Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3. Diserang Orang Tak Dikenal

Calvin tersentak mendengar permintaan itu. Ia seakan dilemparkan kembali ke beberapa jam sebelumnya, ke saat di mana Amelia memintanya untuk menunggu wanita itu mandi. Perasaan yang menyerangnya kali ini terasa seperti de javu, tapi ia tahu bahwa ini nyata dan sama seperti kejadian sebelumnya.

“Kamu tidak aman di sini. Lebih baik kita ke rumahku saja,” saran Calvin cepat dan datar. Tentu saja sarannya lebih baik daripada harus tidur seruangan dengan Amelia . Jika di rumah, mereka akan tidur di ruangan yang terpisah. Setidaknya Calvin bisa menahan sisi liar dan gelap dalam dirinya agar tidak menerjang Amelia dan memuaskan gairahnya.

“Setelah sarapan ..., aku berjanji, setelah sarapan aku akan menginap di rumahmu, tapi ..., bisakah untuk sekali ini saja, temani aku tidur sebentar? Aku benar-benar lelah ..., semua ini ..., masalah ini ..., teror itu, semuanya membuatku lelah,” ungkap Amelia disertai raut wajah memelas dan tatapan sayu, menunjukkan bahwa seluruh tenaga dalam tubuh wanita itu benar-benar terkuras. Amelia kembali mengalihkan wajah dari Calvin , lalu tertunduk lemah dan menghela napas panjang.

“Kamu yakin?” tanya Calvin serak, sarat gairah. Ia tidak tahu apakah pertanyaan itu sebenarnya ditujukan pada Amelia atau dirinya sendiri. Namun, membayangkan tidur seruangan dengan Amelia benar-benar membuat gelora gairahnya semakin besar hingga sekujur tubuhnya terasa panas. Pikiran-pikiran liar pun mulai mengisi kepalanya.

Seharusnya, saat ini Calvin tidak boleh memikirkan hal-hal liar yang dapat ia lakukan dengan Amelia selama berduaan di kamar ini. Seharusnya, ia memusatkan pikirannya terhadap masalah yang menimpa Amelia dan mencari cara tercepat untuk menyelesaikan semua kemelut ini. Seharusnya, Calvin bisa bersikap profesional karena Amelia tidak terlihat sedikit pun berniat mengungkit tentang ciuman itu.

Ya, seharusnya Calvin bisa bersikap seperti Amelia . Menolak. Mengabaikan. Bahkan, membantah daya tarik seksual di antara mereka. Tapi, Calvin tidak bisa, entah mengapa.

Anggukan lemah yang Amelia berikan malah membuat tubuh Calvin menegang. Keheningan yang terjadi di antara mereka berdua seakan menyadarkan Calvin bahwa ada yang lebih penting daripada memuaskan gairahnya. Calvin terus menatap Amelia yang terlihat murung dan lemah. Perasaan baru dalam dirinya pun mulai tumbuh saat menyadari betapa Amelia begitu membutuhkannya saat ini. Wanita itu menganggapnya sebagai pelindung, bahkan orang yang dapat dipercaya. Perasaan baru ini membuat bulu kuduk di tengkuknya meremang, dan entah mengapa Calvin menyukai perasaan itu.

“Baiklah,” ucap Calvin menyetujui setelah terdiam selama beberapa saat.

Amelia menoleh dan menatapnya sayu disertai embusan napas lega dan senyum lemah. Akhirnya, wanita itu pun segera beranjak dari pinggir tempat tidur, lalu melangkah menuju pintu. Setelah memastikan pintunya benar-benar terkunci, Amelia pun berbalik, kembali ke tempat tidur, lalu naik dan menarik selimut hingga menutupi setengah badannya.

Calvin masih duduk di pinggir tempat tidur. Ia berpikir lagi dan lagi. Untuk yang kedua kalinya, ia menantang dirinya sendiri dan mempertaruhkan kewarasannya. Karena sejujurnya, Calvin menyadari bahwa ia tidak akan pernah waras jika berdekatan dengan wanita itu.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat dan menyadari bahwa Amelia sudah terlelap di balik selimut, ia pun berdiri, lalu berjalan menuju sisi lain tempat tidur. Ia menatap wajah lelah Amelia yang terlihat tenang saat terlelap.

Jantung Calvin berdebar cepat dan napasnya terasa berat. Ia tahu kalau dirinya tidak akan bisa tidur meskipun dipaksa. Karena sejujurnya, yang ia inginkan saat ini hanyalah menyentuh tubuh itu dan merasakan manisnya bibir Amelia lagi. Demi menekan sisi liarnya, ia pun terpaksa mengeluarkan obat dari saku jaket, lalu melangkah tenang menuju lemari pendingin. Berusaha agar tidak menimbulkan keributan yang dapat mengusik ketenangan Amelia saat ini, Calvin memilih mengambil sebotol air mineral, membukanya dengan cepat, lalu meneguk obatnya.

Selama beberapa detik lamanya, Calvin berdiri di dekat lemari pendingin, sementara matanya tertuju pada Amelia . Setidaknya, obat-obat itu dapat menahan dirinya agar tidak berbuat hal yang dapat ia sesali di kemudian hari. Ya, setidaknya hanya untuk kali ini saja.

Dengan tenang, Calvin melangkah menuju sisi lain tempat tidur yang masih kosong. Ia melepaskan sepatu dan jaket, kemudian meletakkan pisau di bawah bantal sebelum memberanikan diri untuk naik ke tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya dengan perlahan, takut membangunkan Amelia . Matanya menatap langit-langit kamar selama beberapa saat sebelum akhirnya terpejam dalam alam bawah sadar.

*****

Amelia menatap langit-langit kamar. Matanya terasa perih dan berat karena kebanyakan menangis. Rasa perih itu nyatanya tidak bisa hilang meskipun ia sudah tertidur selama ..., entahlah beberapa jam mungkin, batin Amelia sembari mengerjap-ngerjapkan mata.

Ia mengambil ponsel di meja kecil di samping tempat tidur, lalu melihat pukul 09.15 yang tertera di layar ponsel, kemudian meletakkannya kembali. Setidaknya, jam tidurnya cukup untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang lelah setelah teror ketukan di pintu dan foto yang memalukan di dalam amplop. Namun tetap saja, psikisnya masih lelah.

Amelia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan sebelum menoleh ke sisi lain tempat tidur. Ia segera terbangun dari posisi tidur, terkejut menyadari bahwa Calvin tak ada di sana. Amelia menemukan bekas keberadaan Calvin , terlihat dari kusutnya seprai dan selimut yang tersibak berantakan.

“Calvin !” panggil Amelia seraya turun dari tempat tidur. Ia pun melangkah menuju kamar mandi, berharap menemukan keberadaan pria itu di sana. Namun, saat menempelkan telinga di pintu kamar mandi, ia tak mendengar sedikit pun bukti kehidupan di balik sana.

Amelia mengerutkan kening, lalu membuka pintu, memastikan bahwa pendengarannya salah. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana, bahkan tak ada tanda-tanda bahwa Calvin pernah memasuki ruangan itu. Amelia menutup pintu kamar mandi, lalu melangkah kembali menuju tempat tidur. Matanya tertuju pada amplop cokelat yang masih ada di atas meja TV dan rasa takut kembali menghampirinya.

Amelia berusaha mengalihkan pandangannya dari amplop, lalu mengambil ponsel, berniat menghubungi Calvin . Namun saat ia mencoba menekan nama pria itu, terdengar suara ketukan di pintu yang membuatnya tercekat. Tubuh Amelia pun menegang dan bulu kuduknya meremang seketika.

Tanpa pikir panjang, ia menekan nama Calvin dan menghubunginya. Sembari menempelkan ponsel di telinga, Amelia melangkah pelan-pelan menuju meja TV, lalu berhenti di sana sekaligus menatap waspada pintu yang berada hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Nada sambung yang begitu memekakkan telinga mengalun selama beberapa saat hingga akhirnya terhubung ke kotak suara.

Amelia menjauhkan ponsel dari telinga, berniat menghubungi Calvin kembali. Namun, suara ketukan yang begitu menuntut pun kembali terdengar di pintu. Jantung Amelia berdebar cepat, ketakutan.

Amelia kembali menekan tanda panggil, berharap Calvin segera menjawab panggilannya. Tangannya bergetar, sementara napasnya terasa pendek karena takut. Ia tidak tahu ke mana Calvin pergi, bahkan tidak meninggalkan pesan sama sekali. Sialnya, ketukan itu kembali terdengar dan kali ini rasanya Amelia benar-benar ingin menangis karena ketakutan.

“Room service,” ucap seseorang di balik pintu. Amelia mengerut bingung. Ia sama sekali belum memesan apa pun ke pihak hotel.

“Room service, Ma’am,” ulang orang itu lagi sembari mengetuk pintunya. Panggilan Amelia kembali di arahkan ke kotak suara. Dengan enggan, Amelia memutuskan untuk melangkah maju, kemudian mengintip melalui lubang kecil. Ia melihat seseorang pria berseragam hotel berdiri sambil menunggu di balik pintu dengan troli makanan di sisi kanannya. Diselimuti perasaan bingung sekaligus takut, ia pun terpaksa membuka pintu.

“Selamat pagi, Ma’am,” sapa pria itu ramah disertai senyum hangat, “Mr. Franklin meminta agar sarapan ini dikirim ke kamar segera.”

Mendengar nama Calvin melesat mulus dari bibir pria itu, memberikan kelegaan yang teramat dalam bagi Amelia . Ia kira pria itu meninggalkannya begitu saja, ternyata Calvin malah memesankan sarapan untuk diantar ke sini agar ia tidak perlu keluar kamar. Perasaan senang menyelimuti Amelia saat menyadari bahwa ternyata Calvin menaruh perhatian lebih terhadap dirinya.

Tanpa ragu, akhirnya Amelia membuka pintu lebar-lebar, lalu mempersilakan pria itu masuk ke kamar. Dengan senyum hangat dan sikap formal, pria itu mendorong troli semakin ke dalam, sementara Amelia masih menunggu di pintu, membukanya lebar-lebar dengan sikap waspada. Setelah meletakkan troli di depan meja TV, pria itu pun berbalik dan berjalan menuju pintu.

“Terima kasih,” ucap Amelia datar saat pria itu melewatinya begitu saja. Rasa lapar yang timbul tiba-tiba, membuat kewaspadaan Amelia sangat berkurang. Ia mendorong pintu begitu saja dan membiarkan agar menutup dengan sendirinya. Tapi tanpa Amelia sadari, petugas hotel itu mencegah pintu kamar agar tidak tertutup sempurna, lalu melangkah masuk sambil mengendap-endap.

Amelia berhenti di belakang troli, lalu membuka penutup makanan dan menemukan seporsi hidangan lezat tersaji sempurna di sana. Menyadari tak terdengarnya suara pintu yang tertutup, Amelia pun berniat menoleh ke belakang. Namun, baru saja ia ingin berbalik, pria itu langsung membekap Amelia dengan tangan yang kekar dan kuat. Amelia berusaha meronta sekuat tenaga. Namun, saat pria itu menekankan bilah pisau di lehernya, Amelia pun membeku seketika sembari berteriak ketakutan dalam hatinya.

‘Calvin ! Tolong aku, kumohon! Tolong! Calvin !’

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel