Bab 2: Di Rumah Nenek
Selama tinggal di rumah nenek, Syifa tak pernah merasa diabaikan oleh Arghi dan Lita. Seperti yang sudah pernah mereka katakan, setiap minggunya keduanya akan selalu mengunjungi putri semata wayang mereka itu. Bersama Barry juga tentunya. Tak jarang, Barry juga akan menginap di sana jika sekolah sedang libur.
Tiga bulan berjalan, keadaan masih baik-baik saja. Hingga pada bulan berikutnya, sebuah ketegangan antara nenek dan Syifa terjadi. Penyebabnya karena Barry.
"Ya ampun, Barry ...," pekik nenek saat menemukan Barry dan Syifa. "Kenapa jadi begini?"
Barry yang kepergok oleh nenek sedang berbuat jahat pada Syifa, gelagapan seketika.
"Ne— Nenek?" ucap Barry terbata.
Syifa langsung berhamburan ke pelukan nenek. Napasnya sampai sesak karena tangisan yang begitu hebat.
"Nenek, Kak Bali jahat, Nek ...," lirih Syifa sedu sedan.
Nenek mengabaikan. Ia masih fokus berbicara dengan Barry. Menatap Barry dengan sangat intens.
“Barry, harusnya kamu berpikir, apa dampak dari semua ini. Kenapa kamu seceroboh ini, Sayang?” keluh Nenek. Ia menyayangkan apa yang sudah Barry lakukan.
"Maaf, Nek. Barry enggak sengaja," sesalnya.
Atensi nenek kemudian teralihkan pada Syifa yang masih berada di pelukannya. Ia berjongkok untuk menyamai posisi Syifa, lalu melepaskan pelukan anak itu. Di luar dugaan, bukan menenangkan gadis kecil itu, sang nenek justru malah melakukan hal sebaliknya.
Ia mencengkeram pundak Syifa erat, membuat cucunya meringis kesakitan.
"Kamu, dengar nenek! Jangan sekali-kali kamu berani mengadukan semua ini kepada papa dan mama. Mengerti?"
Ucapan nenek sontak membuat Syifa terkejut. Ia tak menyangka neneknya malah membela Barry.
"Tapi, Nek, Kak Bali kan—"
"Apa pun alasannya! Nenek tidak mau tahu, ini semua tetap salah kamu!" Ia berucap dengan tatapan bengis.
Mendengar penuturan sang Nenek, senyuman kemenangan terbit di wajah Barry. Dari ekor matanya, Syifa bisa melihat jelas bagaimana Barry puas mengejek. Ucapan nenek yang begitu menyayat hati juga membuat Syifa tak percaya. Bagaimana mungkin wanita lanjut usia di hadapan Syifa tega menyalahkannya, sementara ia tahu persis seperti apa kejadian itu.
Syifa tahu kalau Barry adalah cucu kesayangan nenek. Namun, haruskah ia membelanya, bahkan dalam keadaan bersalah sekalipun?
Selama ini, Syifa tak pernah mengeluh sedikit pun. Meski ini bukan kali pertama neneknya berbuat semena-mena padanya. Begitulah, selama beberapa bulan tinggal di rumah wanita tua itu, keadaan yang tampak baik-baik saja sebenarnya tidak sepenuhnya baik.
Setiap hari, orang yang ia panggil nenek selalu memperlakukannya bagaikan cucu tiri. Seperti contohnya; Syifa tidak akan diberi makan atau tidak boleh berangkat sekolah jika belum membersihkan pekerjaan rumah. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa, justru nenek menyuruh ia melakukannya.
Kadangkala Syifa berpikir, apa yang salah pada dirinya? Kenapa nenek begitu tak menyukainya?
Lalu, suatu ketika ia bertanya, "Nek, salah Cifa apa? Kenapa nenek benci Cifa?"
"Saya tidak membenci kamu, tapi saya membenci ibumu. Harusnya Arghi tidak pernah menikah dengan dia."
Air mata Syifa luruh kembali mengingat percakapan itu. Percakapan yang bahkan ia sendiri saja tak mengerti apa maksudnya.
Kemudian, di tengah lamunan Syifa, nenek berkata kembali. "Syifa, Nenek harap kamu tidak mengabaikan perkataan Nenek barusan. Jangan pernah mengadu pada siapa pun, terutama pada Arghi. Mengerti!" seru Nenek sekali lagi dengan nada tinggi.
"Ayo, Barry. Kita pergi dari sini."
Nenek dan cucu laki-lakinya itu pergi dari hadapan Syifa. Mereka membiarkan Syifa menangis sendiri dan tak peduli padanya.
***
“Apa salah Syifa, Ma? Kalau Mama membenci Lita silakan saja. Tapi, jangan salahkan Syifa, Ma!” seru Lita beberapa malam setelah sang nenek memarahi Syifa.
“Mama enggak marahi Syifa. Mama hanya menegur karena memang Syifa bersalah.”
Sang nenek bangkit dari kasur, lalu berjalan menjauhi Lita yang tadi duduk di dekatnya.
“Mama bohong! Syifa cerita kalau Mama—”
“Jadi anak itu mengadu? Cerita apa dia sama kamu?”
Wajah si nenek mendadak panik begitu mengetahui kalau Syifa mengadu. Ia begitu tak sabar mendengar jawaban dari Lita selanjutnya.
“Hanya bilang kalau neneknya memarahinya.”
“Itu saja?”
Lita mengangguk pasti.
“Kamu yakin dia tidak berbicara hal lainnya?”
Lita seketika curiga, lalu mendesak ibu mertuanya dengan beberapa pertanyaan. “Maksud Mama apa? Ada hal lain lagikah yang saya tidak tahu?”
Yang ditanya tak menjawab.
“Ma, bilang sama saya, ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Mama tidak sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dari saya, ‘kan?”
Sang ibu kembali diam.
“Ma, tolong bilang sama saya, Ma!”
Ia tetap saja tak menjawab.
“Ma, bukankah kita sudah berdamai dengan keadaan? Saya dan Arghi menikah juga karena kehendak-Nya. Mama seharusnya bisa menerima hal itu. Saya mohon jangan libatkan Syifa, Ma. Dia juga cucu Mama, ‘kan.”
Tanpa mereka sadari, Syifa telah mengintip dan menguping perdebatan mereka sedari tadi dari balik pintu kamar. Anak kecil yang malang itu pun menangis lagi. Walau sebenarnya ia tidak begitu mengerti pembahasan macam apa yang membuat kedua orang dewasa itu bertengkar. Namun yang pasti, Syifa kini tahu bahwa sang nenek ternyata memang benar-benar membenci mamanya.
Syifa terus saja menguping pembicaraan kedua orang tua itu. Ia masih tak berhenti menangis. Lalu tiba-tiba Lita memergokinya. Lita kaget saat melihat keberadaan anaknya yang juga ada di kamar. Ia langsung memeluk Syifa dan menenangkannya.
“Sayang, kamu kenapa, Nak? Sssh, jangan menangis, Nak.”
Bukannya reda, Syifa malah semakin sesenggukan dalam pelukan mamanya. Lita pun makin mempererat pelukan. Ia menebak-nebak apa penyebab putrinya menjadi sesedih itu.
Apa Syifa mendengar seluruh pembicaraan kami tadi? —batin Lita
Lita ingin bertanya pada Syifa, tetapi ia takut kalau pertanyaan itu akan mempengaruhi keadaan Syifa. Ia memutuskan untuk tak bicara dan hanya memeluk Syifa. Selama beberapa menit, mereka berpelukan. Tangisan Syifa tak jua reda.
Sepuluh menit berlalu sudah. Akhirnya sebuah kalimat pun muncul dari bibir Syifa. “Kenapa nenek benci kita, Ma?”
Kalimat tanya itu sontak mengagetkan Lita. Bagaimana bisa putrinya mengatakan perihal sesedih itu. Ia semakin mempererat pelukan. Tanpa terasa, air matanya tumpah. Ia terluka, karena seharusnya sang anak tak mendengar semua kalimat negatif itu.
“Nenek jahat, ‘kan, Ma.”
Dalam pelukan, Lita menggeleng pelan. Sembari mengelus lembut punggung anaknya yang masih sesenggukan, ia menanggapi ucapan Syifa. “Kadang, ada beberapa hal yang bisa membuat orang tua marah. Tapi bukan berarti nenek membenci kita, Sayang.”
Lita melepaskan pelukan, kemudian mengecup lembut kening putrinya.
“Nenek marah karena dia sayang sama kita. Jadi, Syifa enggak boleh bilang begitu lagi ya, Nak.”
“Benelan, Ma?”
“Iya, Sayang.”
Ia mencium putrinya sekali lagi. Lalu mengajak sang putri untuk kembali ke kamarnya sendiri.
***