Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Di Sudut Kota Jakarta

Suasana riuh memenuhi sebuah rumah bertingkat dua yang dibangun sekitar 10 tahun silam oleh seorang wanita berusia sekitar 52 tahun bernama Teressa Liane. Cahaya temaram yang bersumber dari beberapa lampu tumbler sebagai sumber penerangan sengaja dipasang di sekeliling rumah hingga ke tiap ruangan. Wanita itu sengaja memasang demikian, agar bangunan yang berdiri di sudut kota Jakarta itu tidak terlalu kelihatan mencolok.

Di teras depan tampak sekelompok makhluk sosialita tengah duduk bersama berbincang-bincang. Di setiap sudut juga tampak manusia berpasang-pasangan dengan berbagai macam kegiatan. Ada yang mengobrol, ada yang saling menatap, bahkan ada yang sedang bertukar saliva dan bercumbu tak tahu malu, padahal mereka berada di tempat terbuka.

Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun tampak duduk sendiri di dalam ruang tamu. Sesekali ia mengisap rokok di tangan, lalu mengembuskan asapnya ke udara. Wanita itu sangat menikmati setiap isapan dari benda berwarna putih berbentuk batangan itu. Sedang asyik dengan kegiatan, tiba-tiba seseorang muncul dari dalam salah satu ruangan.

"Halo, Moli sayang!"

Orang itu tak lain adalah Teressa Liane. Semua orang memanggilnya dengan sebutan Madam Li. Yang dipanggil hanya menjawab singkat dengan tatapan datar, lalu mengabaikannya lagi.

"Say, ada jadwal sama siapa malam ini?"

bisiknya pada Moli.

"Kosong, Mam. Why? Mau ngasih job buat gue?" tanya Moli terang-terangan.

"Tahu aja, lu. Tunggu sebentar. Gue punya klien yang bagus buat elu."

Moli hanya diam memandangi punggung Madam Li yang berlalu dari hadapannya. Wanita yang dipanggilnya mami itu pun masuk kembali ke ruangan tempat ia muncul tadi.

Rumah besar yang mereka tempati itu dipenuhi dengan banyak ruangan bersekat-sekat seperti kamar. Mungkin ada sepuluh, atau bahkan lebih. Moli sendiri tidak pernah mau menghitungnya. Sejak dia datang ke tempat ini, dia hanya tahu beberapa ruangan seperti; sebuah ruang tamu tempat di mana ia sedang bersantai sekarang, sebuah toilet di sudut kanan rumah, sebuah ruang tunggu yang tadi dimasuki oleh Madam Li, dapur dan pantry, kamar wanita paruh baya itu, serta sebuah kamar yang khusus disediakan hanya untuk Moli dan calon klien.

Moli adalah anak kesayangan Madam Li. Sejak kecil, wanita itu yang mengurusnya dengan telaten. Memberi makan, membelikan segala keperluan mulai dari alat make up hingga baju-bajunya. Sampai membiayai pendidikan strata-1 hingga selesai.

Iya, Moli pernah mengenyam bangku perkuliahan. Meski ia seorang wanita panggilan, tetapi ia merupakan seorang sarjana jurusan Ilmu Komunikasi. Wanita dengan rambut berwarna chestnut brown itu sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Madam Li. Bahkan Madam Li sendiri tak pernah memarahinya sekalipun, juga apa pun yang Moli minta, Madam Li akan menuruti.

"Moli sayang, kenalin ini Mister Roy." Madam dengan semangat memperkenalkan Moli pada seorang pria. "Mister, ini Faraz Moli. Anak kesayangan Madam yang paling cantik."

Madam Li muncul kembali dari ruangan tadi bersama seorang pria yang langsung menyentuh dagu Moli dengan lembut ketika mereka sudah berhadapan. Pria bernama Roy itu juga merangkul pinggang Moli lalu membuat dirinya semakin dekat dengan tubuh Moli.

"Hei, Sayang. Ternyata kamu nemang benar-benar cantik," katanya dengan tatapan liar.

Ia mengamati Moli dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Tangan kanan menopang dagu wanita itu, membuat wajahnya mendongak sedikit ke atas. Sementara satu tangan lain, meraba paha mulus Moli yang hanya tertutup setengah kain dengan lancang, membuat Moli semakin geram.

"Bajingan! Singkirin tangan lu dari situ, atau gue bikin lu nyesel seumur hidup!" umpat Moli kasar.

Meski Moli seorang kupu-kupu malam, tetapi ia paling tidak suka jika ada seseorang yang berbuat semena-mena pada dirinya. Madam Li yang bisa membaca situasi, mencoba mencairkan ketegangan di antara mereka.

"E— anu Mister Roy. Enggak perlu buru-buru begitulah .... Malam masih panjang. Masih banyak waktu untuk kalian berdua, 'kan?"

Madam Li menyingkirkan tangan pria itu dari paha Moli perlahan. Ia mencoba memberi peringatan agar Mister Roy tidak bersikap semaunya. Entah apa yang telah dikatakan wanita paruh baya itu, tetapi Mister Roy tampak mengikuti apa yang ia katakan. Setelah keadaan terkendali, Moli akhirnya mau diajak pergi dari rumah itu.

"Kalau gitu gue cabut ya, Mam!"

"Oke, Sayang. Sukses, ya," balasnya dengan senyum paling manis.

Madam Li mencium pipi wanita itu. Sebelum mereka pergi, ia kembali membisikkan sesuatu di telinga Mister Roy.

"Inget ya, Say, yang Madam bilang tadi. Kamu enggak boleh ingkar janji, karena Moli itu anak kesayangan Madam. Ok!"

Laki-laki itu tertawa kencang, lalu mengangguk setuju. Detik berikutnya, mereka sudah berada di dalam mobil. Keduanya pergi meninggalkan rumah bordil itu, lalu bergegas menuju sebuah hotel di pusat kota.

***

Si pria hidung belang bernama Roy mulai berjalan terombang-ambing di dalam kamar. Di tangannya masih ada sebotol minuman beralkohol yang memang sengaja dibeli sebelum sampai di hotel. Sambil terhuyung-huyung, ia mengikuti wanita yang telah disewa tadi ke sana kemari. Di kamar itu hanya ada mereka.

Pakaiannya sudah terlepas setengah. Hanya tersisa boxer dan kaus dalam yang membalut tubuhnya. Sementara Moli, terus menari-nari di hadapannya. Lingerie merah membuat Roy semakin liar dan tergila-gila padanya.

Moli sengaja membuat pria itu mabuk agar ia bisa mengendalikannya. Satu-satunya cara yang selalu berhasil dilakukan Moli pada setiap kliennya. Semakin lemah, semakin leluasa ia bertindak. Saat Roy kehabisan tenaga, barulah Moli mendekatinya dengan perlahan, kemudian melucuti satu demi satu pakaian Roy yang tersisa.

Moli membaringkan sang klien di atas kasur. Ia mengambil celana milik pria itu yang tergeletak di lantai dan merogoh kantungnya, mencari sesuatu di dalam sana.

Setelah menemukan apa yang dicari, Moli mendekati lelaki itu kembali. Duduk di sampingnya. Ia memegang sebuah kartu tanda pengenal.

"Oh, jadi ternyata nama aslinya Revan. Bagus juga. Tapi kenapa dipanggil Roy?"

Moli mencoba menerka-nerka apa yang membuat pria di sampingnya dipanggil demikian. Semenit kemudian, ia tersadar lalu menepis pikirannya.

"Bukan urusan gue!"

Moli kembali membaca identitas sang pria.

"Umurnya udah 39 tahun. Belum nikah? Pantesan. Kalau dipikir-pikir ganteng juga, nih, orang. Badannya bagus. Ya lumayan lah, ya. Sayang kelakuannya minus."

Moli memandang tubuh pria yang tidak berbusana itu. Ia memperhatikan hingga ke bagian intim. Meski usia sudah hampir kepala empat, tetapi harus diakui bahwa pria yang sedang bersamanya itu memiliki badan yang proporsional.

"Sayang, lama banget, sih! Saya enggak sabar, nih," ucap Roy alias Revan itu meracau dengan mata terpejam dan dalam kondisi setengah sadar.

Moli yang dipanggil, segera melakukan pekerjaannya. Ia memanjakan pria hidung belang itu dan membuatnya mabuk kepayang hingga pagi.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel