Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1: Assyifa Razi Algustav

Jambi, Mei, 1995

Siang itu, Assyifa Razi Algustav, gadis kecil berusia 5 tahun tengah berlarian di pekarangan rumah dengan Bik Sumi—sang asisten rumah tangga.

“Asalamualaikum ... Sayang, kamu di mana?”

Dari arah pintu utama terdengar suara sepasang suami istri memanggil Syifa. Mereka adalah orang tua Syifa. Mereka baru saja pulang kerja.

“Mama ... Papa .... Cifa kangen.”

Gadis kecil itu kemudian berhambur memeluk kedua orang tuanya.

Setiap hari, sepulang kerja Syifa akan selalu menyambut mereka dengan pelukan hangat. Seperti sudah tak bertemu begitu lama saja.

Di tengah pelukan, perhatian Syifa mendadak teralih pada seseorang yang berdiri di depan pintu utama rumah. Orang yang ia kenal.

“Kak Bali?” sahutnya.

Barry Algustav, sepupu Syifa yang baru saja memasuki pendidikan SMA melemparkan senyuman hangat. Barry yang ternyata datang bersama orang tua Syifa langsung menghampiri mereka.

“Nah, Syifa. Mulai hari ini Kak Barry akan tinggal bersama kita di rumah ini, Nak.” Arghi Algustav, sang papa mencoba menjawab kebingungan Syifa ketika Barry sudah berdiri tepat di sampingnya.

Sekolah Barry kebetulan berada tak jauh dari rumah mereka. Itu sebabnya Arghi memutuskan untuk mengajak ponakannya itu tinggal bersama mereka. Selain itu, ia melakukannya agar hunian 2 lantai tempat tinggalnya itu menjadi lebih ramai dengan kehadiran Barry.

“Barry, mulai hari ini kamu bisa tinggal di sini. Kamar kamu ada di sebelah sana. Anggap aja rumah sendiri ya. Jangan sungkan kalau ada apa-apa, Nak.”

Arghi menunjukkan sebuah kamar pada Barry.

Kamar yang terletak di sudut dekat ruang tamu. Tepat bersebelahan dengan kamar milik Syifa yang belum pernah sekalipun ditempati oleh gadis kecil itu.

Barry mengangguk. Ia berlalu melewati dua orang yang dipanggilnya om dan tante, kemudian menjinjing tas berisi baju yang ia bawa masing-masing di kedua tangannya.

Syifa sendiri jarang sekali berada di rumah karena Lita—sang mama lebih banyak mengantar ia ke rumah nenek saat bekerja. Sampai-sampai mereka juga mendaftarkan Syifa ke salah satu playgroup yang ada di sana.

“Ayo kita makan, Sayang. Pasti semuanya belum pada makan, ‘kan?” ajak Arghi kemudian.

“Ayo, Pa, ayo!” teriak Syifa bersemangat. Bocah kecil yang cantik itu sepertinya benar-benar lapar.

Semua orang tertawa melihat tingkahnya. Mereka kemudian bergegas menuju meja makan dan menikmati kebersamaan.

***

Hari demi hari berlalu, semuanya berjalan baik-baik saja. Arghi masih sibuk dengan usaha kulinernya, sementara Lita sibuk mengajar di salah satu SMP di kota Jambi. Syifa sendiri tengah asyik menikmati kegiatan bersama teman-teman playgroup-nya. Layaknya anak kecil pada umumnya, setiap hari selalu ia lewati dengan keceriaan. Terlebih lagi setelah Barry tinggal bersama mereka, Syifa jadi punya teman main di rumah selain Bik Sumi.

Sore itu, saat mereka bertiga sedang asyik bersenda gurau, Lita yang baru saja pulang dari mengajar, memanggil Syifa.

"Syifa, kemari sebentar, Sayang! Ada yang mama pengen bilang ke kamu," Wanita berusia 34 tahun itu muncul dari balik pintu utama rumah.

“Nah, Non Syifa, Mama udah pulang, tuh. Yuk, kita samperin.” Bik Sumi dan Syifa kemudian bergegas menghampiri wanita itu. Wanita yang biasa Syifa panggil mama, tersenyum padanya.

Biasanya setelah pulang mengajar, Lita akan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menemui Syifa. Namun, berbeda dengan hari ini. Seragam kerja yang masih membalut tubuh mungil Lita menunjukkan sepertinya ada hal yang begitu penting ingin ia bicarakan dengan putri semata wayangnya itu.

"Ia, Mama. Ada apa?" tanya si bocah saat sampai di hadapan mamanya.

Syifa masih sangatlah kecil. Usianya yang belum genap 6 tahun membuat ia tidak bisa membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk. Di umur yang masih terbilang sangat muda, dia hanya tahu tentang satu hal. Bermain.

"Lagi ngapain, sih, anak mama ini?"

Lita memeluknya dengan hangat. Menciumi berkali-kali saking gemasnya.

"Main sama Bibi dan Kak Bali, Ma. Mama balu pulang kelja, ya? Kok lama, cih? Cifa 'kan nungguin." Syifa menggembungkan pipi dengan sengaja, membuat mamanya semakin gemas. Bik Sumi yang berada di dekat mereka pun sampai ikut terkekeh.

Lita mencubit pipi bocah itu dengan lembut. "Aduh-aduh ... anak mama pinter banget ngambeknya, sih. Maaf ya, Sayang. Mama tadi pergi ke rumah Om Dokter dulu. Soalnya ada urusan mendadak sama si om."

"Om Doktel? Mama cakit, ya?"

"Enggak, kok. Mama enggak sakit. Kita ke dalam, yuk, nyamperin Papa. Ada yang Mama pengin bilang sama Syifa. Barry juga ikut ya."

Sang putri dan kakak lelakinya yang sedari tadi berada di dekat mereka itu pun mengangguk. Lalu dengan langkah kecil-kecil, Syifa melompat-lompat layaknya anak balita kebanyakan sembari tangan kiri menggenggam tangan kanan mamanya. Diikuti Barry yang melangkah di belakang keduanya. Mereka berjalan ke arah ruang tamu. Di sana sudah duduk seorang lelaki tampan berkumis tebal yang telah menunggu mereka. Pria yang tak lain adalah Arghi Algustav, Papa Syifa.

"Papa!" pekik putrinya kegirangan saat sudah berada tidak jauh darinya.

Syifa sedikit berlari lalu memeluk papanya yang balas memeluknya. Mereka berpelukan seperti orang yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu.

"Duduk sini dekat Papa."

Lelaki itu menepuk bantalan sofa, memberi isyarat agar Syifa dan Barry duduk di sebelahnya. Ia tersenyum melihat keduanya. Tatapan hangat itu membuat mereka merasa nyaman.

"Sayang, kalau misalnya kamu punya adik, mau enggak?" tanya Lita perlahan.

Syifa mengangguk bersemangat.

"Kira-kira entar adiknya bakal disayang enggak?"

"Cayang, dong. Kan adiknya Cifa," jawabnya.

Lita dan Arghi saling berpandangan lalu tersenyum lagi menatap Syifa.

"Gini, Sayang. Jadi, tadi itu Papa dan Mama pergi ketemu Om Dokter. Terus Om Dokter bilang kamu ... bakal punya adik, Sayang."

“Beneran, Tante?” tanya Barry setengah memekik.

Sementara itu, Syifa yang masih kecil tidak mengerti apa yang papanya katakan. Ia diam dan menunggu wanita itu untuk menjelaskan.

"Jadi, beberapa bulan lagi kamu bakal punya adik loh, Sayang."

Syifa masih diam. Namun, matanya membulat dan seketika tawanya pecah saat itu juga.

"Hole ... hole! Cifa punya adik. Holeee ...." Anak kecil itu bersorak kegirangan sambil berucap dengan bahasanya yang masih cadel.

Ini mungkin akan menjadi salah satu momen terindah untuk Syifa.

Dua bulan berlalu, semua masih berjalan dengan baik. Namun, tak lama mama dan papa kembali mengajak Syifa dan Barry bicara. Hal yang membuat Syifa menjadi sedih.

"Sayang, maafkan Mama. Sebenarnya Mama juga enggak pengen jauh dari kamu. Tapi kalau kamu tinggal bareng kami, terus gimana dengan sekolah kamu?" Lita berujar. Senyum masam terukir di wajahnya.

Syifa diam.

"Kamu 'kan tahu sekarang di dalam perut mama ini ada adiknya kamu. Kata Om Dokter, mama harus jaga kesehatan supaya adik kamu juga tetap sehat. Jadi kalau setiap hari mama anter jemput Syifa ke sekolah entar mama capek, gimana? Memangnya Syifa mau mama sakit?" lanjut Lita. Suaranya begitu lembut.

"Iya, Sayang. Benar apa kata mama kamu." Papa menimpali ucapan Lita sambil membelai rambut Syifa. "Cuma sementara kok, Nak. Lagipula nenek itu 'kan neneknya Syifa. Dia sayang banget sama Syifa. Jadi sama aja kayak tinggal bareng papa dan mama, ‘kan? Mereka juga 'kan keluarga kamu, Nak," lanjutnya. Ia menatap anak itu dengan senyum hangat.

Syifa berpikir sejenak. Apa yang dikatakan mama ada benarnya. Syifa memang sedih karena harus jauh dari orang tuanya. Namun, ia juga tidak ingin membuat mereka jatuh sakit kalau terus menerus mengantar jemput Syifa ke sekolah.

"Ya udah, deh, enggak apa-apa. Cifa mau kok tinggal baleng nenek. Bial mama ama adek cehat telus ya 'kan, Pa," ucap Syifa sambil mengelus perut mamanya.

Mereka memekik pelan. "Beneran, Nak? Alhamdulillah. Terima kasih anak kami yang cantik. Kamu tenang aja. Mama papa pasti menjenguk kamu setiap Minggu."

Mereka memeluk Syifa. Menumpahkan rasa bahagia mereka.

“Lalu, gimana dengan Barry, Om, Tante?”

Barry yang sedari tadi duduk bersama mereka tiba-tiba bertanya. Nada bicaranya terdengar begitu khawatir.

Arghi melemparkan senyuman hangat sembari merangkul pundaknya. “Barry, kamu tidak usah takut. Kamu bisa terus tinggal di sini selama yang kamu mau, Nak.”

“Iya, Barry. Kamu juga boleh sering-sering ke rumah nenek atau bahkan menginap di sana, kok. Om dan tante nanti yang akan mengantar kamu.” Lita menimpali.

Barry pun akhirnya tersenyum lega.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel