Bab 4: Nama Gue, Moli!
September, 2019
Asap dari sebatang rokok yang masih menyala, membuat tenggorokan seorang wanita cantik yang baru saja membuka mata menjadi gatal. Ia bangkit dari posisi tidurnya, lalu duduk bersandar di kepala kasur sebesar 6 kaki yang menjadi tempat peristirahatan sejenak itu.
Diraihnya rokok yang diletakkan asal di atas nakas, kemudian dipadamkannya. Ia mengambil air mineral yang juga ada di sana dan menenggak hingga tandas. Setelah tenggorokannya lega, ia berdiri dan memunguti seluruh pakaian yang tadi dijatuhkan ke lantai dan dalam hitungan menit, tubuh indahnya sudah tertutup kembali.
Sementara itu, di sisi lain kasur masih berbaring seorang pria. Pria itu tertidur dengan pulas. Wanita itu mendekati dan membuka selimut yang membalut tubuh temannya itu dengan kasar. Kemudian dengan santai, wanita itu mendekatkan wajah ke telinga sang pria sambil menyentuh salah satu bagian tubuhnya hingga membuat matanya terbuka.
"Wake up, Dude!"
"Ah, Sayang!" erangnya.
Pria itu duduk bersandar pada bantal tidur, lalu dengan cepat menarik tubuh si wanita ke dalam pangkuannya.
"Lu harus tanggung jawab!”
“Tanggung jawab untuk apa?” Sembari mengernyitkan alis.
Si pria semakin merapatkan tubuh pada sang wanita, menempelkan wajah tepat di telinganya kemudian berbisik, “Karena lu udah bangunin adek gue sekali lagi, Sayang."
Pria itu kemudian mengecup pelipis wajah si wanita. Tangannya juga mulai menggerayangi bagian dada.
Wanita itu tersenyum sinis dan menghempaskan tangan si pria sembari berkata, "Berengsek! Ayo bangun! Udahin mimpi lu itu!"
"Uh ... jangan galak-galak dong, Sayang! Gue masih pengin, nih. S’kali lagi boleh, ya?”
Pria itu memasang wajah pura-pura memelas sambil menunjukkan miliknya yang menegang hingga membuat si wanita muak dan jengkel.
"Bukan urusan gue! Sini uangnya atau gue enggak bakalan mau ketemu elu lagi!"
“It’s ok. Santai, Sayang ... santai.”
Seakan tak berdaya, pria bernama Gerald itu langsung mengambil jas yang tergeletak di lantai, lalu dengan terpaksa mengeluarkan sejumlah uang dari dalamnya.
"Ini—" Wanita itu merampas lembaran uang dari tangan Gerald begitu saja. “Duit gue!”
Ia kemudian berlalu dari hadapan Gerald.
Rasanya, ingin sekali Gerald mencumbunya lagi, tetapi ia sudah kehabisan energi. Ia hanya bisa tersenyum lemah, memandangi punggung indah wanita yang berjalan keluar dari kamar dan meninggalkannya sendirian.
***
"Hot chocolate satu, Mas," pinta seorang wanita saat berada di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari hotel tempatnya menginap.
Pakaiannya telah berganti. Mini dress tanpa lengan telah diganti dengan hoodie hijau lumut dan jeans hitam yang ia letakkan di dashboard mobil pria itu kemarin malam. Sementara pakaian sebelumnya, dilipat dan dimasukkan kembali ke dalam tas kecil tempat membawa hoodie tadi. Rambut berwarna chestnut brown sebahu yang tadi ia biarkan terurai, digelung asal-asalan.
"Faraz!"
Seseorang yang ia kenal memanggil dari pintu kafe sambil melambaikan tangan. Seorang wanita itu melangkah mendekatinya.
"Lama, ya?"
Mereka berpelukan, saling mencium pipi kanan dan kiri.
"Enggak, kok. Santai," balas wanita yang dipanggil Faraz singkat.
"Elu holiday lagi?"
Faraz mengangguk. 'Holiday' merupakan sebutan rahasia untuk setiap hubungan yang dilakukan Faraz dengan berbagai macam lelaki hidung belang. Hanya mereka berdua yang tahu istilah itu.
"Faraz! Mau sampai kapan lu begini, Raz? Lu enggak jijik apa, setiap saat gonta-ganti cowok?"
"Enggak," jawabnya santai.
"Elu enggak takut kalau entar Tuhan marah sama lu, ya?" Wanita itu mendekatkan wajah pada Faraz. Mencoba menilik kebenaran dalam retina indah miliknya.
Faraz menarik napas sebelum menjawab teman bicaranya. "Karin, please, deh! Kenapa ya setiap kali lu ketemu gue yang dibahas itu pasti arahnya ke dosa mulu?"
Karin menarik kursi kemudian duduk di atasnya.
“Dan kenapa juga lu selalu manggil gue Faraz? Nama gue, Moli!” temannya itu melanjutkan omongan.
Karin menarik napas jengah lalu mendekatkan wajahnya pada temannya itu.
“Bagi gue, lu tu wanita baik-baik yang bernama Faraz. Bukan Moli yang ... ya, lu tau sendirilah!” Karin membetulkan posisi duduknya. “Gue kenal lu udah sebelas tahun, Raz. Bahkan, hubungan kita udah lebih akrab dari yang namanya sebuah keluarga. Tapi, kenapa lu masih enggak mau dengerin nasihat gue?”
Faraz alias Moli memutar kedua bola matanya. Ia jengkel setiap kali Karin membahas tentang dosa dan dosa. Ia mengerti kalau maksud Karin baik. Namun, seharusnya Karin tidak selalu mengatakan semua itu di hadapannya.
"Raz, lu itu cantik. Lu harusnya dapetin yang terbaik. Tapi kalo cara lu kayak begini, siapa yang bakal nerima lu—"
"Stop it! Bisa enggak, sih, kali ini aja lu enggak merusak mood gue?”
“Faraz, gue cuma pengin lu sadar seberapa berharganya diri—”
“Karin, please, ya! Gue tahu apa yang mau elu omongin, kok." Mata Moli menyipit.
Kepalanya menggeleng meminta Karin untuk menyudahi kalimat yang tidak ingin didengarnya sama sekali.
"Okay. Terserah!" Karin memanyunkan bibirnya.
Seorang waitress datang membawa dua buah cangkir yang mengepulkan asap. Satu berisi hot chocolate favorit Moli, sementara cangkir lainnya berisi green tea. Tidak lupa pula dua piring berisi croissant dan baguette.
"Udah gue pesenin dari tadi," jelas Moli
Karin memandang semua suguhan di meja dengan tatapan malas. Setiap kali makan bersama Moli, hal seperti ini pasti akan selalu terjadi. Karin tidak begitu suka makanan barat. Meski ia sendiri sempat menetap beberapa tahun di Amerika karena papanya bekerja di sana. Karin tetap lebih menyukai makanan Indonesia.
“Makanan beginian lagi?” Suara Karin terdengar ketus.
"Kenapa? Enggak selera, ya?"
"Bukan itu."
"Terus kenapa muka lu gitu banget lihatnya?"
Karin menghela napas gusar. "Daripada elu kasih makanan beginian buat gue, nih,, mending gue sarapan nasi padang di warung depan, tuh."
Karin mengarahkan jari telunjuk ke arah warung yang dimaksud dengan senyum mengulum. "Lebih murah dan ngenyangin lagi daripada ini.”
Moli tertawa. Ia paham betul sifat temannya itu. Diraihnya buku menu yang ada di atas meja, mencoba menemukan makanan lain untuk Karin.
“Oke kalau gitu, kita pesan yang lu mau.” Moli membolak-balikkan buku itu dengan santainya.
"Eh, buat apa?" tanya Karin heran.
"Lah, tadi 'kan lu bilang pengin makan nasi. Ya udah gue pesenin ini. Di sini juga ada, kok."
Wanita itu membolak-balik lembar buku kembali.
"Enggak usah, Faraz. Ini juga udah cukup, kok."
“Yakin, nih.”
“Yakin ....”
“Beneran? Enggak nyesel, ‘kan?”
Sembari menahan senyuman, Moli mencoba menggoda temannya itu. “Ayolah, Karin! Malu-malu enggak bakal buat lu kenyang, loh.”
“Faraz, udah, ya!”
Tawa Moli meledak seketika melihat ekspresi kesal temannya itu. Ia menutup buku menu kemudian meletakkan kembali ke tempatnya. Mereka melanjutkan sarapan pagi, lalu bergegas pergi dari tempat itu setelah menghabiskan makanannya.
***