Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

BAB 6

HAPPY READING

***

Sepanjang perjalanan menuju rumah aman dan terkendali, karena memang jarak ke Fable tidak terlalu jauh. Kepala Jelita bersandar di bahunya dengan posisi duduk bersandar. Kini mobil terparkir di halaman rumahnya.

Niko mematikan mesin mobil, ia membuka hendel pintu. Mengurus orang mabuk memang sangat merepotkan menurutnya, apalagi dalam keadaan teler parah seperti Jelita. Ia yakin sebentar lagi dia akan muntah-muntah, yang penting bawa dulu Jelita ke dalam kamar dalam keadaan aman, ia berharap wanita itu tidak merecau atau menjadi agresi, karena jika berteriak, otomatis kedengaran di samping rumah, dan itu membuat urusan semakin panjang.

Niko membuka pintu mobil belakang, ia menatap Ester di sana, terlihat jelas wajah pilu di sana, ia melirik Ben berjalan mendekatinya.

Ester keluar dari mobil, yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana cara minta ngomong ke orang tua Jelita. Ia terlalu bingung, masalahnya selama ini, Jelita tidak pernah tidur di rumahnya, walau mereka tetanggaan. Tidur di rumahnya itu sangat aneh, dan tidak masuk akal. Karena ini seorang Jelita, bukan rakyat jelata.

Ester melihat Niko menggendong tubuh Jelita masuk ke dalam rumah, sedangkan Ben membawa tas Jelita. Ia mengekori dari belakang, ia manatap bi Asih. Wanita separuh baya itu terlihat shock melihat Jelita yang tidak sadarkan diri.

“Non Jelita kenapa non?” Tanya bi Asih, melihat mas Niko menggendong Jelita menuju lantai atas.

“Sakit non? Kok malah di bawa ke sini? Bukannya rumahnya di sebelah non,” ucap bi Asih, masih terheran-heran.

“Mabok, bi!”

“HAH! Kok bisa, non?”

“Bukannya non Jelita itu putri keraton? Terus, kenapa non Jelita bisa mabok, non?” Tanya bibi lagi.

“Kebanyakan minum alkohol bi.”

“Ckckckck, canggih banget ya non Jelita, bisa minum alkohol sekarang. Bukannya biasa minum jamu ya non.”

“Udah ah, bi Asih jangan banyak tanya, selamatin dulu non jelitanya.”

“Iya, non bener.”

Ester melangkah cepat mengejar Niko dan Ben.

Kini Niko sudah berada di depan kamar Ester, “Buka pintu nya,” ucap Niko.

Ester membuka hendel pintu, dan mempersilahkan Niko masuk ke dalam. Niko memperhatikan kamar Ester, kamar itu di dominasi warna putih, terlihat modern. Tempat tidur berukuran queen size, alisnya terangkat menatap bra berwarna hitam teronggok di tempat tidur. Ia menyingging senyum, ia lalu memikirkan bagaimana bentuk payudara Ester. Jika di lihat dari bra, ia tahu bahawa ukuran dada Ester sesuai dengan porsinya, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Terlihat sangat pas di tangannya, ia lalu melirik Ester.

Ester terbelalak kaget mendapati bra di atas tempat tidur. Ia dengan cepat berlari mengambil bra itu, lalu ia masukan ke dalam laci. Bisa-bisanya ia sangat ceroboh menaruh bra nya di sana. Ia merasa tidak enak dengan Niko.

Niko menahan tawa, lalu membaringkan tubuh Jelita di tempat tidur. Ia tahu bahwa reaksi orang mabuk itu macam-macam, ada mabuk rusuh, kalau mabuk kayak gini mending pura-pura tidak kenal, karena teriak-teriak, menganggu orang, ngatain orang, membuat rusuh berakhir dengan berantem. Ada juga mabuk curhat, curhat panjang lebar tentang kehidupan. Mabuk horny, biasanya tidak pilih-pilih, siapa saja bisa menjadi pelampiasan, tipe seperti ini yang berbahaya, maka jauhkan dari orang sekitar, kasih air putih yang banyak agar cepat rileks. Dan paling damai itu, mabuk tidur seperti Jelita, kemungkinan akan bangun langsung muntah, dan bisa jadi dia selamanya tidak mabuk, dia cuma benar-benar tertidur.

Niko dan Ben memandang Jelita sudah tertidur di tempat tidur, mereka merasa lega akhirnya teman Ester sudah berada di tempat yang aman.

“Nik, Est, gue cabut dulu ya,” ucap Ben mohon undur diri.

“Kok cepat banget,” ucap Niko.

“Biasa, kasihan Robert nggak ada temennya di rumah. Oiya, ini kunci mobilnya,” ucap Ben, menyerahkan kunci mobil itu untuk Niko.

“Thankk’s man. Kamu pulang pakek apa?” Tanya Niko lagi.

“Kebetulan driver udah jemput di bawah.”

“Owh ya?”

“Iya.”

Niko memandang Ester, “Saya antar Ben ke bawah dulu.”

“Iya.”

Ester melihat Niko mengantar Ben ke bawah, ia duduk di sofa kamarnya sambil memperhatikan Jelita. Ia masih mencari kata-kata yang tepat untuk menghadapi orang tua Jelita. Ia melihat jam menggantung di dinding menunjukan pukul 20.30 menit. Ia semakin bingung harus bagaimana, ia memotret Jelita yang tertidur di tempat tidurnya, sebagai barang bukti kalau wanita itu tidur di sini. Ia berharap kalau Jelita cepat bangun. Agar tidak merepotkannya, ia menyesal membawa wanita itu ke club.

Tidak lama kemudian, ia menatap Niko berada di depan pintu kamar, pria itu melipat tangannya di dada. Tatapan mereka bertemu lalu saling memandang satu sama lain,

“Ben udah balik?” Tanya Ester.

Niko mengangguk, “Iya, sudah. Dijemput sama drivernya,” ucap Niko, ia melangkah masuk ke dalam, ia melihat kamar milik Ester, di dalam kamar ada walk in closet. Ia akui kalau kamar Ester nyaman, tidak jauh berbeda dengan kamarnya..

“Kapan kamu mau beritahu orang tua Jelita?” Tanya Niko.

“Bentar lagi deh, masih bingung mau ngomong apa. Takut di semprot nih.”

“Jelita itu tidur apa mabok sih?” Taanya Ester penasaran, masalahnya biasa kalau mabuk nggak selama ini, paling nggak muntah terus peluk kloset. Lah itu tidurnya adem banget.

“Dua-duanya.”

“Menurut kamu, kapan Jelita bangun?”

“Besok pagi.”

“HAH!”

“Dia tidur sih kayaknya,” ucap Niko.

“Duh, ngomong gimana ya, sama mama dan papa nya Jelita?”

“Ya bilang aja tidur.”

“Kalau nggak percaya gimana?”

“Pasti percaya, buktiin aja.”

Jelita menarik nafas, ia menyandarkan punggungnya di kursi sambil berpikir. Ia takut, tiba-tiba mas Arya murka, mengetahui Jelita mabuk. Masalahnya mas Arya itu sangat posesif kepada adik perempuannya.

“Jelasin aja, gampang kan!”

“Ih, kamu nggak pernah ngerti deh, orang tua Jelita kayak apa, ribet tau! Aku pasti di omelin.”

“Ya, resiko kamu kan, bawa temen kamu ke club. Udah tau kalau club itu isinya alkohol, beer, music, kalau sekiranya nggak cocok sama Juliet sejak awal, ya jangan dipaksa.”

“Kok kamu ngomelin aku. Bete in banget! Andai aja, Jelita nggak diajak minum sama temen kamu si Ben, nggak bakalan mabok nih temen aku. Gara-gara kalian juga.”

“I know, tapi tugas kamu sekarang ngomong dan beri penjelasan kalau Jelita tidur.”

“Enggak semudah itu, lah.”

Beberapa detik kemudian, Ester melihat pergerakan tubuh Jelita, mendadak tubuh wanita itu bangun dan membungkuk dan lalu dia muntah habis-habisan.

Ester reflek memekik, sementara Niko mematung di tempat memandangi genangan air yang berada di Kasur yang menyebarkan aroma tidak sedap, dan tajam menusuk hidung. Mengalahkan pengharum ruangan yang berada di atas meja.

“Week!” Ester meleletkan lidah sambil mengibaskan tangan di depan hidung. Begitu juga dengan Niko, Niko bergerak maju, ia lalu membuka kaca jendela kamar, agar aroma itu cepat keluar. Tubuh Jelita terkulai lagi di tempat tidur setelah memuntahkan isi perutnya.

“Bi Asih … Bi Asih … Bi Asih!” Teriak Ester.

“Jangan teriak-terika, ini udah malam, nanti tetangga kamu dengar lagi,” ucap Niko.

Bibir Ester maju satu senti, ia membuka hendel pintu kamar, karena ia perlu bi Asih untuk bantuk membersihkan bedcover dan saprainya, yang sudah basah karena muntahan Jelita. Ia melihat bi Asih naik tangga.

“Iya, non,” ucap bi Asih.

“Jelita muntah,” rengek Ester.

“Aduh kok bisa non?”

“Namanya juga mabok bi, muntahnya di Kasur!”

“Ya ampun!”

“Gimana dong bi.”

“Tinggal bersihin aja non,” bibi lalu masuk ke dalam kamar, ia melihat mas Niko di dekat jendela.

“Mas Niko bisa pindahin non Jelita dulu nggak ke sofa, bibi mau ganti saprai dan bed covernya non Ester.”

“Baik bi.”

Niko lalu memindahkan tubuh Jelita ke sofa, setelah itu ia berdiri mendekati Ester yang berada di depan pintu.

“Kamu lebih baik langsung ke rumah Jelita, ngasih tau kalau Jelita tidur di sini, sebelum terlalu malam. Agar nggak terlalu dicurigai.”

“Masih takut …”

“Mau aku temenin?”

“Ih, jangan-jangan. Bisa berabe kalau diteminin, yaudah aku aja deh yang ke rumah Jelita. Kamu tunggu di sini ya, jagain Jelita, sampe aku pulang.”

“Oke.”

Ester menarik nafas, ia melangkah menuruni tangga, bagaimanapun ia harus memberitahu kejadian ini kepada keluarga Jelita. Ia tidak bisa membiarkan dirinya memendam rasa bersalah. Jujur ketika menginjakan kaki ke rumah Jelita, ada perasaan tidak enak menyelimuti hatinya.

Kini ia berada di depan pintu rumah Jelita, ia menekan bell, ia berusaha setenang mungkin. Ia menekan lagi bell itu, ia berharap bahwa akan ada keajaiban kepadanya. Ia memejamkan mata beberapa detik, ia mendengar suara pintu terbuka.

Jantungnya seakan berhenti berdetak, ia memandang seorang pria. Ia menelan ludah, ia tidak percaya kalau yang membuka pintu itu adalah mas Arya, saudaranya Jelita. Mendadak keringat dinginnya keluar, ada perasaan gugup dan cemas. Ia melihat ekpresi mas Arya, jantungnya tidak bisa ajak kompromi, karena terlalu panik.

“Malam mas Arya,” sapa Ester, ia berusama memberikan senyum,a agar rasa gugupnya hilang.

“Malam juga,” ucap Arya, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 21.00, ia tidak mendapati adiknya di sini.

“Jelita mana?” Tanya Arya, harusnya wanita itu bersama adiknya.

“Nah itu mas, ini aku mau ngomong masalah Jelita,” ucap Ester, ia tahu bahwa semua orang punya cara tersendiri menekan rasa gugupnya.

“Masalah apa?” Tanya Arya penasaran.

“Anu mas, Jelita tidur di kamar saya, maksudnya ketiduran. Enggak tega banguninnya.”

Arya mengerutkan dahi, “Kok bisa tidur? Bukannya kalian tadi dinner.”

“Nah itu mas. Tadi pulang dinner, pulang dulu ke rumah, terus kita nonton dan Jelita ketiduran,” ucap Ester memberi penjelasan, ia berharap bahwa mas Arya percaya dengaan ucapannya, ia tahu bahwa mas Arya sedang membaca ekspresinya.

“Kalau mas enggak percaya, aku ada foto-nya kok mas,” ucap Ester, ia memperlihatkan foto jelita yang tertidur di gallery ponselnya.

Arya memandang Ester, ia melihat foto di gallery ponsel itu, di sana Jelita adiknya sedang tertidur di tempat tidur. Ia melipat tangannya di dada, ia lalu keluar dari pintu, otomatis Ester melangkah mundur ke belakang. Ester meremas tangan, menggenggam erat jemarinya hingga buku-buku tangannya memutih. Keringan dinginnya keluar, ia tidak tahu alasan mas Arya tiba-tiba menutup pintu rumahnya.

Arya menatap Ester dengan intens, ia memperhatikan pakaian Ester, dia mengenakan dress hitam tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah, bahkan ia bisa melihat punggung tubuh Ester terbuka. Mungkin beberapa jam yang lalu Ester menutupinya dengan blezer, hingga dress sexy –nya tidak terlihat. Dan sekarang, mungkin dia lupa mengenakan blezernya terlihat buru-buru. Pria tetaplah seorang pria, sangat wajar memiliki ketertarikan terhadap keindahan tubuh wanita, dan tubuh Ester bagian dari indah itu.

Ia melipat tangannya di dada, memandang Ester, “Saya dokter, dan saya tahu, mana yang benar-benar tertidur dan tidak,” ucap Arya.

“Tapi beneran tidur kok mas,” ucap Ester, ia semakin gugup ketika mas Arya semakin melangkah mendekatinya.

Arya lalu tertawa, ia tersenyum culas, “Yakin tidur?”

“Iya, yakin,” ucap Ester dengan suara gemetar, karena ekspresi mas Arya semakin menakutkan, tatapannya sangat tajam, Ester menghentikan langkahnya karena, selahkah lagi ia turun dari tangga, ia tidak ingin berakhir jatuh di tangga, karena itu sangat menyakitkan dan sama sekali tidak estetik.

Arya mencondongkan tubuhnya, ia dapat mencium aroma prafume Ester, aromanya manis dan menenangkan,

“Saya tadi ngikutin kalian dari belakang,” bisik Arya.

Ester shock, bibirnya terbuka dan tangannya dengan reflek menutup mulut, “What!”

“Saya tidak suka kamu meracuni Jelita ketempat-tempat seperti itu, paham!”

“Mas …”

Bibir Arya terangkat, ia melihat ekspresi Ester, “Apa Jelita minum alkohol? Dia pasti mabuk?”

“Mas Arya …”

“Bener dugaan saya?”

“Mas …”

“Ngaku saja …”

Ester hanya bergeming, ternyata ucapan mas Arya memiliki intiusi yang kuat. Tiba-tiba pintu terbuka, otomatis Arya menoleh dan Ester menatap ke depan. Jantungnya semakin maraton tidak karuan, ketika di depan pintu itu ada orang tuanya Jelita. “Mampus!” Jerit Ester dalam hati.

“Ester,” ucap mama Jelita.

“Malam tante,” sapa Ester pelan, nyaris berbisik, di sampingnya mas Arya, hancur sudah nasibnya kali ini.

“Kalian di sini? Kenapa nggak masuk ke dalam aja,” ucap mama Jelita lagi.

“Di sini aja tante,” ucap Ester.

“Kok sendiri? Jelita mana?” Tanya papa Jelita.

Ester ingin rasanya bunuh diri sekarang juga, melihat keluarga Jelita tiba-tiba menanyakan putri kesayangannya. Ia melirik mas Arya berada di sampingnya, dan mereka saling berpandangan. Ia tidak menyangka kalau mas Arya memiliki postur tubuh setinggi ini.

“Begini ma, pa. Kedatangan Ester ke sini ngasih tau kalau Jelita tidur di kamar Ester,” Arya mencoba menjelaskan kepada orang tuanya.

Ester shock, ternyata mas Arya membantunya menjelaskan kepada kedua orang tuanya.

“Kenapa nggak di bangunin saja nak Ester.”

“Ester enggak tega ma, untuk bangunin Jelita, katanya udah tidur nyenyak,” Arya melihat Ester masih menggenggam ponselnya, ia mengambil ponsel itu dari tangan Ester secara diam-diam.

Ester merasakan tangan hangat mas Arya menyentuh jemarinya, otomasti Ester menoleh. Mereka saling menatap satu sama lain, jantung Ester seketika berdesir, ia melepaskan ponselnya, dan kini beralih ke tangan mas Arya. Ia tahu bahwa mas Arya menyelamatkannya.

Arya menggeser ponsel Ester, di layar masih posisi di gallery foto, di sana terlihat foto Jelita yang tertidur. Ia memperlihatkan foto Jelita itu kepada orang tuanya.

“Jelita tertidur ma, pa, ini bukti fotonya. Kalau sudah tidur seperti ini, biarkan Jelita bermalam di rumah Ester.”

Hati Ester tiba-tiba terhenyuh, kalau mas Arya sebaik itu kepadanya. Mereka saling menatap satu sama lain, ia tidak tahu arti tatapan mas Arya kepadanya. Namun sepertinya ada sebuah isyarat yang harus ia jelaskan nantinya.

“Biarkan Jelita tidur di rumah Ester untuk malam in ma, pai, karena jarak rumah kita dan Ester juga dekat kan.”

“Apa nggak ngerepotin nak Ester nantinya?” Ucap mama.

“Enggak kok tante, sama sekali enggak. Kebetulan saya sama Jelita udah sahabatan sejak SMA. Masa itu aja ngerepotin, lagian masih kangenn-kangenan karena kemarin Jelita lama di Jogja. Boleh ya tante, Jelita tidur sama Ester, malam ini aja.”

Mama menarik nafas, ia memandang Ester, ia tahu bahwa Ester dan Jelita sudah berteman lama, ia percaya bahwa persahabatan mereka sangat dalam. Selama Jelita tidak pernah sekalipun pamit untuk tidur di rumah teman ataupun sahabatnya, karena dia harus belajar sopan santun, bagaimanapun tidur di rumah orang tidak baik.

“Ijinin aja ma, lagian kita sudah kenal Ester, dia sahabatnya Jelita. Mereka sudah berteman cukup lama.”

Mama dan papa Jelita tersenyum kepada Ester, mereka mengangguk, “Yaudah kalau gitu tidak apa-apa Ester. Tapi ingat, besok pagi Jelita-nya di suruh pulang ya.”

“Baik tante, habis breakfast langsung pulang.”

“Tante sama om, masuk dulu ya.”

“Iya, tante.”

Ester merasa lega luar biasa ketika kedua orang tua Jelita sudah masuk ke dalam, ia ingin menguburkan dirinya ke dalam jurang nestapa. Arya berpindah posisi, kini ia berada di hadapannya, pria itu melipat tangannya di dada.

Yang menjadi permasalahannya hanya satu yaitu mas Arya. Aura mas Arya sangat mengintimidasi, lihat saja bagaimana cara dia menatap.

“Besok, saya butuh penjelasan kamu.”

“HAH! Penjelasan apa lagi mas?” Tanya Ester.

“Penjelasan kenapa Jelita bisa mabuk.”

“Tapi mas…”

“Saya sudah menyelamatkan kamu di sini.”

“Iya, saya tahu,” ucap Ester, ia melihat tatapan mas Arya, “Oke, mas Arya mau minta penjelasan apa? Di mana?” ucap Ester pada akhirnya, karena ia tidak ada pilihan lain.

Arya melihat ke arah layar ponsel, ia menekan angka pada layar, lalu ia tekan tombol hijau pada layar. Ia merogoh ponsel di saku celananya, ia melihat tertera ponsel Ester di sana. Ia menyimpan dengan nama Ester.

Arya kembalikan lagi ponsel itu ke sang pemilik, “Saya sudah save nomor ponsel kamu.”

“Kita bicara di apartemen saja.”

“HAH!”

Arya tersenyum penuh arti, ia melangkah menjauhi Ester, ia melihat ekspresi terkejut Ester.

“Besok saya kasih tau alamatnya.”

“Serius mas di apartemen? Apartemen siapa?”

“Apartemen saya.”

“What!?”

Ester melihat Arya sudah masuk ke dalam, dan pintu tertutup rapat, “What? Mas Arya ngajak ke apartemennya? Seriously?” Ia bukan wanita sok suci, ia tahu betul apa yang dipikirkan pria-pria di luar sana, ketika mengajak seorang wanita ke apartemennya. Mas Arya, yang ia kenal menjaga adat istiadat dan luluhurnya sebagai putra bangsawan, membawanya ke apartemen? Mas Arya tidak sesuci itu! Atau justru malah sebaliknya?

“What?” Ia masih terkaget-kaget.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel