BAB 2
BAB 2
HAPPY READING
***
Niko masuk ke dalam kamar, ia meletakan kopernya di walk in closet. Ia membuka jendela kamar, kamar yang ditempatinya cukup baik. Sepanjang perjalanan tadi ia menahan haus, ia pikir di dalam kamar tersedia air mineral.
Niko beranjak dari duduknya, ia membuka jaket kulit, ia gantung jaket kulit itu di hanger dan ia letakan di lemari. Ia lalu melangkah menuju pintu. Ia melihat suasana rumah tampak sepi. Ia menoleh, menatap ke arah kamar Ester, kamar wanita itu sudah tertutup rapat. Ia lalu menuruni tangga, ia mencari keberadaan bi Asih.
Ia menemukan apa yang dia cari, ternyata bi Asih ada di dapur. Tatapan mereka lalu bertemu.
“Eh, mas Niko,” ucap bibi.
“Ada yang bisa bibi bantu mas?” Tanya bibi lagi karena melihat mas Niko tampak kebingungan, ia memaklumi karena masih baru.
“Saya mau minta air mineral bi.”
“Baik, mas. Untuk di kamar ya?”
“Iya, bi.”
“Bentar ya mas, bibi siapin.”
Suara bell terdengar dari pintu utama, bibi dan Niko menoleh melihat ke arah pintu, bell itu terus berbunyi.
“Biar saya, saja bi yang buka. Bibi siapin air mineral saya saja.”
“Baik mas.”
Niko melangkahkan kakinya menuju pintu utama dan sedangkan bibi kembali ke dapur. Ia membuka hendel pintu, ia memandang seorang wanita mengenakan dress berwarna putih tanpa lengan, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Ia tidak tahu siapa wanita itu.
“Selamat sore,” sapa nya ramah.
Niko mendengar suara merdu nan lembut dari wanita itu, “Selamat sore juga,” ucap Niko.
“Ester-nya ada?” Tanya-nya.
Niko lalu berpikir, “Temennya Ester, ya?”
“Iya.”
“Masuk aja, Ester ada di kamarnya,” ucap Niko, ia mempersilahkan wanita itu masuk.
Niko melangkah masuk ke dalam, diikuti wanita itu dari belakang. Ia melihat bibi melangkah mendekatinya, dengan membawa dua botol air mineral. Bi Asih tersenyum kepada seorang wanita yang baru datang itu.
“Non Jelita.”
“Iya, bi.”
“Nyari non Ester ya?”
“Iya.”
“Non Ester, ada di kamarnya non. Bentar ya bibi panggilin,” ucap bibi.
“Baik bi.”
Bi Asih lalu menyerahkan dua botol mineral itu kepada Niko, “Ini mas, air mineralnya.”
“Terima kasih bi,” ucap Niko, lalu naik ke atas menuju tangga.
***
Sementara di sisi lain, Ester merasa lega telah menyampaikan semua petuah untuk Niko. Sekarang ia tahu bahwa semua orang di rumah ini terkesima atas kehadiran Niko, mau itu bi Asih dan pak Didi semua mengatakan kalau Niko ganteng. Sosok pria bernama Niko seperti magnet yang kuat dengan segala pesona yang di milikinya. Tubuhnya tinggi menjulang dan wajahnya penuh keangkuhan yang sempurna, enggak hanya angkuh dia juga terlihat sombong.
Ester buru-buru masuk ke kamar, ia berharap pria bernama Niko itu tidak menganggunya selama di sini, “Gila aja, belum apa-apa udah buat pak Didi dan bi Asih terkesima. Sok keren banget, gue yakin dia sok sopan kayak gitu di awal doang!” Dengus Ester dalam hati.
“Nama saya Nicholas, panggil saja Niko,” ucap Ester, “Idih sok ganteng banget,” dengus Ester.
Ester lalu menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur, ia mengambil ponselnya di dalam tas. Ia harus memberitahu Vero atas kedatangan pria bernama Niko ke rumahnya. Ia menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Tidak berapa lama kemudian ponsel itu terangkat.
“Iya, halo, Es,” ucap seorang wanita dibalik speaker ponselnya.
“Gue mau cerita!” Ucap Ester langsung to the point ke sahabatnya.
“Pasti cerita soal Niko!” Sahut Vero, karena Ester kemarin memberitahu dirinya, kalau dia akan jemput pria bernama Niko di bandara.
“Yupz, bener banget!”
“Udah datang?”
“Udah.”
“Terus-terus!” Ucap Vero penasaran.
“Lo tau nggak, belum apa-apa tuh cowok udah sok keren banget!”
“HAH! Serius!”
“Serius lah! Caper sama pak Didi sama bi Asih, malesin banget liatnya!”
“Lo tau nggak?”
“Apa?”
“Gue ngarasa aneh aja, ada orang yang lama tinggal di Perth bahkan dari lahir. Tapi bahasa Indonesia-nya lancar banget. Enggak ada bule-bule nya gitu kalau ngomong. Curiga gue, kalau si Niko bukan dari Perth,” ucap Ester.
“Mungkin di Perth ngumpulnya sama-sama orang Indonesia, kali Es.”
“Masa sih? Emang di sana ada komunitasnya?”
“Ada dong pasti, masa nggak ada. Buktinya si Niko bisa bahasa Indonesia.”
“Kalau ngumpulnya sama orang Indonesia doang. Kuper banget.”
“Gitu ya?”
“Iya, dong apa lagi coba.”
“Bener sih.”
Ester menarik nafas, “Males gue, dia ada di sini.”
“Males kenapa? Emang dia ganggu lo?”
“Iya, ganggu banget lah.”
“Lo nggak usah ladenin, biarin aja dia sendiri. Jangan mau di repotin. Kalau masih wajar minta tolong nggak apa-apa, kalau nggak wajar itu, jangan mau!”
“Maksud nggak wajar itu gimana?” Tanya Ester.
“Hemmm, nggak wajar itu kayak bugil depan lo!”
“HAAA!” Kontan Ester nyaris histeris.
“Sumpah! Gila! Itu gila asli!” Serunya lagi.
“Lo, kalau di suruh kayak gitu, apalagi aneh-aneh! Pokoknya lo jangan mau!”
“Maksudnya gue bugil depan dia! Idih ogah banget!”
“Nah, itu maksud gue Es!”
“Enggak penting banget!”
“Kalau masih tahap wajar, pusing, perut mual, dada sakit, ya bantu masih oke. Nolongin orang itu dapat pahala. Kalau lo mati bisa masuk surga, tau!”
“Ya nolongin orang pilih-pilih juga kali Ver!”
“Udahlah, lo jangan pusingin si Niko.”
“Lo lagi apa?” Tanya Ester kepada sahabatnya.
“Lagi duduk aja sih di rumah.”
Ester diam sebentar, ia lalu teringat akan sesuatu, “OMG!” Ucap Ester hampir histeris.
“Lo kenapa lagi?”
“Lo tau tetangga gue, namanya Gusti Raden Ajeng Jelita Wijarena, yang pernah gue ceritain sama lo.”
“Iya, tau, tau! Terus?”
“Katanya mau ke sini gitu. Duh, nyebelin banget tuh cewek. Sok cantik banget, sok bangsawan, kalau ngomong lembut banget, kalau ketawa nggak pernah kedengeran, ditutup pakek tangan pula. Kalau jalan lama banget. Gua ketawa kenceng, si Jelita cuma senyum-senyum, aneh banget tau nggak sih!”
“Emang, keturunan bangsawan?”
“Katanya sih iya, entah keraton mana, gue juga kagak tau.”
“Emang ngapain dia ke rumah lo?”
“Katanya kangen karena kelamaan di Jogja. Tapi, gue nggak kangen tuh sama diaa! Seriusan! Gue nggak kangen sama dia!” Timpal Ester.
“Terus, terus!”
“Enggak asyik sih! Gue ajak dugem malam Minggu, biar nggak bengong di rumah sendirian, malah jawab maaf ya Es, gue ada kursus nih!”
“Sok bangsawan banget. Lagian ngapain lo ajak dia segala?”
“Basa-basi doang! Biar dikira nggak sombong.”
“Lagian bohong banget. Emang malam Minggu, kursus apaan?”
“Kursus buat jamu, kursus pasang konde, kursus jahit kebaya. Kek punya temen, lahir di jaman Majapahit, tau nggak sih lo!”
Vero lalu tertawa geli, mereka lalu mendengar suara ketukan. Ester menoleh otomatis, percakapan mereka terhenti begitu saja.
“Siapa?”
“Palingan bibi.”
“Udah deh, lo jangan pikirin namanya si Niko. Lo harus jaga jarak sama dia. Entar dikira caper.”
“Iya. Iya, dah dulu Ver. Gue buka pintu dulu.”
“Iya.”
Ester meletakan ponselnya di meja, ia lalu melangkah menuju pintu. Ia membuka hendel pintu, ia memandang bi Asih di depan pintu.
“Eh, bibi.”
“Ada non Jelita, di bawah, nyariin non.”
“Yaudah kalau gitu, suruh ke atas aja bi.”
“Baik non.”
“Makasih ya bi.”
Tanpa sengaja Ester melihat Niko naik dari arah tangga, sambil membawa dua botol air mineral. Pria itu tanpa senyum memandangnya. Ia sudah bisa menebak Niko seperti apa, dia pasti orangnya sombong banget. Udah tau numpang di sini, nggak ada senyum-senyum pula.
Ester masuk ke dalam kamar, ia melihat bibi menuruni tangga. Tidak berapa lama kemudian ia mendengar pintu terbuka, ia menoleh memandang Jelita di sana. Wanita itu masuk ke dalam, ia duduk di sofa menatap temannya itu. Ia melihat di tangan di tangan Jelita menenteng sebuah paperbag putih.
“Siapa cowok di bawah tadi?” Tanya Jelita penasaran, ia melangkah mendekati sahabatnya.
“Owh, itu Niko anaknya temen mama dari Perth.”
“Perth Australia?” Tanya Jelita lagi, ia lalu duduk di samping Ester.
“Iya.”
“Ganteng banget, blasteran ya?”
“Iya, sih kayaknya. Soalnya gue nggak mau tau urusan tuh cowok.”
Ester menarik nafas, menatap sahabatnya, “Tumben banget lo kepo sama cowok. Biasa juga cuek.”
“Soalnya, dia ganteng banget.”
“Masa sih, biasa aja,” dengus Ester.
“Itu, lo bilang biasa?”
“Iya.”
“Ganteng banget, tau.”
“Udah, ah. Jangan bahas si Niko. Malesin banget. Lo kapan balik dari Jogja?” Tanya Ester penasaran.
“Kemarin siang. Ini oleh-oleh buat lo,” ucap Jelita, menyerahkan paperbag buat Ester, yang berisi baju batik dan kebaya.
Ester tersenyum, “Apa nih isinya. Kebaya lagi?” Tanya Ester, melihat isi dalam paperbag itu.
“Iya, kebaya sama kain batik.”
“Kebaya dari lo juga masih numpuk tau. Bingung gua makenya ke mana. Sekali-kali kek, bawain baju dugem, yang seksi.”
“Enggak boleh dugem Ester. Enggak baik,” ucap Jelita.
“Lo tuh belum nyobaik dugem kek gimana Jel. Lo nggak tau sih asyiknya party, ah, nggak gaul banget lo,” ucap Ester.
“Sekali-kali lo nikmatin party sama gue. Biar lo tau, kalau ada yang lebih asyik dari racik jamu-jamuan.”
“Tapi tetep aja, nggak boleh. Enggak baik kata mama, enggak boleh minum alkohol.”
“Kata mama, pergaulan itu ada batasannya. Tempat terbaik untuk seorang wanita itu di rumah,” ucap Jelita memberi petuah kepada sahabatnya, agar kembali ke jalan yang lurus.
“Ah, lo nggak asyik. Ayolah Jel, kita happy happy, party, nggak sampe mabok kok. Gue aja sama Vero nggak pernah mabok, karena tau batasannya juga.”
“Enggak boleh Es, tetep nggak boleh. Lo bisa ajak Vero kan, kalau ke sana.”
“Susah Vero, dia ada cowoknya si Kafka.”
“Siapa cowoknya?”
“Dokter spesialis. Anaknya konglomerat, lo taukan Mayapadi Grup?”
Jelita mengangguk, “Tau.”
“Nah, itu dia si Kafka cowoknya.”
Jelita mengerutkan dahi, “Kok, dapatnya keren banget. Dia nyari di mana?” Tanya Jelita penasaran.
“Lo mau tau?”
“Iya.”
“Nyari di club.”
“Club? Iya, di tempat party, banyak cowok-cowok modelan Kafka, lo mau cari sekelas pangeran Arab, pangeran Dubai, pangeran Inggris, anak-anak konglomerat, ada di sana tau.”
“Masa sih?” Jelita nyaris tidak percaya, karena setahu dirinya bahwa tempat-tempat club malam itu tempat yang tidak baik, tempat pedagangan seksual, obat-obatan terlarang dan mengacaukan jam tidur dan performa bekerja. Lagian tidak mungkin akan diijinkan oleh kedua orang tuanya.
“Iya bener. Lo nggak pernah sih ke sana, jadi nggak tau di sana banyak cowok-cowok oke.”
“Bukannya di itu tempat …”
“Iya gue tau, tapi kan kita pilih-pilih club yang oke. Lo mau nggak? Biasa modelan Niko suka ke sana tau. Artis-artis aja suka tempat gituan. Ayolah, lo jangan di rumah mulu, jamu aja yang di urusin. Lo tuh cantik, kayak putri keraton, cuma ya, harus bergaul gitu, biar oke kayak gue dan Vero,” ucap Ester, ia mencoba mempengaruhi Jelita, agar ikut bersamanya. Vero tidak bisa diharapkan lagi, karena dia sudah punya Kafka.
“Tapi gue nggak bakalan diijin, kalau ikut lo.”
“Kita cari alasan lain, Jel. Bilang aja kita mau dinner. Jam 12 kita balik.”
“Dinner di rumah gue aja, Es.”
“No! Enggakk! Cukup sekali!” Ucap Ester nyaris memekik.
Ester pernah merasakan bagaimana makan di rumah Jelita. Ia pernah di tawari makan oleh mama Jelita. Awalnya ia memang menyambut itu dengan girang. Barang kali ia menemukan makanan khas zaman kerajaan Majapahit. Lumayan buat icip-icip makanan tradisonal.
Tapi ternyata, suasana di meja makan di rumah Jelita jauh lebih khidmat dari pada mendengar khotbah di Gereja. Hening, khusuk melebih-lebihin upacara bendera di Istana Negara. Lebih tepatnya mirip film horror, sening, sunyi, perpaduan sendok dan garpu juga tidak terdengar. Ia hanya bisa mendengar suara-suara angin yang bergoyang dari taman.
Gimana nggak? Makan nggak boleh ngomong, apalagi ketawa. Kalau makan, mulut harus ditutup, bibir harus rapat dan baru boleh dibuka kalau makanan mau masuk. Makanan yang dipiring harus benar-benar bersih, tanpa ada harus ada satu butirpun yang tertinggal.
Di mana-mana habis makan itu kenyang. Kalau di rumah Jelita, habis makan langsung nangis, karena terharu, sudah lolos dari penderitaan.
Jelita menatap Ester, ia mencerna kata-kata dari bibir sahabatnya. Ia memang menolak perjodohan orang tuanya, umurnya sudah 29 tahun, tapi masih belum menemukan pasangan. Tadinya ia memang berfikir tidak membutuhkan Ester dalam hidupnya, karena ia merasa kalau Ester itu tipikal agak kasar, golongan kasta rendah. Kalau ngomong tanpa di filter, ketawa apalagi, kalau bercanda nggak peduli tempat, makan suka ngomong sambil ketawa. Bahkan saling mencela sesama sahabat, ia tahu bahwa itu sangat seru.
“Lo kok melamun, Jel.”
“Enggak sih, lagi mikir aja.”
“Lo mikirin apa?”
“Gue kemarin denger, kalau umur gue 30 tahun beberapa bulan lagi. Gue bakalan di jodohin.”
“HAH! Serius? Sama siapa? Anak raja mana?” Tanya Ester penasaran.
“Nah, itu gue nggak tau Es!”
“Emangnya, lo mau di jodohin?”
“Enggak mau lah. Ngeri tau dijodohin. Nanti bisa-bisa gue dapat cowok modelan Raja Kelantan.”
“Tuh kan, gue bilang apa! Mending lo ikut gue, kita nyari cowok di club, ngebar!” Ucap Ester antusias.
Jelita memandang sang sahabat, “Bahaya nggak?”
“Di coba aja dulu. Enggak bahaya kok. Kan cuma nongkrong doang. Lo liat gue, nggak kenapa-napa kan. Masih sehat, masih waras, masih cantik.”
“Bener.”
“Sumpah, suer, enggak kenapa-napa.”
Jelita mencoba berpikir beberapa detik, ia memandang sahabatnya, dan masuk akal,
“Yaudah, gue mau!”
“Seriusan lo mau?”
“Iya.”
“Yakin?”
Jelita mengangguk, “Iya, yakin.”
“Nah, gitu dong!”
“Terus gimana?” Tanya Jelita.
“Terus gimana apanya?”
“Minta ijinnya?”
“Aduh, gimana ya?”
***