Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

BAB 3

HAPPY READING

***

Jelita melamun sambil memandang Ester, “Menurut lo gimana?” Tanya Jelita meminta saran kepada Ester.

“Rancananya ya, cuma ngajak lo makan malam aja. Enggak bilang kalau aslinya kita pergi ngebar.”

Ester mengerutkan dahi, “Pulangnya jam berapa? Takut dicariin kalau kemalamaan.”

“Bilang aja macet, Jel. Tau sendiri macet Jakarta gimana. Ya balik jam 1 an gitu.”

“OMG, jam 1 malam? Bisa dikeluarin dari KK gue, kalau pulang segitu. Lo tau sendiri mama dan papa, apalagi ada mas Wika.”

“Emang jam berapa lo bisa balik?”

Jelita mulai berpikir, “Jam sembilan kali ya,” ucap Jelita.

“Aduh, itu mah pawang buaya belum datang Jel. Naikin dikit deh,” ucap Ester bernegosiasi, masalahnya jam sembilan pulang, cowok-cowok keren baru datang.

“Jam 10 deh max udah sampai di rumah,” timpal Jelita.

“Masalahnya jam segitu masih sepi, gimana dapat cowok coba baru duduk, langsung balik. Lo bayangin aja, ini Jakarta biasa di jalan itu sejam.”

“Enggak bisa balik di atas itu Es. Ayo dong Es, gue kan mau dapat cowok keren.”

Ester tau kalau membawa Jelita pergi itu butuh perjuangan yang panjang, apalagi nanti ada sesi tanya jawab oleh kedua orang tua Jelita dan kakak laki-lakinya karena jika ia berani membawa Jelita pergi dari rumah butuh nyali yang besar. Memang merepotkan, namun Jelita dan dirinya sudah bertetangga sejak lama. Biasanya ia berhasil membawa Jelita makan siang aja, nggak lebih. Itu saja dilakukan Jelita dengan membungkukan badan dengan takzim saat akan mohon diri untuk pergi. Padahal cuma makan siang, apalagi staycation.

“Kita harus jadiin ini Es!” Ucap Jelita lagi memandang sahabatnya dengan tatapan memohon.

“Terus kalau jadi balik jam 10?”

“Iya.”

“Haduh, kecepatan itu baliknya.”

“Enggak bisa Es, gue harus pulang jam segitu.”

Ester menarik nafas, ia menatap Jelita, ia melihat sang putri keraton penuh permohonan dengan mata berkaca-kaca, agar dibawa pergi dari rumah demi mendapatkan sang pangeran,

“Oke, tapi telat-telat dikit enggak apa-apa kali ya.”

“Usahain jam segitu baliknya, ya Es.”

“Aduh, repot deh. Yaudah deh kalau gitu, jam sepuluh balik, cari deket-deket sini bar nya.”

Jelita tersenyum sumeringah, ia memeluk tubuh Ester, “Thank you, bestie.”

“Iya, iya,” ucap Ester menepuk bahu Ester.

Ester melepaskan pelukannya, ia memandang Jelita, memperhatikan wanita itu cukup serius, “Lo mau cari cowok modelan kayak gimana nih?” Tanya Ester penasaran, karena masalahnya tumben Jelita mau cari cowok, dan itu sangat langka terjadi.

“Kayak si Niko.”

“HAH! Lo mau sama si Niko?”

Jelita mengangguk dan tersenyum simpul, “Oke, tau! Si Niko,” ucap Jelita.

“Idih, jangan sama dia deh. Banyak yang lebih oke. Yang penting lo nanti malam dandan oke, all out.”

“Oke.”

Ester beranjak dari duduknya, “Yaudah deh, gue balik dulu ya Es. Maklum nanti malam kan, gue minta ijin sama mama dan papa, buat pergi bareng lo.”

“Yaudah, gue anterin lo sampe bawah.”

Ester dan Jelita keluar dari kamar. Ester melirik ke arah samping, ia memandang kamar Niko yang tertutup rapat. Ia dan Jelita lalu menuruni tangga, ia melihat bibi berada di dapur sepertinya sedang menyiapkan makan, karena aroma masakan tercium di segala sisi. Namun ia tetap melangkah hingga mengantar sang sahabat hingga ke depan pintu.

“Thank’s ya Jel, atas oleh-olehnya tadi,” ucap Ester.

“Iya.”

“Ketemu sampai nanti malam.”

“Dah.”

Ester kembali masuk ke dalam rumah setelah Jelita pergi dari rumahnya. Ia melangkah menuju kitchen, melihat bibi sedang menyiapkan makanan. Ia menatap ke arah meja makan, tersedia ayam goreng, rendang sapi, sup ayam, balado kentang dan sambal.

“Buat siapa bi, masak sore gini?” Tanya Ester.

“Buat non Ester sama mas Niko. Kasihan mas Niko pasti kelaperan, kan baru datang dari jauh.”

“Di amah bisa pesen gofood, bi. Enggak usah repot-repot lah.”

“Aduh, nggak sopan non. Masa tamu di suruh pesen gofood. Nanti bibi dimarahin sama ibu, tamunya nggak di kasih makan,” ucap bibi.

“Emang mama pesen gitu bi?”

“Iya, non. Pokoknya siapin makan buat mas Niko. Anggap seperti rumah sendiri.”

Ester mencoba berpikir, “Aneh ya bi.”

“Aneh gimana non?”

“Masa, mama sampe segitu-nya sama tamu. Siapa sih dia? Sampe disiapin tempat tidur yang nyaman, makan mesti disiapin. Kayaknya buat dia betah gitu di sini.”

“Nah itu non, bibi nggak tau.”

“Kirain bibi tau.”

“Beneran non, bibi nggak tau?”

“Bener? Biasakan mama sering cerita sama bibi.”

“Kali ini bibi beneran nggak tau non, siapa mas Niko sebenernya. Cuma pesennya gitu,” ucap bibi lagi.

Ester menghela nafas, “Iya deh, kalau gitu. Bibi payah, kan jadinya kepo siapa si Niko.”

“Tapi Non,” ucap bibi, sebelum sang majikan naik ke tangga.

“Tapi apa bi?”

“Non temenin mas Niko makan, ya. Kasihan nggak ada temennya, apalagi baru datang. Bentar bibi panggil mas Niko dulu, suruh makan.”

“Makan sekarang?”

“Iya, non. Enggak enak kalau nanti-nanti, mumpung masih anget.”

“Tapi … bi,” ucap Ester, ia memandang bibi sudah melangkah menuju lantai atas.

Ester hanya diam mematung di tempat, ia sebagai tuan rumah bingung akan berbuat apa atas kehadiran pria itu. Ia melihat Niko bukan seperti pria yang kekurangan uang. Pakaiannya semua terlihat berkelas. Seharusnya di Jakarta, dia bisa menyewa apartemen mewah atau hotel, bukan menumpang di rumahnya.

Pikirannya mulai ke mana-mana. Apa pria itu punya misi terselubung di rumah ini? Perjodohan? Rasanya nggak mungkin di jodohin, mengingat kalau dia bukanlah Jelita. Mereka bukan keluarga dari bangsawan, sama sekali tidak ada darah biru yang mengalir di keluarga besar mereka.

Tidak berapa lama kemudian, ia memandang seorang pria turun dari tangga. Pria itu mengenakan kaos putih dan celana pendek Adidas, rambutnya sedikit lembab dan wajahnya terlihat agak segar. Ia yakin pria itu habis mandi. Tatapan mereka lalu bertemu, ia menelan ludah, entahlah ia merasa bahwa pria itu terlihat sangat sexy.

Satu jam yang lalu, ia melihat kalau pria itu menutupi tubuhnya dengan jaket kulit, namun sekarang ia otot bisepnya terlihat jelas, dan lengannya tampak kuat. Ia yakin tubuh sempurna itu dihasilkan dari olahraga yang teratur. Seberapa kuatkan pria itu diranjang? Ester lalu mengalihkan pandangannya ke arah meja makan, ia hanya takut bahwa pria itu akan GR jika diperhatikan terus-terusan.

“Hai,” ucap Niko memandang Ester, wanita itu berdiri tidak jauh darinya, dia mengenakan pakaian yang sama seperti tadi di bandara.

“Hai, juga,” ucap Ester kikuk di sapa oleh Niko, ia bingung akan berbuat apa selain diam dan memperhatikan Niko.

“Silahkan makan mas Niko,” ucap bibi ramah.

“Terima kasih bi,” ucap Niko.

Bibi menatap Ester, “Non Ester, temenin mas Niko makan, ya.”

Ester memilih tidak menjawab pertanyaan bibi, karena bibi berlalu begitu saja, meninggalkan dirinya dan Niko berdua di sini. Ia melihat Niko duduk di kursi, karena tidak sopan rasanya jika ia berdiri sementara Niko sedang makan. Lagian ia juga laper, karena sejak siang ketika ia menjemput Niko di bandara, ia belum makan.

Ester melihat Niko menaruh lauk pauk di piringnya, ia juga melakukan hal yang sama. Ia mengambil gelas berisi air mineral dan lalu meneguknya. Suasana ruang makan terasa hening, mereka makan dengan tenang, karena masakan bibi tidak diragukan lagi rasanya.

“Kamu kerja di mana?” Tanya Niko melirik Ester.

“Bantu papa aja sih di kantor,” ucap Ester sekenanya.

Niko tahu kalau Ester adalah salah satu anak dari pengusaha sukses di Jakarta. Ayahnya pemilik pabrik dan beberapa jaringan hotel yang tersebar di Jakarta. Wajar jika Ester tidak bekerja, ia tahu bahwa wanita itu lulusan pattisier termuka di Paris. Harusnya Ester bisa bisnis bakery sesuai dibidangnya, minimal F&B. Sangat disayangkan, bakatnya tidak dikembangkan. Jika dilihat, Esteri itu tidak ada spesialnya, dia tidak lebih hanya gadis manja pengangguran, yang kehidupannya dibiayain kedua orang tuanya.

“Kamu lulusan mana?” Tanya Niko menatap Ester, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya.

“Ecole Ducasse di Prancis spesialis Patisserie.”

“Pasti jago buat pastry,” ucap Niko, ia hanya ingin tahu wanita bagaimana wanita bernama Ester.

“Lumayan, tapi nggak jago-jago banget. Cuma bisa, kalau di suruh masak berbagai macam kue.”

“Sering buat?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Males.”

“Kelihatan sih malesnya.”

Ester otomatis menatap Niko, pria itu tersenyum culas, “Jadi! Kamu ngatain gue malas?” Ucap Ester.

“Kamu sendiri yang ngomong kalau kamu malas kan!”

“Cuma, konotasi aku malas itu, malas buat kue. Kan, aku nggak perlu repot-repot buat, lagian nggak ada yang makan juga. Buat pastry itu butuh waktu dan tenaga. Kalau ada yang lebih simple beli, kenapa harus buat? Kecuali, kalau ada acara keluarga apa.”

“Lagian buat pastry untuk apa coba? Aku yang buat, aku yang makan sendiri. Mama dan papa, juga sering keluar negri, lebih baik beli kan. Ngapain buat, bikin repot aja,” dengus Ester, belum apa-apa Niko udah buat dirinnya naik pitam.

“Kamu juga! Kalau bisa sewa hotel, ngapain nginap sini!” dengus Ester tidak kalah sengitnya.

Niko melihat ekspresi Ester yang meledak-ledak, ia menyungging senyum, ia tidak menganyaka kalau reaksi Ester seperti ini, padahal ia hanya ngomong kata malas,

“Kalau ada tempat tinggal geratis yang enak, kenapa perlu sewa!” Timpal Niko.

“Enggak mampu ya, buat sewa hotel atau apartemen?” Tanya Ester to the point.

Niko tersenyum culas, ia memandang Ester cukup serius, “Buat apa sewa hotel dan apartemen, toh kantor aku ada di daerah sini Mega Kuninga, jaraknya hanya 400 meter dari kantor. Towernya juga ada di depan mata, jadi percuma kan kalau sewa hotel dan apart lagi. Lagian di sini enaknya di sediain makan sama bibi tanpa perlu repot aku breakfast, lunch dan dinner di luar.”

Ester nyaris menganga menatap Niko, ternyata pikiran Niko sepicik ini. Dia hanya memanfaatkan fasilitas yang ada di rumahnya.

“Terserah lo deh,” ucap Ester seketika rasa laparnya hilang begitu saja.

Niko menatap iris mata itu, “Kamu itu tipe-nya suka marah-marah gitu, ya?” Tanya Niko.

“Enggak tuh! Kecuali sama kamu!”

Niko melipat tangannya di dada, “Kayaknya kamu nggak welcome gitu sama aku. Emangnya aku salah apa ya sama kamu?”

Bibir Ester seketika kelu, ia lalu berpikir bahwa ucapan Niko memang benar, dia tidak ada salah apa-apa di sini. Entahlah sebalnya itu tidak beralasan, apalagi di tambah dia mengatakan memanfaatkan semua fasilitas di rumahnya. Intinya ia tidak suka pria itu di sini, karena menurutnya sangat menganggu. Ia menjadi tidak bebas melakukan apapun.

“Aku di sini menghormati orang tua kamu. Enggak mungkin aku nolak kalau sudah ditawari tinggal di rumah ini untuk sementara aku di Jakarta. Kamu sebagai tuan rumah, harusnya lebih bersikap sopan, sama tamu.”

Ester mengambil gelas berisi air mineral, inginnya menumpahkan air itu ke wajah Niko. Namun ia justru meneguknya. Suasana rumah ini awalnya dingin karena AC tiba-tiba panas dan gerah. Ester lalu beranjak dari duduknya, ia melangkah meninggalkan Niko begitu saja.

“Nyebelin banget sih tuh cowok!” ucap Ester dalam hati.

Sementara Niko melihat kepergian Ester. Ia menatap wanita itu dari kejauhan, lalu tersenyum penuh arti. Ternyata wanita itu sangat ekspresif. Ia melanjutkan makannya, ia tidak menyangka kalau wanita itu lah yang akan menjadi jodohnya kelak.

Oke, ia memang tidak menolak ketika orang tuanya menjodohkannya kepada wanita bernama Ester. Ia tahu bahwa orang tuanya tidak akan mencari wanita sembarangan untuk dirinya. Ini sering dilakukan secara turun temurun oleh keluarganya, karena sudah pasti pasangannya dengan latar belakang yang sama, attiude yang baik, berpendidikan tinggi, cantik nyaris sempurna.

Orang tuanya pasti tahu track recod si jodohnya, dan tidak ada tindakan criminal. Namun yang ia dapat wanita yang tidak memiliki manner yang baik, dan attiude yang buruk. Pembawaanya sangat tidak welcome sejak pertama bertemu, padahal mereka baru bertemu. Masalahnya apakah wanita itu tahu kalau mereka di jodohkah? Karena orang tuanya mengatakan kalau Ester tidak tahu apa-apa atas perjodohan ini. Masalanya, kenapa wanita itu benci dengan dirinya? Why? Salahnya di mana? Belum apa-apa hubungan mereka tidak baik. Padahal ia pikir Ester sangat menarik.

Ia tahu banyak alasan orang tuanya menjodohkan dirinya dengan wanita bernama Ester, selain latar belakang. Transactional relationship, di sini maksudnya bahwa mereka sama-sama punya bisnis dan bisa jadi merger. Jadi untuk menjaga kelangsungan bisnis keluarga. Jujur, ia sebenarnya juga lebih cocok dengan wanita yang sama-sama memliki status social yang sama, dibanding di bawahnya.. Karena kebanyakan dari mereka yang di bawah cenderung suka mengeluh, ngomongin orang lain dan melakukan tindakan yang kurang menyenangkan.

Setelah makan Niko melangkah menuju tangga. Ia masuk ke dalam kamar, ia mengambil ponselnya, ia melihat “Ben Calling” ia menyungging senyum. Sebelumnya ia memang sudah memberitahu Ben atas kedatanganya ke Jakarta. Ia kenal Ben ketika mereka sama-sama melakukan perjalanan kapal pesiar.

“Iya, halo Ben,” ucap Niko di balik speaker ponselnya.

“Kamu udah di Jakarta?” Tanya Ben penasaran.

“Udah, tadi sekitar jam 3 nyampe.”

“Nginap di mana?”

“Nginap di dekat kantor sih, rumah calon.”

Alis Ben terangkat, ia lalu tertawa, “Gimana calonnya? Oke?”

“Lumayan, cuma agak jutek gitu, belum apa-apa udah nggak enak.”

“Belum kenal aja, makanya gitu, kehadiran kamu, dia merasa ada barrier,” Ben tertawa.

“Bener sih.”

“Malam ada acara nggak?”

“Kenapa?”

“Biasa, ngilangin capek aja.”

“Oke. Kamu jemputnya aja. Aku akan share lock alamatnya.”

“Kamu mau pinjam mobil selama di Jakarta?”

Niko lalu tersenyum penuh arti, ia tidak menyangka kalau temannya sepeka ini kepadanya, “Boleh, kalau nggak ngerepotin.”

“Besok pagi aku anter ke sana, sekalian ngantor bareng.”

“Thank’s man.”

Sambunganpun terputus begitu saja. Niko meletakan lagi ponselnya di meja, ia melihat ke arah jendela, ia menatap view taman belakang di sana, ada kolam dan gazebo kayu. Ia menutup gorden transparant itu, menyalakan AC dan lalu membaringkan tubuhnya. Ia memejamkan mata, beristirahat sejenak dari urusan dunia.

***

Ester menatap penampilannya di cermin, ia mengenakan bodycon dress berwarna hitam dengan tali sphagetti, rambut panjangnya ia blow. Ia melihat penampilannya sudah sempurna. Ia mengambil blazer long coat di lemari, rasanya tidak pantas jika mengenakan pakaian seksi ini di hadapan kedua orang tua Jelita. Ia memaklumi bagaimana orang tua Jelita yang sangat aware dengan anak perempuan satu-satunya itu.

Ia memasukan alat make-up, parfume dan ponselnya di dalam tas Dior. Setelah itu ia menuruni tangga. Seperti biasa rumahnya tampak sepi, ia mendengar suara pintu terbuka, ia menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap Niko di sana, langkahnya terhenti memperhatikan penampilan Niko. Pria itu mengenakan kemeja putih dan celana jins. Rambutnya tersisir rapi, dan ia dapat mencium aroma smoky, woody dan earthy yang menawan. Jujur ia sempat terpana memandang penampilan Niko, dia jauh lebih keren. Ia membuyarkan lamunannya dan lalu dengan cepat menuruni tangga.

Niko tersenyum penuh arti, ia ikut menuruni tangga sambil memandang seorang Ester. Ia melihat penampilan wanita itu, dia mengenakan dress dengan punggungnya yang terbuka. Kulitnya mulus dan sangat kontras dengan pakaiannya. Ia penasaran, mau ke mana wanita itu malam-malam begini? Apakah dia memiliki pacar? Jalan sama kekasihnya?

“Non Ester, mau ke mana?” Sapa bibi, yang berada di depan pintu utama.

“Mau dinner sama Jelita.”

“Owh, sama non Jelita. Pakek mobil non? Atau diantar sama pak Didi?”

“Pakek mobil sendiri aja bi.”

“Hati-hati ya non perginya. Jangan pulang malam-malam. Biasa, kalau non pakek mobil sendiri pasti pulangnya malem terus,” ucap bibi.

“Biasalah, namanya juga anak gaul Jakarta.”

“Ada siapa bi yang datang?” Tanya Ester penasaran, ia mencoba mengintip dari balik pintu, ia melihat sebuah mobil Mercy berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya. Ia tidak tahu siapa pemilik mobil mahal itu.

“Katanya temen mas Niko non.”

Ester lalu menoleh ke belakang, ia menatap Niko tepat berada di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat, ia tidak tahu sejak kapan pria itu ada di belakangnya. Jantungnya seketika maraton, karena ia dapat merasakan aroma parfum yang khas dan nafas pria itu. Tubuhnya merinding karena ada sensasi aneh menjalar di tubuhnya. Seolah-olah pria itu sedang memeluknya dari belakang.

“Permisi,” ucap Niko.

Ester membuyarkan lamunannya, ia sadar dan lalu menyingkir karena menghalangi pintu. Ester melihat seroang pria di sana, ia penasaran seperti apa teman Niko, apakah sama kerennya? Ia menatap seorang pria mengenakan kemeja hitam dan celana jins. Ia menutup mulutnya dengan tangan, ternyata temannya Niko tidak kalah kerennnya. OMG! Kenapa mereka berdua keren-keren! Teriak Ester dalam hati.

“Hai, men,” ucap Ben memandang Niko yang melangkah mendekatinya.

“Hai juga.”

Ben menatap seorang wanita mengenakan dress hitam di sana, ia yakin wanita itu adalah calon istri Niko, ia menahan senyum, ternyata wanita yang dikatakan Niko jutek, lumayan cantik. Tubuhnya tinggi proporsional untuk ukuran seorang wanita, wajah oke menarik, hidungnya kecil mancung, bentuk wajahnya V mungkin karena dilakukan oleh dokter kecantikan dan kulitnya putih bersih.

“Hai.”

“Dia ikut juga?” Tanya Ben, melirik Ester.

Niko menoleh ke belakang, “Enggak lah, tadi katanya mau dinner sama temennya.”

“Kirain ikut kita.”

“Maunya sih,” ucap Niko.

Ben tersenyum kepada Ester, ia melambaikan tangan kepada wanita itu, “Kita pergi dulu ya, Ester,” ucap Ben.

Alis Ester terangkat ketika pria itu menyebut namanya, dari mana pria itu namanya? Padahal ia saja tidak tahu nama pria itu. Apa Niko cerita, kalau dia tinggal di sini, dan lalu menyebut namanya. Ia menatap Niko dan Ben masuk ke dalam mobil, beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area rumahnya.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel