Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

HAPPY READING

***

Ester menelan ludah, kini Niko sudah berada di hadapannya,

“Hai,” sapa Niko, seperti biasa ia disambut dengan wajah yang tidak bersahabat.

“Kamu di sini juga,” ucap Niko menatap Ester.

“Enggak nyangka ya, tujuan kita ternyata sama ke sini,” timpal Niko lagi, ia memperhatikan Ester, dilihat dari jarak dekat seperti ini dia sangat cantik. Entahlah, di bawah lampu temarah, kecantikannya bertambah. Entahlah bagaimana menjelaskan bahwa ke Jakarta memang ingin melihat bagaimana jodohnya. Dan jujur, ia memang tidak menolak ketika mama menunjukan foto Ester kepadanya, karena aslinya jauh lebih cantik dari pada picture.

“Iya, nih. Kebetulan banget kan.”

“Mau gabung ke table kita nggak?” Niko menawarkan Ester dan temannya, untuk bergabung ke table mereka, kebetulan mereka juga cuma berdua.

“Eh, enggak deh. Kita enak di sini, bener kan Jel.”

“Hemmm,” Jelita bingung antara iya dan tidak, karena siapa yang menolak ajakan pria tampan itu.

“Kamu yang tetangga sebelah itu ya,” ucap Niko kepada Jelita.

Jelita tersenyum dan mengangguk, “Iya.”

Niko mengulurkan tangan kepada wanita itu, “Kita lupa kenalan tadi, saya Nicholas, panggil saja Niko,” ucap Niko.

Jelita dengan senang hati lalu menyambut uluran tangan Niko. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Jelita merasakan tangan hangat Niko menggenggam tangannya, “Saya Jelita.”

Sedetik kemudian Niko melepaskan tangannya, ia berikan senyuman terbaiknya.

“Mau gabung sama kita?” Ucap Niko.

Jelita terseyum sumringah, ia tidak mungkin menolak, karena ia tidak akan menolak, karena kesempatan ini tidak boleh ia lewatkan begitu saja,

“Iya, boleh.”

Ester shock sekaligus speechless atas jawaban Jelita, “What!” Teriak Ester dalam hati.

Ia melihat Jelita turun dari kursi bar. Ia memandang server membawa pesanan mereka.

“Maaf, mas makanan kita taruh di table sana aja,” tunjuk Jelita, menyuruh server menaruh pesanan mereka ke table sebelah.

“Baik,” ucap server itu ramah.

Niko tersenyum kemenangan, kini sahabatnya Ester bernama Jelita ikut bersamanya. Dan Jelita, tidak ada pilihan lain, selain ikut bersama mereka, tidak mungkin dia seorang diri duduk di bar. Sementara temannya kini bersamanya, Ia melihat ekspresi Ester dengan tatapan tidak suka.

Ester mau tidak mau, turun dari kursi bar, ia lalu menarik lengan Jelita menjauhi Niko, dan membawanya ke sudut ruangan.

“Ikut gue!” Ucap Ester.

Setelah sampai di sudut ruangan, ia memastikan Niko tidak mendengar percakapan mereka.

“Lo apa-apan sih, ikut sama Niko segala!” Ester protes keras.

“Emangnya kenapa?”

“Kita kan nggak tau, dia bahaya apa nggak. Gue aja baru kenal dia!”

“Nah, justru baru kenal itu, kita harus kenal Es. Lagian Niko kan tinggal sama lo. Aman lah, temen anak nyokap lo. Pasti cowok baik-baik.”

“Tapi kan kita nggak tau, niat busuknya dan tujuan dia ke rumah gue apa! Ngeri tau! Baru kenal, udah diajak ke table, nanti lo di bungkus, Jelita!”

“Lo nggak boleh berprasangka buruk Es. Tampangnya Niko sama sekali nggak ada criminal, ganteng, terpelajar, rapi, wangi, bersih, alisnya tebel, hot, cowok baik-baik lah, kayak mas Arya.”

Ester menarik nafas lagi, ia akan memberitahu sahabatnya ini, kalau dia jangan terlalu percaya sama orang yang baru dikenal, namun yang dikasih tau tetap aja batu,

“Jel, gue kasih tau ya sama lo! Sekarang itu, jangan percaya sama tampang. Yang ganteng-ganteng kayak Niko itu yang banyak masuk penjara, pedofil, psikopat, temperament, keciduk narkoba, penjahat kelamin. Mau lo nanti jadi korban sama dia?”

Jelita memejamkan matanya beberapa detilk, ia berusaha tenang, ia menepuk bahu Ester, ia tahu bahwa sahabatnya ini memiliki kekhawatiran berlebih kepada pria bernama Niko,

“Iya, gue tau kalau lo khawatir, gue paham,” ucap Jelita, ia memanatap iris mata sahabatnya, ia meraih jemari Ester, ia genggam erat. Ia selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk selalu positif thingking, karena pepatah mengatakan kalau hidup itu di perumit oleh pikiran diri sendiri. Artinya kalau pemikiran yang stabil maka dapat mengontrol apa yang bisa dilakukan ketimbang omongan orang lain, itu sama sekali tidak bisa membangun. Oleh sebab itu ia harus menyadarkan sahabatnya agar tetap berpikir positif terhadap lingkungan sekitar.

“Tapi, gue yakin kalau Niko orang baik. Hayuk ke sana deh, mumpung ada Niko, dia pasti jagain kita di sini. Justru kita berdua di kursi bar, jadi inceran buaya darat.”

“Lo pikir Niko bukan buaya!” Ester hampir memekik.

Ester menganga memandang Jelita kini sudah menjauh mendekati Niko, sama sekali tidak mendengarkan ucapannya. Sumpah, baru beberapa menit yang lalu wanita itu mengatakan kalau dia tidak nyaman berada di club ini, ngeri dan sama sekali tidak cocok dengan dirinya, musiknya berisik dan alasan lainnya. Sekarang dia terlihat sangat menikmatinya. Sumpah! Jelita benar-benar ajaib, secepat itu dia berubah pikiran.

Ester mau tidak mau melangkah mendekati Jelita yang sudah berada di table Niko. Ia menatap Niko dan temannya duduk, dan tersenyum kepadanya.

“Jelita, Ester, kenalin ini sahabat saya Ben,” ucap Niko memperkenalkan Ben kepada dua wanita cantik itu.

Ben berdiri, ia lalu mengulurkan tangan kepada wanita bernama Ester, “Hai, saya Ben,” sapa Ben.

“Ester.”

“Jelita.”

“Senang berkenalan dengan kalian.”

“Sama-sama.”

“Silahkan duduk,” ucap Ben.

Ester dan Jelita duduk, ia melihat server sudah menghidangkan grilles salmon, maxi burger, dan buah segar.

“Kita nggak nyangka loh, kalau kita ketemu di sini,” ucap Niko.

“Iya, nih. Kebetulan banget ya,” sahut Jelita terkekeh.

“Sering ke sini?” Tanya Niko lagi membuka topik pembicaaraan.

Jelita tersenyum ia melirik Ester yang hanya diam, “Enggak sering-sering banget. Kalau bosen aja ke sini, iya kan Es?”

Wow, sejak kapan Jelita bisa luwes berbohong seperti itu. Ia pikir keturunan darah biru tidak pernah melakukan hal seperti ini.

“Iya,” ucap Ester sekenanya, karena ia memang menghindari Niko.

Ben m memandang gelas Ester dan Jelita. Ia tahu bahwa di dalam gelas itu bukan minum alkohol.

“Bisa minum kan?” Tanya Ben lagi.

“Bisa dong,” sahut Jelita lagi.

Ester terbelalak kaget, ia mencondongkan tubuhnya ke telinganya Jelita, “Lo beneran bisa minum?” Bisik Ester.

“Bisa lah, cuma minum kan?”

“Minum itu, minum alkohol!” Desis Ester.

“HAH!”

“Iya, minum alkohol!” Bisik Ester.

Ben memanggil server, dan server menghampiri mereka, “Ada yang bisa saya bantu pak?”

“Saya minta dua gelas kosong ya.”

“Baik pak.”

Tidak lama kemudian gelas kosong itu ada di meja mereka. Ben menuangkan chivas regal ke dalam gelas itu. Ester menelan ludah, ia tahu bahwa minuman itu bisa bikin mabuk berat. Kadar alkohol chivas tergolong tinggi, mengakibatkan seseorang lebih cepat mabuk.

“Silahkan di minum,” ucap Ben menyodorkan gelas itu kepada Jelita dan Ester.

“Tapi, minuman kita masih penuh loh,” tolak Ester.

“Ya, kan minumnya beda. Itu bukan alkohol kan?” Timpal Ben.

“Kita, malam ini nggak minum alkohol, iya kan Jel.”

“Iya, nih.”

“Minum setengah aja dulu, untuk awal perkenalan,” ucap Ben lagi.

Ester diam-diam menghela naafas, ia menatap Jelita yang mengangguk manut. Ia mempersiapkan diri untuk menegak alkohol dengan kadar tinggi itu. Ok, ia tidak munafik ia bisa minum berbagai macam minuman beralkohol, namun dalam batas yang wajar, jika segelas tidak akan membuatnya mabuk kecuali bergelas-gelas.

“Kita makan dulu ya,” ucap Ester, mengiris salmon yang ada dipiring, ia harus mengisi perutnya dengan makanan, ia sudah mengira-ngira seperti apa rasa minuman beralkohol itu. Ia hanya berjuang agar ia tidak akan pernah mabuk jika di club.

Sepasang mata Ester mengerjap, ia mencium aroma kuat dan menyengat. Kini ia melirik arah sumber aroma menyengat itu, ternyata Jelita menegak alkohol. Ia nyaris tidak percaya kalau Jelita berani menegak alkohol, pengenalan mereka di sini bukan untuk dirayakan dengan meneguk alkohol.

“Ternyata kamu bisa minum ya,” ucap Ben terkekeh menatap Jelita, cairan di dalam gelas itu habis tidak tersisa.

Ester menutup mulutnya dengan tangan, perlu diingat kalau Jelita itu putri bangsawan yang perlu ia jaga dengan penuh kehati-hatian ketika berada di luar seperti ini. Ia juga harus memulangkan Jelita dalam keadaan utuh dan tentu keadaan sadar. Ia melihat Jelita memejamkan mata, karena mungkin ada sensasi pahit di sana. Ia yakin cairan itu sudah lolos dari tenggorokannya.

Niko yang berada di hadapan dua gadis itu menyorot tajam. Ben juga memandang Jelita, kedua alis nya terangkat, dan tangan Ben menuangkan alkohol yang kosong itu lagi ke dalam gelas Jelita. Sedangkan Ester, terperangah, dan tidak percaya atas tindakan Jelita.

“Yakin dia bisa minum?” Tanya Ben mengawasi, karena caranya menegak tidak seperti orang yang terbiasa minum.

“Temen kamu nggak apa-apa kan?” Tanya Niko, mencoba menyelidiki, karena setelah minum wanita itu hanya diam.

Ester menatap Jelita, ia memegang bahu Jelita, “Jel, lo nggak apa-apa kan?”

“Enggak apa-apa kok,” ucap Jelita pelan.

“Lo jangan minum lagi ya, berabe soalnya kalau lo mabuk,” ucap Ester.

“Iya, tenang aja,” ucap Jelita lagi, ia berusaha mengangkat kepalanya dan ia tersenyum. Ia memandang gelasnya masih berisi minuman itu lagi.

Niko dan Ben merasa lega, mereka pun saling menatap satu sama lain.

“Kalian tetanggaan udah lama?” Tanya Niko, kepada Ester membuka topik pembicaraan.

“Iya.”

“Teman satu kuliah?”

“Enggak, kalau Jelita kuliahnya di Singapore kalau aku di Paris.”

Ester mendapatkan firasat yang tidak enak pada Jelita. Ia memandang Jelita bawah lampu yang minim.

“Kita temenan udah lama, sejak SMA. Karena Jelita pindahan dari Jogja ke Jakarta waktu SMA gitu,” Ester menjelaskan.

“Iya, kan Es?” ucap Ester melirik Jelita.

Tanpa ia sadari, ia menutu mulutnya dengan tangan, menatap Jelita menegak alkohhol itu lagi. Ia dengan cepat mengambil gelas yang sudah habis ditegak oleh Jelita.

“Jel, udah minumnya. Aduh, berabe nih!” ia melihat Jelita yang hanya diam, lalu tubuh wanita itu terkulai di sofa.

“Ya Tuhan!” Ester terperangah sekaligus shock memandang sahabatnya sudah tidak sadarkan diri.

Ester menggoyangkan bahu Ester, berusaha menyadarkan sahabatnya itu, “Jel, Jel, bangun! Ya ampun, gimana nih. Bisa mati gue kalau Jelita lo gini,” Ester panik.

“Bahaya nih, kalau Jelita nggak bisa bangun!”

“Ini bisa gawat darurat, gue bisa dibunuh sama nyokap bokapnya.”

Niko dan Ben saling menatap satu sama lain, ia menatap wajah panik Ester, “Loh, bukannya kalian sering ke sini? Berarti sering nge-drink dong.”

“Haduh, lo ah. Nawarin minum segala! Tuh, kan temen gue mabok. Gimana nih? Gue bisa dipasung, digolok, dipenjara, sama emak babe nya si Jelita.”

“Tinggal bawa aja ke rumahnya, beres kan? Lagian Fable ke rumah kalian juga deket, tinggal anter ke rumah, kasih ke asistennya selesai, besok bangun,” ucap Ben.

Ester ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding, masalahnya dua orang pria itu tidak tahu kalau siapa Gusti Raden Ajeng Jelita Wijarena, dia itu anak paduka raja yang di jaga ketat untuk meletarikan nilai-nilai tradisional. Putri bangsawan ini baru pertama kalinya mendapat restu keluar bersama rakyat jelata, ijin untuk makan malam dengan wejangan panjang lebar, lalu berakhir dalam keadaan mabuk. Bisa ketahuan kalau mereka bohong.

Apa yang harus menghadapi paduka raja? Apalagi mas Arya yang sangat aware, kepada adiknya itu, mengingat kalau tadi seakan tidak rela kalau mereka keluar malam gini. Apa yang terjadi pada dirinya, jika kedua orang tua Jelita tahu kalau sang putri mahkota mabuk? Karena ia bertanggung jawab penuh di sini, ia mengemban amanah yang cukup besar mengawasi Jelita. Namun amanah itu disia-siakan. Bisa jadi ia mendapat hukuman cambuk, penggal atau paling tidak hukuman mati.

“Aduh, gimana nih!” rengek Ester, inginnnya menangis sekarang juga.

“Gue gimana nih! Bingung nih, gue harus gimana,” ia kali ingin benar-benar nangis sekarang juga.

Niko menarik nafas, ia menatap wajah panik Ester kepanikan bahkan ia melihat wanita itu hampir menangis. Ia mendekati Ester, berniat menenangkan, padahal itu hanya mabuk sudah sering terjadi oleh semua orang,

“Nanti kita anter Jelita ke rumah nya sama-sama,” ucap Niko.

“Rumahnya di samping kan, deket.”

“Bukan karena dekat. Masalahnya si Jelita ini nggak pernah ke club, apalagi minum dan sampe mabok gini. Lo tau? Dia itu keturunan darah biru, bukan rakyat jelata kayak kita! Bisa marah besar nih, kanjeng ratu!” Timpal Ester nyaris memekik.

Ben mengerutkan dahi, “Emang siapa kanjeng ratu?” Tanya Ben bingung.

“Kanjeng ratu itu nyokapnya Jelita tau! Ah, lo itu aja nggak tau!”

“Ya, bilang aja nyokapnya, pakek kanjeng ratu segala!”

“Itu kan istilah gue!”

“Terus, jaman modern kayak gini, masih ada ya kasta-kasta kayak gitu?”

“Masih lah! Tuh buktinya si Jelita! Dia itu keturanan bangsawan!”

“HAH! Seriusan?”

“Iya, serius!”

“Lo sih, nawarin alkohol segala. Tuh kan, si putri kraton mabok! Gimana nih! Bingung gua!” Rengek Ester.

“Lo tau nggak? Tadi gue izin sama nyokap bokapnya Jelita itu, cuma makan malam doang, bukan ngajak minum!”

“Namanya makan malam doang itu di restoran! Bukan di club!” Timpal Niko.

“Tapi kan di sini ada makanannya juga. Gue cuma ngasih tau kalau ini loh club. Maklum Jelita nggak pernah ke club!”

“Salah lo berdua lah! Ngapain salahin kita!”

“Tapi, lo berdua nawarin minum!”

“Apa salahnya cuma minum!”

“Lo kok nyalahin kita? Minum bareng di club itu biasa Es. Bukan maksud apa-apa. Kalian sendiri yang jawab, kita tanya bisa minum nggak? Katanya bisa, mana jawabnya sering ke sini lagi. Jangan nyalahin kita dong,” timpal Ben.

“Terus gimana nih si Jelita?” Rengek Ester.

Niko menarik nafas, panjang, ia memandang Jelita di sana, ia melirik Ben, karena ia melihat Ben lah yang menuangkan alkohol di gelas-gelas gadis itu.

“Jelita minum berapa gelas?” Tanya Niko lagi.

“Kalau dari pengamatan gue sih dua gelas, tapi gue liat dia nuangin sendiri berapa kali. Yah, kira-kira empat atau lima gelas,” ucap Ben.

“HAH! Sebenyak itu!” Ester nyaris memekik.

Ben mengedikan bahu, “Kayaknya sih, gue nggak meratiiin juga!”

“Lo gimana sih!” Rengek Ester lagi.

“Ya mana gue tau Es!”

“Tuh kan!” Renge Ester kali ini ia benar-benar ingin menangis.

Ester menatap sahabatnya sudah tertidur di sofa dengan tetapan penuh pilu, matanya sudah berkaca-kaca, inginnya nangis sekarang juga. Jika sudah terlelap seperti itu, kemungkinan sadar besok pagi baru sadar. Ia harus ngomong apa sama kedua orang tua Jelita melihat anaknya seperti ini? Ia bisa di pasung kalau kayak gini.

“Emang orang tua Jelita galak banget ya?” Tanya Ben melihat Ester penuh prihatin.

Masalahnya kalau orang mabuk itu biasa, nanti juga sadar. Perkara mabuk saja, membuat situasi runyam. Apalagi adegan-adegan Ester yang mendramatisir, namun ia sedih dan kasihan juga melihat Ester.

Ester mengangguk, “Iya. Ijin keluar malam kayak gini aja baru mala mini. Ini perdana gue ngajak Ester jalan. Gue harus dengerin wejangan orang tuanya setengah jam. Banyak banget petuah-petuah yang harus dipatuhi, apalagi ada mas Arya kakaknya Ester yang super galak.”

“Duh, gue udah bayangin, ini rumit banget. Jelita pokoknya nggak boleh kelihatan mabok aja di depan orang tuanya. Bisa jadi kita nggak dibolehin temenan lagi.”

“Lo sih, punya temen ribet banget! Aneh banget sampe nggak boleh keluar malam,” Dengus Ben.

“Namanya juga temenan udah lama!”

Niko menatap Ben dan Ester, “Gue tau solusinya.”

“Apa?” Tanya Ester.

“Satu-satunya cara, Jelita nginap di rumah lo. Lo tinggal kasih tau orang tua Jelita, kalau Jelita tidur sama lo buat malam ini Jelita ketiduran sampe rumah. Gue rasa itu gitu sih paling aman.”

“Kalau disuruh bangunin gimana?”

“Bilang aja nggak tega, tidur pules.”

“Aduh, percaya nggak ya nyokap bokapnya Jelita?”

“Kan ada bukti autentik. Bilang aja kekenyangan, kecepan, atau keasyikan nonton TV lalu tidur. Pinter-pinter cari alasan sih!”

“Oh Tuhan, kenapa ruwet banget!” Ester ingin sekali berteriak.

“Jadi gimana?” Tanya Niko.

Ester menarik nafas panjang, menenangkan dirinya, “Yaudah deh, oke. Intinya lo bantu bopong Jelita ya, bawa ke mobil, pulang dulu aja.”

“Iya, tenang aja,” ucap Ben, ia melangkah mendekati Jelita, ia memperhatikan wajah cantik yang sedang tertidur itu. Oh Tuhan, ternyata masih ada putri mahkota terdampar di jaman modern saat ini.

Ester dan Niko menatap Ben, pria itu dengan sigap mengangkat tubuh Jelita keluar dari club, diikuti oleh mereka berdua. Ester menunjuk mobilnya yang berada di pelataran parkiran. Ester membuka kunci central, ia membuka pintu belakang dan Ben memasukan tubuh Jelita ke dalam mobil.

“Lo nggak apa-apa bawa mobil?” Tanya Ben kepada Ester.

‘’Enggak apa-apa sih.”

“Atau mau di belakang, nemenin Jelita, takutnya kepalanya terbentur.”

“Hemmm, boleh deh.”

“Yaudah, biar Niko yang nyetir.”

“Bukan lo?”

“Kan gue bawa mobil.”

Ester melirik Niko yang ada di sampingnya, “Yaudah deh kalau gitu,” Ester lalu menyerahkan kunci mobilnya kepada Niko.

“Nih.”

“Ok.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel