Bab 13 Menuju Malam Untuk Berdua
Bab 13 Menuju Malam Untuk Berdua
Putri Chiara menganggukkan kepalanya setelah Ricci mengatakan hal demikian. Setelah itu, Bibi Camia datang membawa makanan dan juga obat. Sebelum minum obat kata tabib harus makan sedikit karena kalau langsung meminum ramuan, maka akan mengakibatkan sakit pada lambung Putri Chiara.
Hari ini, Pangeran Ricci yang menjaga. Ia mengambil mangkok berisi bubur dengan sayur dan lauk yang lengkap di dalamnya.
"Aku bisa makan sendiri," tolak Putri Chiara ingin mengambil mangkok itu dari tangan Pangeran Ricci.
"Tidak, kau diam dan buka mulut. Aku yang akan menyuapi!"
"Tidak Ricci, aku bisa melakukannya sendiri," tolak Putri Chiara keras kepala. Ia tidak mau menerima suapan dari Pangeran Ricci. Untuk apa? Tangannya masih bisa dipakai untuk menyuapi makanan ke dalam mulut, tidak perlu bantuan dari Pangeran Ricci.
Pangeran Ricci tidak mempedulikan penolakan dari Putri Chiara. Ia punya prinsip tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Karena kedudukannya yang merupakan pangeran mahkota, makanya ia merasa semua orang harus patuh pada perintahnya.
Saat ini pemerintahan dipimpin oleh Ratu Alya, Ibundanya Pangeran Ricci. Setelah Pangeran Ricci nanti punya anak, barulah tahta dan gelar Raja akan diberikan padanya. Itu adalah syarat sebagai seorang Raja di Kerajaan Elyora.
Makanan pun telah berada di dekat bibir Putri Chiara. "Ayo buka mulut kau, Chia," pinta Pangeran Ricci dengan lemah lembut.
"Dia bisa lembut juga?" tanya Putri Chiara dalam hatinya.
"Tidak Chia, jangan terpengaruh!" Putri Chiara kembali mengingati dirinya.
Putri Chiara tetap mengatupkan kedua bibirnya. Ia menatap Pangeran Ricci lekat dan tidak berpaling sedikit pun.
"Kau menantangku? Ingin membuatku marah?" tanya Pangeran Ricci dengan emosi yang mulai meninggi.
"Kau tidak cocok menjadi orang lembut Ricci," ujar Putri Chiara mengejek.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Ya, lihat saja! Kau barusan mulai membentakku. Seharusnya seorang suami itu bisa meluluhkan hati istrinya, bukan malah membentak seperti yang kau lakukan barusan. Sudahlah, aku ingin makan dan kau pergi saja." Putri Chiara mengambil sendok yang berada di tangan Pangeran Ricci. Lalu, ia memasukkan bubur di sendok tersebut ke dalam mulutnya sambil menatap ke arah Pangeran Ricci seolah mengatakan kalau pria itu telah gagal membujuk dirinya.
Pangeran Ricci merutuki dirinya yang terpancing emosi. Seharusnya ia tidak merasa demikian. Namun, tanpa sadar, saat Putri Chiara melakukan penolakan, semua kata-katanya terlontar dengan sangat ringan seperti kapas yang diterbang angin. Tidak ada yang dapat menghentikannya.
"Ada apa denganku?" tanya Pangeran Ricci.
***
Malam hari, setelah Pangeran Ricci balik dari kantor pemerintahan karena Putri Chiara memaksa pria itu untuk tetap bekerja. Ia tidak mau membuat pekerjaan Pangeran Ricci menjadi terbengkalai. Bagaimana pun, ia tahu kalau kondisi ekonomi Kerajaan Elyora masih dalam tahap pemulihan. Ia tidak ingin kerajaan ini bangkrut.
Alasan Putri Chiara tidak ingin kerajaan ini bangkrut adalah karena di sini adalah negaranya, tempat ia hidup bersama keluarganya dulu. Saat dirinya masih menjadi Aubrey, Kerajaan Elyora adalah sumber penghasilan dan penghidupan untuk banyak orang penjual seperti dirinya. Tidak hanya itu, kerajaan ini juga mempunyai banyak penduduk yang tentunya butuh naungan dan perlindungan dari pemerintah kerajaan.
Dibanding Ratu Alya, Pangeran Ricci memilik rasa kemanusian sedikit. Meski persennya sangat kecil.
Putri Chiara sudah selsai meminum obatnya dibantu oleh Bibi Camia.
"Bi, apakah sudah ada tanda-tanda Pangeran Ricci pulang?" tanya Putri Chiara pada Bibi Camia.
"Belum ada Lady. Sepertinya pekerjaan Yang Mulia Pangeran begitu banyak. Apakah Lady mau tidur dan Bibi nyanyikan lagu tidur?" tanya Bibi Camia pernuh perhhatian. Dielusnya kening Putri Chiara dengan lembut.
"Bi, aku rindu dengan Ibunda," jelas Putri Chiara saat Bibi Camia menyentuh kepalanya, membuat sang putri ingat dengan Ibunda yang sekarang berada di kerajaan mereka, Kerajaan Mahdiaz Rhode. Meski hanya menghabiskan waktu sebulan di sana, tetapi kasih sayang dari Ratu yang berhati baik dan mulia itu benar-benar terasa.
"Ibunda Lady pasti juga sangat rindu."
Saat sedang seperti itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Masuk seorang pria dengan penampilan dan raut wajah yang kusut. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kerajaan hingga membuat wajah Pangeran Ricci begitu aneh.
"Lady, Bibi pamit keluar, ya." Bibi Camia pun mengecup kening putri Chiara seperti dahulu saat mereka masih berada di Kerajaan Mahdiaz Rhode. Sebagai pengasuh, Bibi Camia sudah menganggap Putri Chiara selayaknya anak sendiri.
Bibi Camia punya seorang suami dan juga anak dulunya. Namun, karena sesuatu hal, anaknya meninggal. Tidak lama kemudian, suaminya pun menyusul sang anak. Sampai di suatu hari ia bertemu dengan Ratu Aysila, saat itu tengah mengandung Putri Chiara. Ratu Aysila yang baik hati membawa Bibi Camia ke kerajaan. Menjadikannya sebagai seorang pelayan yang khusus melayaninya selama kehamilan.
Karena Bibi Camia berhasil merawat dan menjaga sang ratu sampai selamat melahirkan, maka Raja Domenico memberikan hadiah dan pernghargaan pada Bibi Camia sebagai ucapan terima kasih.
Bibi Camia mengambi kesempatan itu untuk bisa merawat putri satu-satunya dari kerajaan Madiaz Rhode tersebut. Ia bersumpah akan melindungi sang putri dan bersedia menukar nyawanya hanya demi Putri Chiara. Saat itulah, Bibi Camia menjadi pengasuh Putri Chiara sekaligus ibu kedua bagi putri itu.
Bibi Camia berpapasan dengan Pangeran Ricci saat keluar.
"Chia sudah makan dan minum obat?" tanya Pangeran Ricci sekilas.
"Sudah Yang Mulia."
"Baik, kau boleh keluar." Bergegas Bibi Camia keluar dari kamar pasangan suami-istri itu. Tidak baik ia yang bukan siapa-siapa berada di dalam kamarnya pasangan yang baru saja menikah.
Pangeran Ricci pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia mandi lebih cepat dari malam-malam biasanya. Mungkin ia mula mendengarkan kata-kata Putri Chiara yang mengatakan kalau mandi malam itu tidak baik.
"Kau belum tidur?" tanya Pangeran Ricci karena tidak sengaja mendapati Putri Chiara yang masih menatap ka langit-langit kamar dengan mata terbuka lebar.
Putri Chiara tidak menjawab. Ia memiringkan badannya membelakangi Pangeran Ricci yang berada di sebelah kanannya. Ia sengaja menghadap kea rah kiri supaya tidak melihat Pangeran Ricci yang hanya mengenakan penutup bagian bawahnya tanpa ada sehelai kain manutupi tubuh bagian atasnya.
"Chia, bagaimana keadaan kau?" tanya Pangeran Ricci mendekati Putri Chiara dari belakang.
"Kenakan pakaian kau dulu, Ricci!"
"Aku ingin bertanya dan kau harus jawab!"
"Kau pemaksa sekali!’ gerutu Putri Chiara membalikkan badannya. Pangeran Ricci ternyata sudah membaringkan dirinya di belakang Putri Chiara. Karena ranjangnya cukup besar, Pangeran Ricci dengan mudah menyelip dan berbaring di belakang sang putri tanpa disadari sama sekali oleh Putri Chiara.
Pangeran Ricci menatap dengan penuh makna. Putri Chiara segera menjauh dengan mundur ke belakang. Pangeran Ricci semakin maju mendekatinya.
"Ricci, apa yang kau lakukan?" tanya Putri Chiara.
Putri Chiara belum tidur bukan ingin menunggu Pangeran Ricci keluar dari kamar mandi, melainkan ada yang mengganjal di dalam hatinya. Ada sesuatu yang harus ia tanyakan pada lelaki itu.
Namun, melihat situasi sekarang tidak mungkin ia mengajukannya. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya dari ancaman makhluk yang bisa saja menjadi buas dan memakan dirinya tanpa bersisa.
Tidak! Malam ini tidak akan menjadi milik yang membuat mereka merasakan indah dan nikmatnya surga dunia. Putri Chiara masih ingin menjaga kesuciannya. Tidak ingin ada hubungan lebih dengan Pangeran Ricci, sebab tujuannya menikah bukan untuk melakukan hubungan tersebut.
Putri Chiara ingin menanyakan perihal kampung yang terkena racun, yang tidak lain adalah keluarganya (keluarga dari Aubrey).
"Ricci, tunggu! Jangan mendekat lagi!" teriak Putri Chiara meletakkan tangannya di dada yang bidang milik Pangeran Ricci.
"Kenapa? Aku sudah lama menunggu hingga hari ini, Chia."
"Bukan begitu, tapi aku belum siap melakukannya. Aku juga belum sehat. Bisakah kita menunda hubungan ini terlebih dahulu sampai aku benar-benar siap?" tanya Putri Chiara berharap Pangeran Ricci mau menerima permintaannya.
"Kumohon," pinta Putri Chiara dengan menunjukkan ekspresi tidak berdaya.
"Aku tidak bisa, Chia. Kita sudah menikah, jadi sewajarnya kalau kita melakukan—"
Putri Chiara pun mengecup kening Pangeran Ricci dengan maju secepat mungkin. Setelah itu segera ia menarik dirinya menjauh kembali.
"Ricci, kumohon kau mengerti diriku. Aku akan membuat diriku siap sebelum melakukannya. Aku tidak ingin membuat kau kecewa," ujar Putri Chiara beralasan.
"Ck. Kau beralasan."
"Tidak, aku tidak membuat alasan. Aku sungguh ingin menunggu hingga benar-benar siap. Karena jika aku tidak dalam kondisi siap, maka kau juga tidak akan merasa bahagia, Ricci."
"Baiklah, aku mengabulkan permintaanmu saat ini. Namun, aku punya waktu dan jika kesabaranku untuk menunggu sudah habis, kau siap atau tidak, harus melayaniku sebagai seorang istri."
Putri Chiara menganggukkan kepalanya supaya ia terkesan natural dalam besandiwara tadi. Ia harus bisa membuat bebas setidaknya untuk hari ini dan beberapa saat ke depan. Nanti pikirkan cara lain untuk menolaknya.
"Namun, kau jangan senang dulu. Aku punya syarat."
"Apa syaratnya?" tanya Putri Chiara penasaran. Takutnya syarat yang diajukan oleh Pangeran Ricci adalah syarat yang berat.
***
Bersambung