3
Summer membuka matanya, rasa asing melingkupinya. Ia tahu ini bukan kamarnya. Dan lagi tempat terakhir yang ia datangi semalam adalah club. Ah, Summer ingat. Semalam seseorang memasukan sesuatu ke dalam minumannya hingga ia tidak sadarkan diri.
Bangun dari posisinya masih dengan pakaian yang ia pakai semalam, mata Summe menatap ke pria yang saat ini tengah menonton televisi masih dari kamar yang sama.
Kurt.
Summer merasa ini sebuah keberuntungan, ia bisa berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Kurt. Ia bisa membunuh Kurt, membalaskan dendam tunangannya yang tewas di kediaman Dovian. Summer mengeluarkan pisau yang ia simpan di pangkal pahanya. Melangkah mendekat ke Kurt dengan tekad membunuh pria tampan tak memiliki emosi tersebut.
Kurt melihat dari layar televisinya, ia tersenyum tipis. Ia menangkap pisau yang Summer layangkan ke arah jantungnya. "Beginikah caramu berterimakasih padaku, Summer?" Sedetik kemudian tubuh Summer sudah berada di pangkuan Kurt. Pria itu menarik pisau yang ada di tangan Summer hingga terlepas dari tangannya. Kini pisau itu berganti pemiliki, Kurt memegang pisau itu dengan telapak tangannya yang berdarah, ia mengarahkan mata pisau tajam itu ke leher Summer. Menggoresnya tipis hingga membuat leher Summer berdarah.
"Apakah harusnya semalam aku biarkan Vector membawamu dan menidurimu?" Tanyanya pelan.
Summer mencoba berontak tapi saat ia berontak pisau makin menggores lehernya. Pria yang mengengkangnya bahkan tak mau repot bicara jangan bergerak agar tak terluka.
"Kenapa memperhatikanku semalam, huh?" Kurt bertanya. Semalam ia cukup sadar jika Summer memperhatikannya.
"Lepaskan aku, brengsek!" Summer tak bergerak memberontak, ia hanya bersuara nyaring, Bahkan pisau masih menggores lehernya meski ia tidak bergerak.
Kurt memegang erat pinggang Summer, "Katakan padaku, kenapa kau ingin membunuhku?"
"Manusia sepertimu tak pantas hidup!"
"Atas dasar apa kau mengatakan itu, Summer?" Kurt tetap bersuara pelan. Summer tahu pria yang tengah mengukungnya adalah pria yang berbahaya.
"Pembunuh sepertimu tak pantas menanyakan dasar dari ucapanku. Setiap pendosa sepertimu harus mati!"
"Ah, jika aku tebak, sepertinya aku sudah membunuh seseorang yang dekat denganmu. Siapa? Keluargamu ataukah kekasihmu?"
Amarah Summer tertahan di kedua tangannya yang mengepal,
"Rupanya benar memang kau."
"Ah, aku ingat. Kau pemilik mobil yang berpapasan dengan mobilku, kan? Well, benar, wajar saja aku tak asing dengan wajahmu." Kurt kini mengingat Summer. Ia memang memiliki ingatan yang baik. Bahkan detail kejadian bisa ia ingat tanpa melewatkan apapun. Kurt bukan robot, dia benar-benar manusia. Hanya saja ayahnya yang seorang ilmuan menerapkan uji coba pada Kurt hingga akhirnya Kurt besar dengan sesuatu yang sangat jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya. "Tapi siapa kekasihmu? Apakah Nicholai?" Kurt juga mengingat nama pria itu. Ia sempat melihat kartu tanda pengenal milik Nicholai.
"Jangan pernah menyebutnya dengan mulut hinamu!"
Kurt kini tertawa, ia memang seperti ini jika ada yang mengucapkan kalimat sarkas. Ia bermaksud meremehkan lawan bicaranya. "Dia memohon padaku sebelum meninggal, kau tahu dia sangat-sangat menyedihkan. Tolong, tolong, tolong," Kurt menirukan Nicholai waktu itu.
Summer bergerak cepat, ia tak peduli pisau menggores dalam lehernya. Ia meraih vas bunga yang ada di meja, membenturkan vas bunga itu ke kepalah Kurt hingga darah menetes dari kepala Kurt.
"Well, Summer. Untuk membunuhku kau butuh lebih dari sekedar vas." Kurt mengelap kepalanya. Ia memainkan pisau milik Summer dan mendekat ke wanita itu.
Summer tak takut meski kemungkinan ia mati sangat besar. Ia menyerang Kurt. Bela diri adalah keahliannya selain memainkan pisau dan handgun baik laras pendek maupun laras panjang.
Kurt tersenyum tipis, senyuman yang membuatnya terlihat seperti iblis. Ia sudah mengira, melihat tubuh Summer yang tidak seperti tubuh wanita pada umumnya, sudah pasti Summer menguasai beladiri. Tidak, berbeda yang Kurt maksud bukan tubuh Summer berotot tapi tubuh Summer lebih kuat. Kaki jenjang dan tangannya sangat kokoh. Terlihat sekali kalau sudah banyak orang yang dihajar dengan kaki dan tangan itu.
Lelah meladeni Summer akhirnya Kurt memberikan satu pukulan telak di dada Summer hingga membuat Summer merasa sesak. Dengan cepat Kurt mengunci tubuh Summer di dinding dengan tangan kirinya memegangi kedua tangan Summer sedangkan tangan kanannya memegangi dagu Summer, menodai dagu itu dengan darah yang masih mengalir di telapak tangannya.
"Untuk membunuh tangan kosong terdengar sangat konyol. Tapi dengan pisau juga tak bisa. Kau perlu usaha lebih keras." Kurt menasehati Summer. "Tapi, karena kau sudah datang dengan berani padaku maka akan aku berikan 3 kesempatan untukmu. Bunuh aku dalam 3 kesempatan itu tapi jika kau gagal maka jangan pernah bermimpi untuk membunuhku lagi. Tapi dalam setiap kegagalanmu aku pasti akan membela diriku. Kau pasti akan terluka, jangan pikir aku tidak bisa melukai seorang wanita karena aku mampu menembak jantungmu jika kau gagal membunuhku." Kurt menawarkan sebuah solusi untuk Summer.
"Kau sedang membuat kesepakatan, huh!"
Kurt tertawa geli, "Kesepakatan apa? Jika kau berpikir aku akan meminta tubuhmu sebagai bayaran setelah 3 kali percobaan maka kau salah karena aku memiliki banyak stok wanita. Dengar, malamku tak pernah kesepian. Wanita datang silih berganti tanpa aku minta. Aku hanya ingin memperlihatkan padamu bahwa membunuhku itu sulit tapi jika memang aku tewas ditanganmu maka kau adalah malaikat pencabut nyawaku."
Summer tak mengerti jalan pikiran Kurt tapi 3 kesempatan itu, sekalipun ia harus mempertaruhkan nyawanya ia akan mengambil kesempatan itu. Ia yakin akan mematahkan keangkuhan pria di depannya.
"Lepaskan aku!" Suara Summer setelah memikirkan dengan baik keputusannya.
Kurt melepaskan Summer, ia mundur satu langkah. "Berusahalah dengan keras, Summer. Tujuanmu akan tercapai tergantung dengan usahamu." Kurt menyarankan hal yang tak seharusnya manusia normal sarankan. "Tapi,, kenapa kau sangat ingin membalaskan dendam kekasihku? Ah, atau mungkin kau sedang mengandung anaknya?"
"Jaga mulutmu baik-baik atau aku akan merobeknya!"
"Ah, bukan. Aku tahu, pasti karena cinta. Damn! Kau menyedihkan, Summer. Bagaimana bisa kau ingin membalaskan dendam pria yang bahkan untuk menjaga dirinya saja tak mampu."
"TUTUP MULUTMU, BANGSAT!"
Wajah marah Summer membuat Kurt tersenyum, ia suka melihat orang marah karenanya.
Ring,, ring,, ponsel Kurt berdering.
"Berhentilah bermain-main dengan wanita itu, Kurt. Kita harus ke Macau. Ketua Chen akan marah jika kita tidak memenuhi undangannya."
Benar, Kurt hampir melupakan kalau semalam ia dan Serge tengah membahas masalah pesta yang diadakan oleh seorang mafia yang tinggal di Macau.
"Siapkan pesawat, aku akan segera keluar sebentar lagi." Usai mengatakan itu Kurt menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celananya.
"Keluarlah dari sini, sopir akan mengantarmu ke club. Ah, aku akan ke Macau. Jika kau ingin mencoba satu kesempatan maka terbanglah ke Macau tapi jika tidak tunggu aku kembali. Kau tidak perlu takut, aku bukan tipe pria yang akan kabur setelah membuat janji." Kurt kembali bicara pada Summer.
"Meskipun kau kabur aku akan tetap menagih ucapanmu. Bahkan ke nerakapun kau akan aku kejar."
Kurt menyukai keteguhan Summer, wanita yang tangguh, begitu pemikirannya.
"Well, akan menyenangkan jika di neraka banyak wanita cantik sepertimu."
Summer merasa jijik dengan ucapan Kurt, ia memilih untuk pergi meninggalkan Kurt.
"Aku memberimu 3 kesempatan karena aku tahu kau tidak akan mampu membunuhku, tidak sebelum aku mebalaskan kematian ayahku. Selama kau belum bisa membunuhku aku akan mencaritahu siapa yang sudah bertamu ke rumah Dovian sebelum kedatanganku. Meskipun aku ikut ambil bagian atas kematian pria itu tapi aku harus menunjukan siapa pembunuh yang sebenarnya." Kurt merasa kematian Nicholai juga disebabkan olehnya jadi karena itulah ia memberikan 3 kesempatan bagi Summer.