Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Pergi dan Hilang

Februari, 1996

Beberapa bulan berlalu. Lita pun melahirkan seorang anak laki-laki. Persalinan berjalan lancar meski hanya dilakukan di rumah sang mertua dengan bantuan seorang bidan. Saat itu, mereka sedang mengunjungi Syifa yang kini telah menginjak bangku sekolah dasar. Orang tuanya kembali mendaftarkan Syifa ke sebuah SD di dekat rumah neneknya.

Sebenarnya Syifa tidak setuju dengan keputusan mereka. Anak itu ingin bersekolah dan tinggal di dekat mama dan juga papanya. Ia sempat protes pada Arghi dan Lita.

“Cifa mau tinggal sama kalian aja!” teriak Syifa. Mereka sedang berada di salah satu kamar di rumah nenek.

“Cifa enggak suka tinggal di sini!” Anak itu kemudian melempar asal es krim yang berada di genggamannya, mengejutkan orang tuanya.

“Syifa!” Sontak Arghi membalas kalimat anaknya itu dengan setengah membentak, membuat Syifa gentar dan terdiam menunduk. Ia tak berani menatap mata Arghi.

Lita yang menyadari ketakutan anaknya langsung mendekat dan merangkulnya dalam dekapan. “Sayang ..., kamu enggak boleh ngomong begitu. Melawan orang tua itu dosa loh.”

Syifa menangis. “Tapi Syifa pengin tinggal sama Mama dan Papa, Ma. Syifa enggak mau tinggal sama nenek.”

Lita mengerti betul kenapa anaknya bersikap demikian. Kejadian tempo hari pasti cukup membuat hati anak itu terpukul. Namun, Lita juga tidak bisa berbuat banyak untuk Syifa. Suaminya akan mempertanyakan banyak hal jika ia membela Syifa dan ia tidak ingin itu terjadi. ia tidak ingin Arghi tahu apa yang sudah dilakukan ibunya. Ia tidak ingin menjadi penyebab pertengkaran di antara ibu dan anak.

“Enggak apa-apa, ya, Syifa tinggal di rumah nenek untuk beberapa waktu lagi. Mama ‘kan sekarang harus urusin dedek bayi. Nanti kalau dedek bayinya udah gede, Syifa bisa tinggal sama kita lagi kok, Sayang.”

“Tapi, Ma ....”

“Shhh ... udah-udah. Jangan bilang begitu lagi, Sayang. Nanti kalau nenek dengar obrolan kita, dia bisa sedih loh.”

Dan lagi, Syifa hanya bisa mengangguk pasrah.

"Nah, Sayang. Kamu senang, kan? Halo Adik. Ini Kakak Syifa. Syifa, ini adiknya kamu, Sayang," ucap Lita kemudian. Wajahnya berseri-seri berbincang dengan kedua anaknya.

Tangan kiri menggendong bayi, sementara tangan kanan mengelus rambut Syifa dengan lembut. Syifa yang berada dalam pelukan Lita, menciumi sang adik yang berada di sana juga.

"Halo, Adik. Ini Kak Cifa. Adik enggak boleh nakal, ya. Halus nulut kata Mama Papa."

Anak kecil itu mencium kembali wajah adiknya. Membuat adiknya menggeliat. Mungkin kesal karena terus diganggu.

"Ya udah, kamu main di luar dulu ya, Sayang. Adiknya mau bobok. Kalo Syifa ajak main terus, kasihan dong. Entar dia nangis, loh. Oke."

Lita mengecup puncak kepala Syifa dengan lembut.

Syifa berlalu dari hadapan wanita itu. Ia bermain di luar kamar bersama sepupu-sepupunya.

***

"Cifa benci Nenek. Nenek jahat. Cifa mau pulang, Pa!" teriak anak yang usianya kini sudah genap 6 tahun.

"Syifa, kamu enggak boleh ngomong gitu. Papa enggak pernah ajarin kamu buat jadi anak bandel, ya!"

Suara Arghi menggelegar. Tidak kalah lantang dengan teriakan putrinya. Sorot mata yang nyalang, membuat Syifa gemetar tatkala memandang lelaki itu. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat amarah papanya. Baru kali ini Arghi sebegitu marahnya.

"Papa! Ngomong sama anak kenapa harus membentak coba? Bisa ‘kan bicara lebih lembut. Syifa ini masih kecil, Pa!" Lita berusaha membela Syifa. Ia menarik sang anak ke dalam pelukan agar tak merasa takut lagi.

"Mama jangan ikut campur. Papa cuma mau mendidik dia biar enggak bandel. Papa enggak mau punya anak pembohong!"

Air mata Syifa jatuh seketika Arghi menyebut kata 'pembohong' untuknya. Ia tidak pernah menyangka papanya akan tega menuduh yang bukan-bukan. Padahal rasanya hal yang wajar bila ia hanya meminta tinggal bersama orang tuanya. Ia tidak ingin berpisah lagi. Namun, tanpa disangka papanya justru memarahinya.

“Papa enggak suka punya anak yang suka membantah. Jadi, berhenti bersikap seperti itu, Syifa!”

“Pa! Syifa masih anak-anak. Dia belum memahami semua itu, Pa!” Sekali lagi Lita mencoba membela Syifa.

Syifa yang tidak tahan dengan semuanya, berlari masuk ke kamar begitu saja. Mengunci diri di dalam sana. Lalu menangis sejadinya menumpahkan kesedihan.

"Kamu kelewatan, Mas! Syifa itu masih anak-anak. Dia belum mengerti semua yang kamu katakan. Enggak perlu dikasarin begitu. Kalau kamu mau mendidik, masih ada cara lain yang jauh lebih baik daripada marah-marah, ‘kan!"

Lita mengamuk. Ia ikut jengkel mendengar tuduhan suaminya pada Syifa. Ia berlalu dari hadapan Arghi. Kemudian masuk ke dalam kamar di sebelah kamar Syifa, menghampiri bayinya yang berada di sana.

***

"Syifa!" teriak Lita. Namun, orang yang dipanggil tak kunjung menyahut.

“Syifa, di mana kamu, Sayang,” panggilnya sekali lagi.

Arghi yang sedang bersantai di teras seketika bangkit mendengar teriakan istrinya.

“Ada apa, Sayang?” tanyanya bingung.

"Mas, Syifa ke mana, Mas? Syifa enggak ada, Mas!"

Lita panik. Putri semata wayangnya tidak bisa ia temukan.

“Apa? Bukankah seharusnya dia sudah pulang sekolah?”

“Harusnya begitu, Mas. Tapi tadi saat Barry menjemput, Syifa sudah tidak ada di sekolah, Mas.”

"Bar, kamu yakin sudah benar-benar memeriksa ke seluruh ruangan di sekolahnya, ‘kan?"

Lita tadinya memang menyuruh Barry untuk menjemput Syifa di sekolah. Namun sayang, Barry tidak menemukan Syifa di sana. Kini, sudah hampir seharian seluruh anggota keluarga mereka mencari Syifa. Nenek pun ikut mencari, tetapi Syifa belum juga ditemukan.

“Bagaimana, Barry? Kamu menemukan Syifa?” tanya Arghi yang baru saja kembali dari taman di dekat rumah. Ia sengaja mencari ke tempat itu mana tahu Syifa sedang bermain di sana seperti biasanya.

“Nihil, Om. Barry udah cari ke seluruh lingkungan sekitar sini, tapi Syifa tetap enggak ada, Om.”

“Kamu yakin, Bar?”

Barry mengangguk.

“Coba tanya pada gurunya, siapa tahu mereka melihat Syifa tadi.” Nenek pun ternyata merasa sama khawatirnya dengan Arghi.

“Sudah, Nek. Tapi enggak ada satu pun dari mereka yang melihat Syifa, Nek,” jelas Barry.

Lita yang sedari tadi belum berhenti menangis, muncul dari dalam kamar sambil menggendong adiknya Syifa. “Bagaimana? Anak saya sudah kalian temukan?”

Semua orang di ruangan saling berpandangan. Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Lita itu. Melihat kebungkaman mereka, tangis Lita pun semakin menjadi-jadi.

"Kalo terjadi sesuatu dengan Syifa, saya enggak akan pernah maafin kamu, Mas. Ini semua karena ulah kamu!!!" Lita memekik lirih. Ia benar-benar marah pada suaminya.

Tak lama, Lita masuk kamar. Arghi duduk terkulai lemah di salah satu sofa ruang tamu. Kedua siku tangan bertumpu pada pahanya. Ia juga menenggelamkan wajah di dalam telapak tangan. Lalu seketika mengingat perbuatannya pada Syifa kemarin.

Dengan tenaga yang tersisa, ia berujar, "Syifa sayang, kamu ke mana? Maafin papa, Nak."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel