Suamiku Tidak Hadir Di Acara Pernikahan Kami Demi Teman Masa Kecilnya, Membuat Orang Tuaku Meninggal
Ringkasan
Suamiku tidak hadir di acara pernikahan kami demi teman masa kecilnya. Ketidakhadirannya membuat kondisi ibuku memburuk hingga akhirnya meninggal, sementara ayahku meninggal ditabrak truk. Aku kecewa dengan suamiku dan ingin mengakhiri hubungan dengannya. Selama proses ini, aku berhasil mengungkap sifat asli teman masa kecil suamiku. Saat aku pergi, suami dan teman masa kecilnya tewas ditabrak mobil. Tak lama kemudian, aku pun mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya menjadi milikku.
Bab 1
Setelah mengurus pemakaman orang tuaku dengan masih mengenakan gaun pengantin, aku benar-benar kecewa pada Gendra Rahmajati.
Aku dan dia sudah bersama sejak masa kuliah sampai sekarang, selama tujuh tahun penuh. Namun, di dalam hatinya, keberadaanku masih tak sebanding dengan Balina Andrayani, teman masa kecil yang tumbuh besar bersamanya.
Balina hanya perlu menjentikkan sedikit jarinya, dan Gendra langsung meninggalkan pernikahan kami seperti anjing setia, berlari ke arahnya.
Dengan tubuh dan hati yang lelah, aku pulang ke rumah. Dan hal pertama yang kulakukan adalah mengemasi barang-barangku.
Meskipun belum menikah, aku sudah tinggal bersama Gendra selama hampir tiga tahun.
Aku hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok dan benda peninggalan orang tuaku, lalu aku pun bersiap untuk pergi.
Namun, aku tidak menyangka akan berpapasan langsung dengan Gendra di depan pintu.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Dia menatap koper di tanganku dengan dahi yang berkerut tajam.
"Pergi dari rumahmu." Aku meliriknya sekilas, lalu menjawab dengan tenang.
Kamu bisa berhenti membuat masalah tidak?"
Nada bicara Gendra terdengar semakin tidak sabar.
Karena tidak ingin bersikap baik lagi kepada pembunuh tidak langsung orang tuaku, aku hanya melangkah melewatinya dan mencoba untuk pergi.
Gendra mana pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
Dia langsung mencengkeram tanganku dengan kasar, dan menghentikan langkahku untuk pergi.
"Sudah kubilang jangan buat masalah!"
Ekspresi tidak sabar Gendra semakin jelas. Dia menarik tanganku sambil menelepon.
"Bu Kinan, minta Dokter Valeno untuk mengobati ibunya Celine sekarang."
"Bagaimana? Dengan begini, ibumu pasti bisa hidup sampai pernikahan kita."
Nada suaranya yang remeh dan angkuh menusuk sakit hatiku dan membuatku gemetar.
Sebelumnya, setiap kali aku memohon padanya agar memanggil Valeno datang dan mengobati ibuku, dia selalu menolak. Terkadang, Gendra bahkan mengejekku karena memilih bersamanya hanya demi uang.
Aku mencoba menyenangkannya, bahkan berusaha menyenangkan Balina teman masa kecilnya setiap hari agar bisa membuatnya berubah pikiran.
Sekarang, dia malah dengan begitu mudahnya setuju memanggil Valeno datang.
Lalu, untuk apa semua usaha yang aku lakukan sebelumnya?
Aku tersenyum pahit dan mulai berjuang sekuat tenaga untuk lepas dari cengkeramannya.
"Kak Gendra, kemarilah dan lihat apa yang terjadi dengan kesayanganku."
Sebuah suara lembut terdengar, dan ketika aku menoleh, terlihat wajah yang tertanam jelas di dalam benakku.
Balina berjalan masuk dengan ular yang dia gendong dengan hati-hati ditangannya. Setetes air mata terlihat berlinang di kelopak matanya.
"Lihat, sampai sekarang pun ia masih kelihatan lemas, " Katanya ke Gendra dengan nada sedih.
Dia menyelesaikan perkataannya ke Gendra terlebih dahulu, baru menoleh ke arahku, seolah baru sadar akan keberadaanku.
"Ah, Kakak!"
Balina menatapku dan langsung menunjukkan sikap penuh perhatian. "Kak, aku benar-benar tidak bermaksud membuat Kak Gendra mendatangiku di hari pernikahan kalian. Saat itu, kesayanganku tiba-tiba tidak bergerak sama sekali, aku benar-benar ketakutan sampai akhirnya pingsan. Jadi, aku terpaksa meminta bantuan Kak Gendra."
"Untung ada Kak Gendra. Kalau tidak, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat itu."
"Ini semua salahku. Kalau bukan karena aku, kamu pasti tidak akan mengalami musibah seperti ini."
Biasanya, setiap kali bertemu Balina, aku tidak mengatakan apa-apa. Kalaupun mengatakan sesuatu, itu bukan sesuatu yang baik.
Ini adalah pertama kalinya aku mengambil inisiatif untuk mengakui kesalahanku.
Balina terdiam di tempat dan sedikit terkejut, sementara Gendra terlihat sangat puas.
"Kalau sudah tahu salah, cepat naik ke atas, simpan barang-barangmu, dan buatkan Balina teh."
Aku memutar bola mata dan melanjutkan.
"Seharusnya aku langsung menghilang saja. Kalau tidak, begitu ada hal penting antara aku dan Gendra, kamu pasti selalu sakit, bahkan hewan kesayanganmu juga ikut menderita. Sungguh sial."
"Tapi syukurnya hal besar seperti pernikahanku, hanya membuat kamu pingsan saja, bisa dibilang nasib baik."
Kata-kata itu aku ucapkan dengan cara yang sinis dan makna yang jelas. Seketika, wajah Balina langsung memucat.
"Kak Gendra, apa maksud Kakak?"
"Kamu benar-benar tidak mau mengakui kesalahanmu?" Gendra langsung melontarkan teguran kepadaku, kekecewaan tampak jelas di matanya.
Kekecewaan?
Aku tertawa pelan.
Aku melangkah maju dan mengangkat tanganku, mendaratkan dua tamparan di wajah Balina.
Balina terlahir putih. Begitu aku memukulnya, wajahnya langsung berubah merah.
Gendra yang merasa kasihan pada Balina langsung melangkah maju dan memeriksa keadaannya. Lalu, dia menoleh ke arahku dengan tatapan penuh permusuhan.
Aku berkata sebelum dia sempat bersuara.
"Gendra, ayo kita putus."