BAB 3
Bab 3
Happy Reading
***
Rose membuka paperbag itu dan ia menyimpan bahan-bahan makanan di kulkas ia melihat Aslan ikut mengeluarkan nya. Ia tidak tahu apakah mereka harus berbagi makanan atau tidak. Mengingat tadi mereka membeli berbagai macam kebutuhan dengan terpisah.
Seumur hidupnya baru kali ini ia tidak bersama dengan seorang pria dalam satu apartemen. Ia tahu bahwa ia tidak munafik sebagai warga Jakarta dan ia juga pernah tinggal di luar negri. Tinggal bersama sebelum menikah memiliki stigma negative di masyarakat, tidak melanggar norma dan nilai agama. Ia juga bukan wanita yang sok suci untuk melakukan seks, karena ia sudah melakukan dengan mantannya terdahulu.
Sebanarnya tinggal bersama kekasih memiliki konsep yang menyenangkan. Tinggal bersama bukan prihal saling seks. No. Big, no! Itu sama sekali tidak melulu tentang seks, meskipun tidak dipungkiri bahwa berdua juga melakukannya. Tapi itu bukanlah sebuah tujuan dia bersama pasangan. Ia juga pernah tinggal bersama dengan Oscar berbulan-bulan lamanya.
Sejauh pengalamannya, ia merasa lebih banyak hal positif yang bisa ia lakukan. Ia bisa lebih kenal dengan pasangan, kebiasaan-kebiasaan pasangan sehingga membuka mata hati apakah mereka cocok tinggal bersama. Ya, memang ia sudah bisa deal dengan itu.
Ia jadi lebih tau, pertengkaran-pertengkaran kecil, apa yang harus diperbaiki, apakah cocok dengan visi dan misi. Kebetulan dulu ia dan Oscar sama-sama bekerja, sering pulang larut, melakukan pillow talk sebelum tidur, menceritakan keseharian, membicarakan masalah dan berdiskusi tentang apapun, sambil cuddle. Inilah yang dibutuhkan agar dikehidupan pernikahan nanti, ia dan pasangan tidak kaget.
“Sampai kapan negara ini akan di lockdown?” Tanya Rose, ia memasukan beef ke freezer.
Aslan mengedikan bahu, “Saya tidak tahu, semoga saja kehidupan segera normal kembali.”
Aslan memandang Rose, “Tapi, saya merasa aman, karena saat ini saya tinggal bersama seorang dokter, setidaknya kalau saya terinfeksi ada yang jagain saya.”
Rose lalu tertawa, ia melirik Aslan, “Saya hanya dokter kecantikan, Aslan. Tidak menangani hal-hal tentang virus seperti ini.”
Aslan menarik nafas, “Tapi setidaknya kamu sudah menempuh pendidikan dokter umum, Rose. Kamu pasti lebih paham dengan ilmu kedokter dari pada saya yang hanya berkecimpung dengan wine.”
Rose tersenyum, “Iya.”
Aslan menaruh makanan kaleng di lemari kaca dan menyusunnya, “Di klinik kecantikan kamu apa yang melakukan operasi plastic?”
“Ya, tentu saja ada, malah banyak sekali.”
“Apa yang menyebabkan orang melakukan bedah plastik?” Tanya Aslan penasaran.
“Operasi plastic jaman sekarang memang menjadi trend, bahkan jadwal operasi di klinik saya di Jakarta sangat padat. Alasannya macam-macam, ada yang ingin memperbaiki penampilan. Banyak orang yang terlahir dengan bentuk hidung yang mancung terlihat menarik, ada juga yang tidak simetris. Begitu juga dengan mata, dagu. Di tangani dengan dokter-dokter professional.”
“Apa kamu yang menangani operasi plastik?”
“No, saya hanya dokter estetika, tidak ada hak untuk melakukan operasi bedah plastik. Saya hanya menangani masalah perawatan kecantikan. Misalnya pelling, tarik benang, filler, botox. Ada beberapa dokter beda plastik yang kerja sama dengan saya. Dia dokter khusus menangani dokter spesialis bedah plastik.”
“I see. Jadi kamu pemiliknya?”
“Iya, saya pemilik klinik kecantikannya.”
“Wow, saya baru tahu, ternyata itu dua hal berbeda.”
Aslan lalu berpikir, ia menatap Rose, “Kamu lihat wajah saya. Aa apa ada yang perlu di ubah?” Tanya Aslan penasaran.
Rose menyungging senyum, ia memandang wajah tampan itu, “Wajah kamu sudah sempurna, Aslan. Untuk apa di ubah lagi.”
Aslan lalu tertawa, “Terima kasih sudah mengatakan wajah saya sempurna.”
“Iya, sama-sama.”
Aslan sudah menyimpan semua makanan di lemari, ia membuka coca-cola kaleng dan meneguknya, “Apa kamu pernah melakukan operasi plastik?” Tanya Aslan penasaran.
“Sejauh ini belum, saya hanya melakukan filler bibir saya, agar sedikit bervolume.”
“Pantas saja, bibir kamu sangat menanrik.”
Resti lalu tertawa, ia melirik Aslan, “Bagaimana tanggapan kamu dengan wanita yang melakukan operasi plastik?” Tanya Rose kepada Aslan.
“Sah-sah saja, asal ada uangnya. Sekarang sudah menjadi tren di masyarakat. Namanya juga ingin cantik. Tentunya menyempurnakan fisik mereka. Tampil cantik itu sebuah kebutuhan bagi tiap wanita. bukankah begitu?”
“Iya, kamu benar, asal di tangani dengan dokter yang tepat.”
“Pada dasarnya setiap wanita ingin tampil cantik. Kalau buat dia nyaman, kenapa tidak.”
“Kalau kamu punya pacar atau istri, apa kamu mengijinkan mereka operasi plastik?” Tanya Rose, ia ingin tahu tanggapan Aslan.
“Tentu saja. Jika ada sesuatu bentuk wajahnya kurang sempurna. Saya akan membiayainya.”
Rose lalu tertawa, “Good, kamu pria idaman semua wanita.”
Aslan juga ikut tertawa, “Thank you.”
Aslan dan Rose saling berpandangan beberapa detik, “Apa kamu bisa masak?” Tanya Aslan membuka topik pembicaraan berbeda.
“Tentu saja bisa. Saya akan masak hari ini, saya sudah merindukan makan nasi.”
“Saya bantu, kalau begitu.”
“Kamu mau bantu apa?” Tanya Rose.
“Apa saja yang saya bisa. Saya bisa memotong daging, mengiris bawang, membuat spaghetti.”
“Oke,” ucap Rose, ia memandang Aslan, sepertinya pria itu terbiasa dengan alat-alat dapur.
Aslan melihat Rose memasak nasi dengan cara di dalam pengkus nasi dia memasaknya dengan api yang kecil. Aslan menatap Rose memotong daging, dia juga mengeluarkan bahan-bahan yang dia beli tadi. Aslan mengambil bawang bombay dan ia lalu memotongnya.
“Kamu akan memasak apa?” Tanya Aslan.
“Saya akan memasak gulai daging. Itu makanan khas Indonesia, rasanya enak. Kebetulan tadi saya membeli bumbu instan di supermarket, dan saya memutuskan untuk memasak itu saja. Saya juga membuat bumbu lagi, agar rasanya lebih nikmat.”
“Rasanya seperti apa?” Tanya Aslan penasaran.
“Rasanya gurih, sedikit pedas dan legit. Kamu pasti akan menyukainya, masakan Indonesia kaya akan rempah-rempah.”
“Saya tidak akan pilih-pilih makanan. Apapun itu saya menyukainya,” Aslan mengiris bawang bombay dan kemudian ia mengiris cabai.”
Aslan melihat Rose membelender bumbu-bumbu seperti bawang, lada dan cabai. Dia terlihat sangat mahir memasak, walau katanya bumbu-bumbu ini kurang lengkap. Beberapa menit berlalu, ia memandang Rose menumis semua bumbu-bumbu itu ke dalam teflon. Aroma masakan tercium di hidupnya, lalu ia memasukan daging itu.
Setengah jam berlalu, akhirnya masakan itu sudah tersedia di meja. Ia memandang daging dengan bumbu rempah dan salad. Masakan itu terlihat sangat menggugah selera. Ia dan Rose duduk, ia melihat Rose menuang nasi ke piring. Ia melakukan hal yang sama, ia pernah memakan nasi beberapa kali di restoran Asia. Jadi tidak terlalu asing dilidahnya.
Aslan melihat Rose menuangkan daging itu ke dalam nasinya, ia melihat ekpresi Rose. Makanan itu terlihat sangat lezat.
“Enak?” Tanya Aslan.
“Tentu saja, coba aja,” ucap Rose terkekeh.
Aslan lalu mencicipi masakan itu, karena ini merupakan pertama kali untuknya. Di luar dugaanya, bahwa nasi bercampur dengan daging yang memiliki banyak rempah itu sangat enak.
“Rasanya sangat enak,” Aslan mengakui bahwa masakan bernama gulai ini sangat lezat.
Rose menyugging senyum, “Makan lah yang banyak.”
***