Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Lelaki Panci

"Panci ... panci ... panci. Pancinya Mbak, Mas. Dibeli ... dibeli. Murah banget iki, loh. Mbak ... Mas ...."

Seorang pemuda berpenampilan nyentrik menjajakan barang dagangannya dengan penuh semangat. Logat Jawa terdengar begitu kental dengan bahasanya yang campur-campur. Terkadang dengan bahasa Indonesia, terkadang pula dengan bahasa Jawa. Yang justru membuat gaya bicaranya terdengar menjadi lucu.

Tanpa kenal lelah, ia berteriak ke sana kemari untuk menawarkan panci yang dijualnya kepada setiap orang yang melintas di dekatnya. Sesekali ia merapihkan poni klimis yang hampir menutup sebelah mata ketika rambutnya tertiup angin.

"Panci ne, Mbak. Yok dibeli, yok. Apik iki, loh. Anti bocor. Anti pecah!" serunya sekali lagi pada seorang gadis yang sedang berjalan melewatinya.

Dia menekankan huruf 'r' saat mengatakan kata bocor hingga air liur bermuncratan dari mulut. Sekian lama ia berkicau, tetapi tak satu pun calon pelanggan yang tertarik membeli atau bahkan hanya sekadar singgah untuk melihat-lihat barang dagangannya. Rasa lelah itu akhirnya menghampiri. Ia menyerah dan memutuskan mundur sejenak dari trotoar tempat ia berdiri. Lalu mendudukkan bokong di sebuah bangku panjang di dalam taman yang tidak jauh dari tempatnya berjualan.

"Walah dalah ... nasib ... nasib. Kok yo apes tenan hidup saya ini, loh. Ndak ada enak-enaknya. Tiap hari sing dilihat panci melulu," keluhnya seraya memandangi barang-barang dagangan yang belum berkurang sedikit pun sejak tadi.

"Permisi."

Seseorang tiba-tiba mengejutkannya. Ia menatap orang itu dari ujung kaki hingga ke rambut. Seorang pria yang memikul sebuah tas sandang besar dibahu itu membuat si pemuda Jawa terpaku. Pikirannya menebak-nebak mungkin saja pria itu baru datang atau mungkin pulang dari luar kota. Setelah beberapa menit bergumul dengan isi kepala, ia kembali teringat akan barang dagangannya. Kemudian ia bangkit sambil mengangkat salah satu panci stainless berukuran sedang, mencoba menawarkan pada pria tersebut dengan semangat 45. Namun, ternyata ia salah menduga. Pria asing itu bukan ingin membeli panci, tetapi malah menanyakan sesuatu.

Seketika senyuman sirna tatkala sang pria memberikan secarik kertas berisikan sebuah alamat rumah padanya. Begitu membaca tulisan di dalam kertas, pemuda berpakaian ala Elvis Presley itu terlihat kaget.

Dipandanginya pria di hadapannya dari atas hingga ke bawah berulang kali. Ekspresinya yang mendadak serius membuat yang ditatap menjadi bingung.

“Mas yakin mencari alamat ini?”

“Yakin, Mas. Memangnya kenapa, ya, Mas?”

Pemuda Jawa itu terlihat ragu-ragu. “Um ... anu, Mas. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya, Mas?”

"Itu ... Oh, iya, perkenalkan. Saya Keenan Lamont. Panggil aja Keenan, Mas."

Sang pria tampak mengalihkan pembicaraan. Ia memilih untuk tidak menjawab dan malah memperkenalkan diri, mengulurkan tangan ke depan sang sales panci.

"Perkenalkan juga, saya Ngatimin." Ia meletakkan panci, membersihkan tangan lalu menggenggam uluran tangan Keenan.

Dengan suara lantang dan dalam satu tarikan napas, ia melanjutkan omongan. "Ngatimin Prederiko. Sales panci nan tampan rupawan yang ketampanannya melebihi Pernando Jose.”

Ngatimin kemudian memegang poni membuat pria bernama Keenan tersenyum geli. Kebiasaan Ngatimin sangat aneh menurutnya.

Setelah memperkenalkan diri, Ngatimin mengajak untuk duduk agar perbincangan mereka menjadi lebih nyaman.

“Kalau boleh tahu, Mas Keenan berasal dari mana, yo?” katanya setelah duduk.

“Saya dari Jambi, Mas.”

“Wah, orang Sumatera ternyata. Tapi wajah sampeyan kok saya lihat malah lebih mirip orang bule, yo, Mas.”

"Benarkah? Apa karena papa saya berasal dari Jerman, ya, Mas?"

"Wah, yang bener, Mas?"

“Begitulah kira-kira,” Keenan melemparkan senyuman. “Mas sendiri sepertinya juga pendatang di kota ini?”

“Iya, Mas. Saya asalnya itu dari Klaten. Ke sini maksudnya itu untuk mengadu nasib, Mas. Ya ... siapa tahu bisa sukses kayak si Karyo, Mas.” Lagi, Ngatimin merapihkan poni sembari tersenyum.

“Karyo?” tanya Keenan bingung.

Ngatimin tampak berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Itu, Mas, tetangga saya di kampung. Dulu awal datang ke Jakarta penampilannya itu, Mas, enggak buanget!” Suara medoknya terdengar begitu khas. “Nah, sekarang, Mas ... yo wes guantenge, Mas.”

Ngatimin berpikir lagi. Sepersekian detik kemudian ia kembali bicara. “Ya meskipun tetap gantengan saya ke mana-mana, sih, Mas.”

Keduanya mengikik geli dan melanjutkan obrolan, membahas banyak hal mulai dari kegiatan sehari-hari hingga tujuan Keenan datang ke ibukota.

Sepanjang bercerita, Keenan tak henti tertawa sampai membuat Ngatimin kebingungan.

"Mas ini lucu juga ya cara bicaranya. Bahasanya campur aduk persis seperti adonan kue," ungkap Keenan ketika Ngatimin bertanya bagian mana yang membuatnya geli.

Ngatimin nyengir kuda mendengarnya. Kemudian, ia menjelaskan bagaimana bahasanya bisa sampai seperti itu. Saking lucunya, Keenan tidak bisa menyembunyikan tawa. Ia terus gelakak seolah ribuan kupu-kupu menari-nari dalam perutnya.

"Serius, Mas? Memang blasteran apa, Mas?" tanyanya di tengah pembicaraan.

"Jadi ceritane, pada zaman dahulu ...."

Ia mulai bercerita kembali tentang bagaimana ia mendapatkan namanya. Lalu di tengah ceritanya, Keenan bertanya, "Maksud Mas Fernando J(H)ose?"

Tawa Keenan kembali meledak. Kali ini lebih kencang sampai membuat orang-orang yang juga sedang berada di taman memperhatikan mereka. Ia buru-buru membekap mulut agar tawanya mereda.

Ngatimin pun terperangah. Ia tidak pernah tahu kalau selama ini ia telah salah menyebutkan nama. Ia merasa malu pada Keenan.

"Maaf, Mas. Saya ini ra iso ngomong kayak gitu, Mas. Wong nama saya aja di akte ditulisne Fredericho. Tapi, karena saya enggak pinter nyebutnya, jadilah Prederiko."

"Lah itu tadi bisa, Mas." Keenan menatap heran.

Seakan tersentak, Ngatimin menepuk jidatnya. "Itu tadi cuma contoh loh, Mas. Makanya bisa."

Keenan menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum. "Okay. Lalu, bagaimana tadi ceritanya, Mas?"

Ngatimin kembali teringat bahwa ceritanya belum selesai. Ia meneruskan kalimat lagi. Kisahnya membuat dahi Keenan mengernyit terheran-heran. Dia malah semakin bingung.

"Udah, Mas. Ojo linglung. Anggap aja saya ini pria tampan versi jawa telenopela."

"Ja—Jawa telenovela?”

“Iyo, Mas. Itu loh Mas, serial drama Amerika jaman dahulu.”

“Oh, ok.”

Keenan manggut-manggut mengerti. Ia tersenyum seraya memandangi manusia di sampingnya yang menurutnya sangatlah unik. Sedangkan Ngatimin tetap bersikap santai sambil menggerak-gerakkan kaki, membuat celana cutbray pria itu ikut bergoyang. Mereka mengobrol panjang lebar, membiasakan diri masing-masing agar menjadi lebih akrab. Setidaknya, Keenan tahu. Untuk beberapa waktu ke depan, kehadiran Ngatimin akan sangat membantunya dalam menjalankan tugas.

“Lalu, bisa kita bergerak sekarang, Mas?” tanya Keenan sopan.

Ngatimin sedikit bingung. “Memangnya mau ke mana, Mas?”

Keenan terdiam sejenak. Kemudian ia menyampaikan maksudnya pada Ngatimin. Bicaranya pun terdengar hati-hati.

“Saya tidak mengenal siapa pun di sini. Kalau berkenan, bisakah Anda menemani saya mengunjungi tempat ini?” Keenan menunjukkan secarik kertas kembali.

Ngatimin yang hampir lupa dengan benda itu kemudian mengerti arah pembicaraan Keenan. “Oh, itu. Bisa, Mas, bisa. Dengan senang hati.”

Mereka memutuskan kembali ke kontrakan Ngatimin, meletakkan barang-barang dagangan dan beristirahat sejenak di sana.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel