yah, mau gimana lagi. Ini tidak terjadi di Italia. Namun ini terjadi di banyak negara,” ucap Aslan menyelesaikan makannya.

Mereka beranjak dari duduknya, melangkah menuju mesin pencuci piring dan menaruh piring kotor di sana. Aslan membersihkan tangannya dengan air, ia menatap Rose menjauhinya.

“Orang tua kamu bagaimana?” Tanya Aslan, ia sebenarnya masih belum rela berpisah dengan Rose, ia masih ingin ngobrol banyak hal tentang wanita itu.

“Baik. Kondisinya sama saja seperti Italia, tapi di negara saya pergerakan covidnya bergerak lambat tidak seperti di sini.”

“Kemarin orang tua saya ngasih kabar ke saya, bahwa mereka baik-baik saja. Kalau orang tua kamu bagaimana?” Tanya Rose.

“Sama saja, di Turki juga begitu. Sekarang saya dengar kalau di negara saya itu mengalami inflasi parah,” ucap Aslan, ia duduk di sofa, ia memandang Rose tidak jauh darinya.

“Owh ya? Kok bisa? Padahal setahu aku di Era Erdogan dianggap sebagai sosok yang berjuang menegakan kejayaan Islam,” ucap Rose memandang Aslan, mereka saling menatap satu sama lain.

Aslan menepuk sofa di sampingnya, ia menyuruh Rose duduk di sebelahnya, “Ke sini, kita ngobrol-ngobrol.”

“Owh, oke,” ucap Rose.

Rose lalu duduk di samping Aslan, ia suka ngobrol dengan pria ini, karena obrolan mereka sepertinya nyambung, dari medis hingga politik terasa ringan. Dari jarak dekat seperti ini ia dapat mencium aroma parfume dari Aslan, dia seperti mengenakan parfum Christian Dior Sauvage dengan kekuatan aroma yang tidak terlalu kuat.

“Terus tanggapan kamu bagaimana?” Tanya Rose penasaran.

“Untung saya sudah menjadi warga Inggris sejak lama, jadi tidak terlalu memikirkan mata uang anjlok.”

Aslan memandang Rose, ia mengecilkan volume TV, “Kamu tahu Turki?”

“Iya, tahu dong, negara kamu sangat terkenal di negara saya.”

“Menurut saya, Turki itu regionalnya Timur-Tengah khususnya di daerah Mediterania, saat ini di daerah tersebut memiliki ekonomi yang kurangs sehat. Hal itu tentu saja serimbas kepada Turki yang memiliki ekonomi yang cenderung menurun, karena efek negara tetangga.”

“Inflasi di Turki tergolong tinggi sekitar 10-15 persen setiap tahun, sehingga membuat mata uangnya kehilangan daya beli. Negara Tetangganya Turki ini, tidak memiliki ekonomi yang sehat, seperti Yunani, Suriah dan Lebanon sehingga tidak bisa memanfaatkan ekonomi regional.”

“Saya tahu, pemerintah sudah sekuat tenaga melakukan intervensi kepada bank sentral, namun menimbulkan ketidak percayaan public dan masyarakat global. Di tambah sekarang pandemic, mempengaruhi pendapatan Turki dari sektor pariwisata. Biasanya mereka menerima banyak turis manca negara.”

“Wow, ternyata kamu mengamati ya, walau kamu di Inggris.”

Aslan tersenyum, “Saya memang selalu mengamati sih pergerakan ekonomi.”

“Ekonomi di Inggris bagaimana?”

“Sama juga menurun, menurut saya.”

“Owh ya? Bukannya itu negara yang great?” Tanya Rose.

“Saya lihat saat ini mengalami kemunduran.”

“Kenapa?”

“Ini disebabkan kemunduruan secara kehidupan social dan kinerja ekonomi. Walaupun angka kemiskinan menurun, namun jumlah tunawisma dan orang tidur di jalan naik drastis.”

“Apa penyebabnya?”

“Banyak dari mereka yang terbiasa hidup dengan alkohol, kekerasan, narkoba, depresi, bunuh diri, pemerkosaan. Saya lihat kebanyakan tunawisma adalah anak muda, yang diusir orang tuanya sendiri, ada juga pasangan yang terpaksa mengkonsumsi narkoba untuk meredakan depresi. Kemiskinan anak-anak disana juga cukup tinggi untuk ukuran negara maju. Sebanyak 2,1 juta anak Inggris hidup dibawah garis kemiskinan.”

“Sayangnya, media mainstream di sana terus menunjukkan kepada dunia bahwa orang-orang Inggris kaya-kaya. Ya, banyak yang kaya, tapi kemiskinan tidak ditampilkan,” ucap Aslan.

“Bukannya di sana ada tunjangan pengangguran, subsidi perumahan, dan badan-badan amal yang menolong tunawisma.”

“Ada, tapi jumlahnya terbatas.”

“I see, saya baru tahu.”

‘Setahu saya welfare state yang baik itu Skandinavia dan Jerman. Kalau mau kerja sih banyak, kerja apa saja bisa, jaga toko, pramusaji, cleaning service, student imigran banyak kerja part time. Banyak yang menyalahkan sayap kanan selalu menyalahkkan imigran, sehingga mereka terlantar, namun padahal penduduk asli nggak mau kerja kasar, seperti Imigran.”

Rose tersenyum, “Sama sih seperti Indonesia, yang menjadi TKI di luar negri, buruh pabrik, nggak apa-apa kerja kasar yang penting menghasilkan uang, mereka nggak malu kerja semua itu.”

“Setuju sama kamu, namanya untuk hidup jangan malu untuk bekerja.”

“Tapi kemarin ada berita tentang Imigran illegal yang memperkosa gadis remaja Inggris. Itu beritanya seperti apa?” Tanya Rose penasaran, karena salama di hotel kemarin, ia lebih banyak membaca artikel melalui ponselnya.”

“Ah itu, Itu Imigran dari Asia selatan, Pakistan, Banglades. Saya di kasih video ivestigasinya sama teman. Pemerintah inggris juga lagi pusing dengan imigran illegal, tapi nanti pasti ketemu geng imigrannya.”

“Kamu pernah ke Inggris?” Tanya Aslan memandang Rose.

“Pernah.”

“Mau ke inggris?”

Alis Rose terangkat, “Ngapain saya ke sana?”

“Ke rumah saya. Sepertinya di sini tidak aman.”

“Bukannya di sana tidak aman juga,” Rose tertawa ia melihat Aslan ikut tertawa.

“Setidaknya di sana rumah saya sendiri.”

“Bukannya tidak ada penerbangan?”

“Saya tahu, sekarang tidak ada penerbangan. Namun beberapa Minggu lagi pasti akan ada bandara yang beroperasi. Jarak Roma ke London, tidak terlalu jauh hanya 2 jam 30 menit menggunakan pesawat.”

“Ketika bandara di buka, kita langsung move dari sini.”

“Hemmm.”

“Come on, London lebih aman, setidaknya di rumah saya sendiri.”

“Oke. Kamu tunggu saja, hingga bandara buka. Nanti saya ikut kamu ke London.”

Aslan menyungging senyum, “Terima kasih.”

Rose menarik nafas, ia tidak menyangka kalau Aslan mengajaknya ke London. Dan ia tidak menolak ajakan pria itu, dia menunggu hingga bandara kembali beroperasi. Ia tahu bahwa itu tindakan nekat, mengikuti orang asing ke negaranya.

Rose dan Aslan saling berpandangan satu sama lain. Rose tidak bisa berlama-lama di sini, karena sepertinya pembicaraan mereka sudah terlalu banyak. Ia lalu beranjak dari duduknya, namun tangan Aslan bergerak cepat menyentuh tangan Rose secara reflek. Aslan pun tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Otomatis Rose menoleh memandang Aslan. Ia merasakan tangan hangat Aslan berada di bawah permukaan kulitnya.

“Kamu mau ke mana?” Tanya Aslan.

Rose seperti merasakan aliran listrik menjalar ke tubuhnya, seketika hatinya maraton hebat,

“Saya mau ke kamar, mau istirahat,” ucap Rose pelan, ia melihat tangan Aslan masih berada di tangannya.

“Social distancing,” gumam Rose lagi, kata-kata itu sudah terlanjur keluar begitu saja dari mulutnya, betapa absurd nya itu, paadahal ia hanya menjaga mati-matian debaran jantungnya.

Ia tahu pemerintah melakukan pergerakan agar menjaga jarak dengan orang lain, untuk mengurangi interaksi social bertujuan untuk mencegah penyebaran virus corona.

Ia sudah terlanjur merasakan betapa halusnya kulit Rose, ia dengan terpaksa melepaskannya, “Maaf, saya sudah menyentuh kamu,” ia dengan terpaksa melepaskannya.

“Tidak apa-apa.”

“Saya masuk ke dalam,” ucap Rose pamit undur diri, suasana seketika menjadi canggung.

“Selamat istirahat,” ucap Aslan.

“Kamu juga.”

Aslan memandang Rose menjauhinya, lalu wanita itu masuk ke dalam kamar. Ia mendengar suara pintu tertutup. Ia mengambil remote dan mematikan TV, ia ikut beranjak dari duduknya. Padahal sebenarnya ia ingin ngobrol banyak hal dengan Rose, karena semakin ke sini ia semakin penasaran dengan wanita itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel