Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Sebenarnya, dulu aku begitu terobsesi dengan Gendra, selain karena rasa tidak rela, juga karena takut membuat emosi ibuku terpancing.

Sekarang, perasaanku kepada Gendra sudah sepenuhnya hilang seiring dengan kepergian orang tuaku.

Bahkan, ada rasa benci terhadapnya.

Ironisnya, pernikahanku hancur, kedua orang tuaku meninggal, dan hatiku terluka begitu dalam. Setelah semua yang terjadi, Gendra masih merasa bahwa aku seperti ini hanya karena cemburu.

Dalam pikirannya, aku mungkin hanya orang bodoh yang terobsesi dengan cinta.

"Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kamu jadi seperti ini." Wajah Gendra menampakkan ekspresi bingung dan tidak mengerti.

"Apa pernikahan jauh lebih penting dari nyawa? Jika ular Balina mati, dia pun bisa mati karena sakit hati. Kenapa kamu tidak bisa mencoba menempatkan dirimu di posisiku?"

"Apa pernikahan jauh lebih penting dari nyawa? Indah sekali perkataanmu ini."

Aku mencibir.

"Di matamu, nyawa Balina adalah nyawa, sedangkan nyawa orang tuaku bukan nyawa, begitu?"

"Aku hanya tidak datang ke pernikahan, apa yang bisa terjadi dengan orang tuamu?"

Gendra tidak bisa menahan amarahnya dan akhirnya berteriak.

Ketenangan yang selama ini coba aku pertahankan akhirnya runtuh.

"Apa yang bisa terjadi pada orang tuaku?" tanyaku sambil menatapnya dengan tajam.

Dia merasa ciut dengan tatapanku. Namun, dia dengan cepat menegakkan punggungnya kembali.

"Apa perkataanku salah? Bukankah ibumu cuman ingin melihat aku dan kamu menikah?"

"Dia tidak akan mati sampai dia melihatmu menikah!"

Saking marahnya aku gemetar, rasanya ingin sekali orang di depanku ini segera mendapatkan balasannya.

"Ibuku begitu baik padamu, dan seperti ini penilaianmu kepadanya?"

Setelah mengatakan itu, aku ingin menamparnya lagi.

Meskipun tidak sebanding dengan apa yang telah dialami orang tuaku, setidaknya harus ada pelampiasan untuk membuatku merasa lebih baik.

Hanya saja kali ini, Gendra sudah siap siaga dan langsung menangkap tanganku.

"Kak, aku tidak apa-apa meskipun Kakak menamparku. Tapi, kenapa Kakak ingin menampar Kak Gendra juga?"

Balina bergegas menghampiri dan melerai di antara aku dan Gendra. Matanya yang besar dipenuhi air mata.

"Kalau dari sudut pandang pernikahan, meskipun kalian belum resmi menikah, Kak Gendra tetap dianggap suamimu. Bagaimana bisa kamu memukulnya?"

"Lagi pula, Kak Gendra melakukan ini semua demi kebaikanmu. Ibumu tidak akan rela pergi sebelum melihatmu menikah. Setidaknya, sekarang ibumu bisa hidup beberapa hari lebih lama...."

Aku langsung kesal dan tertawa mendengar perkataannya, lalu mengangkat tangan untuk menampar wajahnya sekali lagi.

"Kamu terus memanggilku kakak. Kalau begitu, aku anggap saja kita adalah saudara. Jadi, kenapa kamu berani bicara tidak sopan kepada kakakmu ini?"

"Seorang kakak perempuan layaknya seorang ibu. Tamparanku ini juga untuk kebaikanmu, jadi terimalah dengan baik!"

Empat tamparan berturut-turut membuat tanganku sedikit mati rasa, menyalurkan rasa nyeri yang tidak bisa diabaikan.

Namu, saat aku memikirkan wajah mereka yang juga kesakitan, hatiku terasa sedikit lebih baik.

"Kamu benar-benar gila!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel