Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

BAB 4

HAPPY READING

***

Ester melangkahkan kakinya menuju rumah Jelita. Ia tahu sejak lama bahwa Jelita memang keturunan darah biru. Sejujurnya ia kasihan kepada sahabatnya, dia memiliki beban untuk menjaga adat istiadat untuk terus berjalan dan dilestarikan seperti kehidupan kraton. Jaman sudah modern gini masih saja ada tradisi yang harus di jalankan.

Jelita memang terlihat bangsawan pada umurmnya. Dia sekan mengemban amanah yang berat untuk mengayomi rakyat-rakyatnya. Tidak jarang ia juga mendapat petuah panjang lebar ketika ia sedang berkeluh kesah. Rasanya jika curhat dengan Jelita jatuhnya mendapatkan nasihat seperti orang tua.

Bisnis yang digeluti Jelita cukup menjanjikan dia memiliki bisnis SPA yang ada di Jakarta, perusahaan itu rintis dari ibunya lalu diturunkan oleh Jelita. Sedangkan ayahnya Jelita salah satu pejabat negara yang bekerja di Kementrian Sosial. Ia tidak tahu pasti jabatannya apa, yang pasti cukup bergengsi.

Ia berusaha setenang mungkin ketika menginjakan kaki ke rumah Jelita. Belum masuk ke rumah Jelita aja, ia sudah merasakan bagaimana suasana yang sunyi mencekam. Ia hanya mendengar suara-suara angin yang berhembus. Pintu utama rumah terbuka, di depan pintu ada high heels, ia yakin high heels itu milik Jelita.

Sepertinya ia tidak cocok menjadi Jelita, karena mereka sangat bertolak belakang. Walau seruwet apapun masalahnya Jelita, dia masih tetap tenang bak putri keraton, bisa senyum, tutur katanya lembut halus dan penuh hati-hati. Bahkan dirinya saja sempat gemes kalau Jelita berbicara pelan lembut. Berbeda sekali dengan dirinya yang rakyat jelata dari kasta rendah.

Ester memencet bel, ia memandang seorang pria melangkah mendekati pintu utama. Ia menelan ludah, pria bertubuh tinggi tegap itu adalah saudaranya Ester bernama Raden Mas Harya Mangkubumi. Biasa ia panggil mas Arya. Katanya mas Arya itu adalah dokter spesialis, ia tidak tahu spesialis apa. Jujur, selama ia bertetangga, ia tidak terlalu mengenal dengan mas Arya, karena kenal hanya sebatas wajah saja.

“Malam mas Arya, Jelita nya ada?” Tanya Ester pelan penuh hati-hati.

“Ada, silahkan masuk,” ucap Arya, ia tahu bahwa gadis di hadapannya ini adalah sahabatnya Jelita adiknya.

“Saya tunggu di sini saja masa,” tolak Ester, lalu menunjuk kursi kayu yang ada di teras. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia menunggu Jelita di dalam sambil mendengar petuah.

“Masuk saja, kedua orang tua saya mau lihat kamu juga.”

Ester menarik nafas, jika mas Arya sudah mengatakan seperti itu, ia tidak bisa menolak. Dengan berat hati ia masuk ke dalam rumah. Ketika ia masuk, ia menatap pilu ketika Jelita menundukan kepala sambil mendengar nasihat sang mama.

Sahabatnya itu mengenakan midi dress berwarna biru muda. Rambut panjangnya digulung ke belakang. Penampilannya seperti biasa, tampak anggun, berkelas, bak putri kerajaan. Bukan seperti dirinya dengan pakaian terbuka. Untung saja ia mengenakan blezer untuk menutupinya. Ester mendengar petuah-petuah yang di sampaikan kedua orang tua Jelita, dan Jelita mendengarkan secara takzim.

Mereka menunggu siraman rohani dari orang tua Jelita. Akhirnya selesai juga, ia pun lega, ia memandang Jelita tersenyum kepadanya. Ia mundur teratur, keluar dari ruang tamu. Ia tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan Jelita dan kedua orang tuanya, karena mereka menggunakan bahasa jawa yang super halus. Ia melihat Jelita mengenakan high heels, dan kedua orang tua Jelita berdiri di depan pintu utama menatap dirinya dan Jelita.

“Kalian pakai mobil?” Tanya mama Jelita, suara mama Jelita terdengar anggun dan lembut.

“Iya, tante. Lagi pengen pakai mobil.”

“Hati-hati ya, Ester bawa mobil,” ucap papa Jelita.

“Iya, om.”

“Kalian dinner dekat-dekat sini kan?” Tanya mas Arya menyelidiki.

Ester melirik Jelita yang hanya tersenyum, “Iya, mas.”

“Jangan pulang malam-malam, ya.”

“Baik, mas.”

Ester dan Jelita melangkah menuju mobil, mereka masuk ke dalam dengan pemandangan keluarga Jelita yang berada di teras, melepas kepergian sang putri bangsawan. Padahal ini hanya makan malam, namun kepergiaan itu seakan merekka pergi lama. Ester mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman.

Beberapa menit kemudian akhirnya mobil meninggalkan area rumah Jelita. Ada perasaan lega luar biasa ketika mereka keluar dari rumah itu. Ester menghidupkan audio dan lalu melirik Jelita.

“Akhirnya, kita keluar juga dari rumah lo,” ucap Ester memegang jantungnya.

“Gimana ceritanya, lo bisa diijinin keluar?” Tanya Ester to the point.

“Ya bilang aja, mau dinner sama lo. Mama dan papa percaya kok kalau perginya bareng lo.”

“Tapi ini kan malem, emang nggak apa-apa?”

“Ya, nggak apa-apa, santai aja kali. Tapi ya, tetep pulang jangan malam-malam, ada batasannya.”

“Kalau staycation di bolehin nggak sih?” Tanya Ester lagi, ia memanuver mobilnya.

“Tergantung sih, tujuannya mau ke mana. Kalau alasannya jelas mama dan papa ijinin, kok.”

“Yakin diizinin?” Tanya Ester, memastikan, karena rasanya ia tidak yakin bisa mengajak Jelita pergi dari singgasananya.

Padahal setahunya banyak artis di Indonesia yang keturunan bangsawan dari masa lampau. Meski kerajaan jaman tersebut sudah tidak lagi Berjaya di masa kini. Ia tahu bahwa keturunan-keturunan dari para bangsawan masih mengalir hingga saat ini. Meski memiliki darah dari bangsawan dan elit di masanya, namun banyak dari mereka membaur seperti kasta rendah pada umumnya.

Kebanyakan keturunan bangsawan yang ia kenal sudah banyak yang modern. Tidak seperti Jelita yang masih melestarikan budaya. Jadi cenderung kaku dalam segi nilai-nilai tradisional. Kalau ngomong masih penuh hati-hati dan berbicara lembut. Jangan dibayangkan kehidupan seperti film yang serba bangsawan. Namun yang membedakannya bisa dilihat dari sisi seberapa kaku nilai-nilai tradisionalnya. Berbeda sekali dengan keluarga dirinya yang sangat bebas tertawa, dan berbicara lepas, tanpa perlu kehati-hatian.

“BTW, kita ke mana?” Tanya Jelita.

“Fable.”

“Jauh?”

“Enggak juga sih, masih daerah sini, deket.”

“Di sana keren banget, ya.”

Ester mengangguk, “Iya, keren banget lah. Di sana itu tempat klub malam yang paling terkenal di Jakarta. Lo pasti belum pernah,” ucap Ester.

“Belum. Lo pernah?”

“Pernah, sama Vero. Pokoknya keren abis deh! Lo pasti suka!”

“Penasaran gue sekeren apa tempatnya, sampe lo ngajak gue ke sana!”

Ester tertawa, “Maaf ya Jel, kalau kita nongkrong di sana. Biar lo tau aja kalau club itu gimana. Di sana juga banyak menu makanan kok, sambil nikmatin music DJ. Kalau jam segini sih, DJ belum keluar. Biasa jam 11 malam ke atas, ini mah club baru buka,” ucap Ester melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.11 menit.

“Enggak apa-apa kok Jel. Gue kan penasaran juga kayak gimana, tempat nongkrongnya cowok-cowok keren.”

***

Sementara di sisi lain, Ben dan Niko masuk ke dalam club Fable. Mereka duduk di salah satu sofa, suasana club tidak terlalu rame, karena mungkin masih jam tujuh. Ben juga tidak mau pulang terlalu malam, karena memang besok banyak yang harus mereka kerjakan.

Pertama kali menginjakan kakinya ke sini, atmosfernya terasa, tempatnya bagus, lampu sorotnya sama sekali tidak menganggu, suara music DJ nya up to date. Bentuknya kayak akuarium, semua sisi terbuat dari kaca. Isinya kebanyakan anak muda. Staff-nya ramah-ramah, ia memandang Ben memesan chivas regal, dan beberapa menu makanan calamary, nasi goreng, dan buah segar.

Mereka memandang beberapa tamu masuk, mengisi table kosong di dekat mereka.

“Gimana, rasanya kamu ketemu sama Ester?” Tanya Ben, membuka topik pembicaraan, karena ia tahu ke datangan Niko ke Jakarta bukan hanya untuk urusan bisnis melainkan untuk bertemu jodohnya bernama Ester. Dan Niko sama sekali tidak menolak atas perjodohan itu, lagi pula katanya cinta itu adalah hasil dari investasi.

Ia tahu bahwa, investasi di sini, bisa dikatakan investasi perasaan, waktu dan energy. Untuk long term investment, dan tentu harus selektif memilih fundamental agar memiliki return sesuai harapan. Niko pasti memiliki standar agar investasinya tetap aman.

Banyak orang di luar sana mengenal kata kasih sayang, menggambarkan proses linear dalam prinsip cinta. Karena apa yang dikasihh sesuatu ke seseorang, maka jadinya kita sayang sama orang tersebut.

“Cantik, ceria, selera fashionnya bagus, kayaknya pinter juga,” ucap Niko, itu lah yang ia lihat dari wanita bernama Ester.

“Mulai suka?”

“Nope, masih terlalu awal untuk suka sama dia.”

“Tapi …”

“Tapi apa?”

“ Aagak liar sih kelihatannya,” Niko lalu tertawa.

Ben ikut tertawa, “I know, what are you thinking!” Ucap Ben ikut tertawa.

“Awalnya aku pikir Ester itu anak rumahan, yang patuh, yang nurut. Well, sekali lihat, aku tahu kalau dia seliar itu.”

“Really?”

“Sepertinya.”

“Yang lliar itu, nggak membosankan men,” timpal Ben.

“Exactly,” Niko tertawa geli.

Serverpun datang membawa pesanan mereka. Setelah itu hidangan tersaji, ia melihat Ben menuangkan chivas regal itu ke dalam gelas, mereka meneguknya sambil menikmati music.

“Robert gimana?” Tanya Niko kepada Ben.

“Ada di rumah.”

“Enggak pengen cari ibu untuk Robert?” Tanya Ben.

Ben tertawa, ia meneguk alkoholnya lagi, sambil menatap Niko, “Kemarin ada, sempat dekat, Robert juga suka dan aku pun suka. Tapi si wanita memilih pria lain. Dan aku bisa apa?”

“Cari yang lain,” Niko memasukan calamari ke dalam mulutnya, rasanya enak dan gurih.

“Enggak semudah itu. Susah match nya, apalagi sesuai kriteria Robert.”

“Sekarang kalau cari jodoh pilih-pilih. Soalnya udah umur segini pengennya cari teman hidup aja.

“Ester?”

“Not bad. Aku mau sama dia, she is sexy, beautiful and naughty.”

Ben tertawa, “Terus, habis ini lo mau ngapain?”

“Pengen ajak ngobrol, nonton bareng, ajak jalan. Rencana minta tolong ajak ke A, ke B, anggap aja nggak pernah ke Jakarta,” ucap Niko diselingi tawa.

Niko melipat tangannya di dada, memandang sahabatnya, “Menurut kamu bagaimana? Ada cara yang lebih oke nggak untuk dekat sama Ester?”

“Sebenernya kamu gampang, sih, soalnya kalian serumah, PDKT cepet.”

“Apalagi di rumah cuma berdua, kalian bisa lakuin banyak hal. Misalnya tidur bareng.”

Niko spontan tertawa, ia tidak menyangka kalau pikiran Ben sepicik itu, “Oh Jesus, aku aja belum tau cara kenalan sama dia. Kamu udah mikir tidur bareng.”

“Come on, pasti bisa lah. Ajak ngobrol bareng lalu lama-lama tidur bareng.”

“OK, I'll try,” ucap niko tertawa geli.

Niko dan Ben tertawa bersama, sambil meneguk alkohol, “Terus kerjaan gimana?”

“Besok aku mau ketemu fouder starup, rencananya mau suntik dana kepada mereka.”

“Bidang apa?”

“Grocery store.”

“Really?”

“Yes.”

Obrolan Niko dan Ben berlanjut tentang pekerjaan. Karena mereka tahu kalau setiap bisnis itu unik. Niko memang lebih nyaman berbisnis retail, karena sejak awal itulah bidang yang digelutinya. Mulai makanan frozen yang dipasok dari Australia ke Indonesia, hingga beberapa jaringan ritail lainnya yang tersebar luar. Sedangkan dirinya lebih ke arah bisnis BBM kapal, property dan jual beli mobil mewah.

***

Di sisi lain, Ester memarkir mobilnya di fable. Ia melihat suasana Fable tampak ramai di kunjungi oleh pengunjung. Ia tahu bahwa mendatangi klab malam bersama teman merupakan sebuah obat untuk segala kesuntukan dalam menjalani hidup. Menurutnya klab malam menjadi salah satu tempat popular, setidaknya merasakan tempat ini sekali seumur hidup.

Dentuman music terdengar dari segala sisi, muda-mudi masuk ke dalam. Fitur, interior yang disuguhkan tegolong canggih, lighting yang keren dan ciamik, membuat setiap pengunjung betah menghabiskan malam di lantai dansa.

Sementara Jelita hanya diam, ketika ia masuk ke dalam sebuah tempat yang hingar-bingar. Jujur awalnya ia dapat informasi dan di televisi, bahwa tempat seperti ini sangat bahaya, ada kemungkinan diperkosa, mabuk, dijebak polisi, banyak pemakai narkoba, bisa diracuni juga.

Namun kata Ester, kalau masuk ke klub itu jangan berlagak seperti baru masuk pertama kali, harus tenang, selalu waspada, jangan mabuk, kalau bisa bawa gelas sendiri ke mana-mana. Kalau ditawari minum alkohol jangan nolak, soalnya di sini bukannya tempat adu kereligiusan. Cukup tunjukin gelas yang penuh yang sudah diisi sendiri dengan minuman, kalau nggak suka alkohol di tempat ini banyak menyajikan minuman non alkohol seperti air mineral, softdrink, ice tea dan greentea. Trus kata Ester, pakai baju sexy, dress party, yang ketat, pas body, tanpa kantong apapun, ini gunanya untuk menghindari orang-orang yang berniat jahat mau menjebak dengan memasukan obat ke kantong.

Ia mengikuti semua kata-kata Ester, kecuali pakaian sexy, dan mereka masuk ke dalam. Ester dan dirinya memilih duduk di kursi bar.

Ester tersenyum kepada bartender, dia lalu memesan dua softdrink, mereka tidak akan mabuk di sini, karena ia yakin Jelita tidak bisa menegak alkohol. Ia akan ngomong apa kepada paduka raja, jika sang putri kesayangan mabuk tidak sadarkan diri kembali ke rumah. Ia tidak akan mengambil resiko itu. Bisa-bisa ia dipenggal dan dihukum cambuk.

Ia juga Tidak lupa ia memesan grilles salmon, maxi burger, dan buah segar. Mengingkat mereka hanya ingin makan malam saja, setelah itu mereka pulang. Ia hanya ingin memperkenalkan kepada sahabatnya bahwa ini loh klub.

Minuman mereka sudah tersaji, ia memandang ke depan sambil menikmati dentuman music DJ. Bahunya ikut bergoyang, karena music DJ seasyik itu. Sementara Jelita terkesima melihat server membawa nampan berisi banyak gelas sloki berisi minuman keras. Di belakangnya diiringi dengan dua gadis cantik berpakaian sexy, mengekori server.

“Asyik nggak tempatnya?” Tanya Ester.

Jelita mengambil gelasnya, dan lalu meneguknya, “Kayaknya kurang cocok deh gue di sini Es, rada takut gue. Soalnya berisik lagi, takutnya balik dari sini, gue masuk angin dan kerokan paginya. Lo tau nggak, gue tuh sebenernyanggak bisa minum, rasanya aneh, pahit bikit sakit kepala. Mending minum jamu deh, lebih sehat.”

“Gue juga nggak suka music kenceng-kenceng gini Es. Nggak bisa nikmatin music sama sekali. Gue senenggnya music spa yang tenang, rileks …”

Pembicaraan Jelita terhenti, tatapannya teralihkan kepada seorang pria yang duduk di sofa, ia masih ingat siapa pemilik wajah tampan itu. Ia lalu menepuk bahu Ester,

“Es, Es,” ucap Ester.

“Hmmm, apa?” Ester menoleh menatap Jelita.

“Liat deh di sana. Itu Niko kan?” Tunjuk Jelita kepada seorang pria yang duduk di salah satu sofa.

Ester memandang depan sesuai arah telunjuk Jelita, ia menatap seorang pria yang sedang ngobrol di sana. Dan ternyata benar itu adalah Niko dan temannya. Oh Tuhan, kenapa ia bisa bertemu dengan pria itu di sini. Sedetik kemudian tatapan mereka bertemu, mereka saling menatap satu sama lain. Ester menelan ludah, ia bingung akan berbuat apa. Ia melihat tatapan tanpa senyum di sana, jantungnya seketika berdesir tidak karuan, ia tidak tahu harus bagaimana dan ngapain.

“Mampus, dia ke sini lagi!” Desis Ester.

***

“Kenapa?” Tanya Ben bingung, melihat Niko tiba-tiba berhenti berbicara, ia memandang ke arah samping.

“Ada Ester,” ucap Niko.

“Ester?”

“Iya, di sana.”

Ben mengerutkan dahi, memfokuskan penglihatannya menatap ke depan. Ia memandang dua orang wanita yang duduk di kursi bar. Ternyata benar, Ester dan temannya ada di sana.

“Aku samper Ester.”

“Oke,” ucap Ben, membiarkan sahabatnya meninggalkan table.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel